Vaksinasi
AstraZeneca Tegaskan Vaksin Buatannya Tidak Mengandung Babi
Perusahaan farmasi dan biofarmasi yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris itu menyatakan vaksin buatannya tidak mengandung babi dan hewan lain.
Pertama, karena kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajjah asyariah dalam konteks fiqh yang menduduki kedudukan darurat syari atau darurat syariah.
Kedua, karena ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.
Ketiga, lantaran ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid guna ikhtiar mewujudkan herd immunity.
Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah sesuai penjelasan saat komisi fatwa melakukan kajian.
Terakhir karena pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia dan tingkat global
Meski demikian, MUI menyatakan akan mencabut izin penggunaan vaksin AstraZeneca saat vaksin merk lain yang hasil kajiannya halal dan suci tiba di Indonesia.
"Intinya vaksin AstraZeneca mengandung unsur vaksin dari babi sehingga hukumnya haram. Namun demikian boleh digunakan karena dalam kondisi darurat untuk mencegah bahaya pandemi Covid-19," jelas Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin Abdul Fatah.
Lima Kaidah
Sementara itu epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr. dr. M. Atoillah Isfandi, M.Kes, memberikan pandangannya terkait konteks kehalalan vaksin AstraZeneca ini.
Menurut dia, secara sederhana, ada 3 hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin.
”Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah. Dan tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudaratnya jauh lebih besar. Jadi hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya,” terang Atoilah.
Ia kemudian menjelaskan 5 kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan halal dan haramnya suatu vaksin. Kaidah-kaidah ini dia sarikan dari berbagai dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Hadist.
Menurut Atoilah yang pertama adalah kaidah Yakin. ”Jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai, maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai benda yang suci,” kata Atoilah.
Yang kedua adalah kaidah Niat. ”Artinya, sebagus apapun bendanya, proses pembuatannya, namun jika tujuannya untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram,” tegas Atoilah.
Lalu yang ketiga adalah kaidah Masyaqqat. ”Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujarnya.