Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali

Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Putu Supartika
Ogoh-ogoh Tedung Agung di Banjar Tainsiat, Denpasar. Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Di tengah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, pawai ogoh-ogoh saat malam pengerupukan dalam rangkaian Nyepi tahun 2021 kembali ditiadakan.

Hal itu diatur dalam surat edaran bersama PHDI Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Bali Nomor 009/PHDI-BaliI/2021 dan Nomor 002/MDA-Prov Bali/I/2021 yang dikeluarkan pada Selasa, 19 Januari 2021

Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah antisipasi terjadinya kerumunan yang bisa menyebabkan penyebaran virus corona.

Lantas, bagaimana kaitan pawai ogoh-ogoh dengan rangkaian Nyepi di Bali?

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti memberikan penjelasan terkait Sasih Mala hingga fenomena ogoh-ogoh di Bali.

"Sebenarnya tanpa ogoh-ogoh, tidak akan mengurangi arti dan makna pangerupukan. Karena sejatinya tidak berkaitan betul," tutur Ida Rsi kepada Tribun Bali, Jumat 12 Maret 2021.

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti (Tribun Bali/AA Seri Kusniarti)

Sasih Mala
Sebelum jauh membahas makna ngerupuk, pendiri dan pembina Pasraman Bhuwana Dharma Shanti ini menjelaskan dahulu tentang makna filosofi Nyepi dalam Hindu Bali. 

"Kita semua perlu terlebih dulu mengenal tentang hari Nyepi, dan beberapa sasih yang dianggap mala atau membawa bencanadalam hitungan kalender umat Hindu di Bali," sebut Ida Rsi.

Nyepi menurut Hindu di Bali dan di Nusantara adalah pergantian tahun, dalam hal ini adalah tahun Caka (Saka).

"Untuk menuju kepada era baru (tahun baru) maka dunia dan segala isinya perlu dibersihkan atau dikenal dengan kata di- somya, yang dilakukan dengan pelaksanaan tawur," tegas pensiunan dosen Unhi ini.

Menurut lontar Rogha Sangarabumi, disebutkan bahwa ada empat sasih (bulan Bali) yang dipercaya membawa petaka atau hal tidak baik. Sehingga sasih tersebut dikenal dengan sasih mala.

"Sasih mala ini zaman dahulu, pantang dipakai untuk memulai melaksanakan upacara suci, misalnya ngenteg linggih, mamukur, pawiwahan, mlaspas dan lain-lainnya," sebut Ida Rsi.

Sasih mala tersebut bergulir setiap tiga bulan dalam setahun kalender Bali. 

Sasih yang dianggap mala, pertama adalah sasih katiga.

"Namun sayang sasih katiga ini, jarang bahkan tidak pernah dilaksanakan pecaruan, padahal sasih ini adalah sasih mala atau tenget sama dengan ketiga sasih yang lain," kata beliau. 

Baca juga: Jelang Nyepi, Ratusan Miniatur, Tapel hingga Sketsa Ogoh-ogoh Dipamerkan di Denpasar

Lalu sasih kaenem, yang juga disebut sasih mala sehingga pada sasih kaenem dilakukan upacara nangluk merana.

"Biasanya setiap desa di Bali melakukan pecaruan dan palelawatan di pura. Kemudian melakukan upacara memintar (keliling menuju perbatasan Desa)," kata beliau. 

Berikutnya sasih kesanga, adalah sasih yang juga disebut sasih mala, sehingga setiap sasih kesanga digelar tawur agung kesanga.

Terakhir, sasih sada atau disebut mala sada. Dalam sasih mala sada biasanya di beberapa tempat melakukan pecaruan.

"Kalau kita lihat kedudukan sasih tersebut dengan ilmu perbintangan, maka keempat sasih tersebut merupakan sasih pancaroba (bulan penggantian cuaca), misalnya sasih kesanga pergantian dari musuh hujan ke musim kering, dan seterusnya," jelas mantan jurnalis ini. 

Ogoh-ogoh Saat Ngerupuk
Dari paparan tersebut, kata Ida Rsi, dapat dijelaskan bahwa inti dari ritual tawur agung adalah untuk membersihkan alam semesta ini.

Sehingga dalam tawur ada ritual nyomya bhuta, yang artinya bahwa hal-hal yang bersifat bhuta (penyakit, kekerasan, situasi tidak bersahabat dan lainnya) bisa hilang dan menjadi ketenangan, ketentraman, kesehatan, kebahagiaan. 

Nyomya juga berarti mengubah sifat kebhutaan diubah menjadi sifat kedewataan.

Oleh karena itu, setelah upacara tawur, maka saat sandikala (sore menuju malam), diadakan upacara mebuu-buu, yaitu membunyikan kentongan, kaleng, bambu, atau benda-benda yang bisa disuarakan keliling rumah didahului dengan membawa prakpak (obor dari daun kelapa kering), dan sambil menyemburkan mesui, dengan tujuan menghilangkan hal-hal negatif menjadi positif.

Upacara mebuu-buu ini juga disebut upacara ngerupuk.

Sejak Nyepi dinyatakan sebagai hari libur nasional, pengerupukan disambut dengan suka cita. Lalu timbul lah ogoh-ogoh sebagai pelengkap pangerupukan. 

Hal ini mendapat sambutan dari anak-anak muda yang kreatif untuk menyalurkan bakat seninya, sehingga seolah-olah Nyepi tanpa ogoh-ogoh rasanya hambar.

Ogoh-ogoh Sang Maungpati Banjar Gemeh Denpasar.
Ogoh-ogoh Sang Maungpati Banjar Gemeh Denpasar. (Dok. Instagram @st.gemehindah)

"Pertanyaannya apakah kalau tidak ada arak-arakan ogoh-ogoh saat pangerupukan, apa baik buruknya?" katanya. 

Ogoh-ogoh tidak berkaitan langsung dengan Nyepi, karena saat tawur pagi hari sudah ada upacara nyomya.

Walaupun tidak erat kaitannya dengan Nyepi, tetapi ada hal yang memberikan kebanggaan kepada umat Hindu di Bali bahkan di Nusantara.

"Jadi sebenarnya apabila ogoh-ogoh ditiadakan, tidak ada hal baik-buruk dari segi agama Hindu di Bali," tegas beliau.

"Asalkan pengarakan ogoh-ogoh itu tidak untuk jor-joran, perkelahian dan sebagainya," tegas Ida Rsi. 

Tradisi Lain dalam Pengerupukan
Ida Rsi juga menceritakan, sebelum hari raya Nyepi diumumkan sebagai hari libur nasional, ada tradisi unik serangkaian pangerupukan di Desa Sesetan dan Desa Pedungan di Denpasar Selatan.

Ada tradisi yang disebut 'Pangrupukan Pasawitran', yaitu saat pangerupukan masyarakat Sesetan dan masyarakat Pedungan, secara spontan atau dadakan membuat atraksi pawai dengan saling balas-membalas tetapi tertib dan sopan.

"Acara ini sudah dilakukan sebelum tahun 1975 ke bawah, dan berlanjut terus berturut turut," sebut ida.

Baca juga: Sambut Hari Raya Nyepi, ITB STIKOM Bali Gelar Pameran & Lomba Ogoh-ogoh Mini, Dibuka Wawali Denpasar

Acara tersebut biasanya mulai pukul 19.00 Wita.

Saat Pangrupukan Pasawitran digelar, masyarakat Sesetan membawa pawai pasangan pengantin; sedangkan masyarakat Pedungan membalas dengan pawai orang ngotonin. 

Hal ini berlanjut sampai dengan upacara ngaben atau mamukur, hingga menjelang pagi.

Sehingga pagi saat Nyepi masyarakat bisa tidur pulas tidak melakukan kegiatan. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved