Serba Serbi

Kerauhan dan Kerasukan, Apa Perbedaannya Dalam Hindu Bali?

Fenomena kerauhan nampaknya telah menjadi, bagian dari kehidupan umat Hindu di Bali.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/Rizal Fanany
Sejumlah pamedek mengalami kerahuan saat mengikuti Upacara Pengerebongan di Pura Dalem Petilan, Kesiman, Denpasar, Minggu (11/8/2019). 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Fenomena kerauhan nampaknya telah menjadi, bagian dari kehidupan umat Hindu di Bali.

Namun masih banyak yang belum paham, perbedaan antara kerauhan dengan kerangsukan.

Berikut penjelasan Komang Indra Wirawan, Dekan FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia. 

Sebagai praktisi, ia memberikan penjelasan mengenai perbedaan kerauhan dengan kerangsukan.

Serta lebih detail tentang kerauhan dan pemilahannya.

Baca juga: Kebakaran Pura Majapahit Denpasar, 7 Pregian Kerauhan, Ternyata Ada Firasat Ini

Baca juga: Magisnya Tradisi Narat, Puluhan Warga Kerauhan Membawa Keris

Intinya, kata dia, harus paham tentang proses, ruang dan waktu serta kepantasannya. Sebab hal ini kerap berkaitan dengan agama Hindu di Bali. 

Sehingga tidak bisa dianggap enteng, apalagi jika dilakukan di tempat suci seperti pura.

"Berbicara Hindu Bali, tentunya berkaitan dengan Widhi Tattwa. Apalagi di era kaliyuga ini, sifat rajas dan tamas yang mendominasi," katanya, Rabu 17 Maret 2021. 

Dosen berusia muda ini pun, menjelaskan hal tersebut ke dalam seminar yang dibawakan ke berbagai pura.

Seperti seminar tentang kerauhan beberapa waktu lalu.

Dan ke tengah-tengah masyarakat. Agar tidak terjadi miss komunikasi apalagi salah persepsi.

Sehingga menimbulkan korban di tengah ritual tersebut. 

"Widhi Tattwa adalah dasar landasan simbol pertanda, akan apa yang akan kita sembahkan dan lain sebaginya," jelas pria yang akrab disapa Komang Gases ini.

Ia selalu mengingatkan, apabila ada tarian yang dibawakan dengan banten maka tarian tersebut adalah tarian pingit atau sakral. 

"Sebab banten atau upakara adalah simbol dari sakralnya sesuatu hal," tegasnya.

Seperti misalnya pementasan tari-tarian, yang kerap terjadi kerauhan adalah calon arang. Ia mengamini memang kerap terjadi kerauhan tatkala tarian calon arang ini dilangsungkan. 

Baca juga: Baru Mulai Kemah, 32 Siswa SMKN 4 Negara Kerauhan, Ada Yang Minta Permen Sampai Daun Kenanga

Baca juga: Pemedek Kerauhan Tunjuk Pohon Kelapa, Saat Dinaiki Ternyata Temukan Ini

"Untuk itu jangan sampai dilanggar,  segala sesuatunya. Apalagi sampai ada yang masuk UGD seperti penari calon arang, penari Rangda yang tertusuk," katanya. Inilah yang diperlukan pakem atau pararem jelas ke depannya. 

Agar seni budaya sakral tidak sirna, tetapi juga tidak disalahartikan.

Banyak kasus terjadi, untuk itu seminar kerauhan penting disosialisaikan ke setiap wilayah di Bali. Khususnya kepada anak muda, agar bisa belajar dengan baik dan benar.

"Ada dua istilah kerauhan di Bali. Kalau kerauhan asal kata rauh atau mendatangkan. Didasari upakara banten ke linggih ida bhatra," jelasnya.

Kemudian ada kerauhan dewa dan ada kerauhan bhuta.

Kalau kerauhan dan yang datang adalah dewa, kata dia, tentunya tata cara berbicara sesuai agama Hindu.

Sesuai dengan bagaimana sesana seorang dewa. Kerauhan dewa ini kemudian dipilah lagi menjadi tiga. 

Diantaranya kerauhan sesuhuhan agung, kerauhan dewa dari sajeroning prasanak, dan kerauhan para rencang ida bhatara.

"Kalau sudah kerauhan dewa dari sesuhunan agung atau prasanak, sifat perilaku pasti halus. Ciri lainnya pasti meneteskan air liur atau air mata ketika berbicara," jelasnya. 

Sebab hadirnya beliau tidak bisa dikendalikan. Sementara apabila kerauhan dari para rencang, biasanya mengambil api dan lain sebagainya.

Ciri selanjutnya, apabila kerauhan dewa itu walau saat kerauhan tidak bisa dikendalikan.

Tetapi ketika sadar seseorang yang kerauhan dewa ini, sadar dan bisa menceritakan apa yang terjadi.

Walau kekuatannya tidak bisa dikendalikan saat kerauhan

Kemudian apabila kerauhan bhuta, dari pengetahuannya perkataan orang itu akan caah-cauh, tidak mengikuti sesana dan lebih ke ngujar ala.

Hal ini berbeda dengan kerauhan yang ada landasan dasarnya. Yakni upakara atau banten yang dilakukan.

"Nah kalau terjadi di warung, bukan disebut kerauhan. Itu adalah kerangsukan atau kesurupan. Kalau kerauhan atau nadi berbeda itu dalam tatanan orang Bali. Sebab kerauhan itu pasti ada media sakral dan ruangnya," katanya. 

Baca juga: Makna Dan Kesakralan Tarian Legong Lasem Hingga Peserta Kerauhan di Depan Puri Agung Denpasar

Baca juga: Dada Winasa Terluka Saat Ngurek, Tertusuk Keris dalam Kondisi Kerauhan, Beruntung Selamat dari Maut

Kalau nadi, segala sesuatu hal yang datang atau dihadirkan itu bisa mengendalikan semuanya.

Dan apa yang diucapkan dia tahu. Hal ini sering terjadi tatkala seorang pedanda sedang muput dan membaca mantra. 

"Kala itu tanpa sadar, beliau (sulinggih) nadi ketika mengucapkan kata-kata suci, karena sesuai dengan Siwa sesana," jelasnya. Kemudian apa yang diucapkan dan dikatakan diikuti masyarakat. Sehingga yadnya yang dilakukan puput atau patut. 

"Itu disebut nadi, segala sesuatu hal yang dihadirkan bisa dikontrol tanpa terkontaminasi dengan aura sekala-niskala atau positif-negatif," sebutnya. Kerauhan dalam tatanan tadi itu, memang tidak bisa dikendalikan. 

Tetapi nanti setelah selesai, seorang yang kerauhan itu sadar dan etikanya tetap mengikuti sesana seorang dewa.

"Biarpun ketika kerauhan mengambil keris dan api, tetapi bisa mengendalikan dalam artian tidak terkontaminasi aura negatif," jelasnya. 

Sedangkan ketika kemasukan bhuta, maka sikapnya dan ucapannya layaknya seorang bhuta. Komang Gases menjelaskan, kerangsukan berasal dari kata rangsuk yang berarti memasukan.

Hal yang dimasukkan identik dengan sesuatu hal yang bersifat negatif.

Semisal seseorang yang ingin menyakiti orang lain. Melalui jalan pangiwa (kiri). Menyebabkan yang dirasuki bergesekan dan lama-kelamaan menjadi bebai atau penyakit. 

"Kalau kesurupan itu kan 'surup' artinya tidak sadar. Sering terjadi saat kondisi seseorang tidak punya uang, takut berlebihan, dan lain sebagainya," jelasnya. Maka dari itu, banyak siswa SD, SMP, hingga SMA kerap kesurupan.

IKUTI BERITA KERAUHAN LAINNYA

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved