Wawancara Menristek Bambang Brodjonegoro, Ciptakan 61 Inovasi Sejak Pandemi
Profesionalisme dalam bekerja merupakan kunci utama bagi Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Bambang Brodjonegoro
TRIBUN-BALI.COM - Profesionalisme dalam bekerja merupakan kunci utama bagi Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mendulang sukses.
Pria yang juga dikenal sebagai ahli ekonomi itu sejauh ini telah dipercaya mengisi sejumlah jabatan kementerian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kepercayaan yang diperoleh Bambang dari dua rezim pemerintahan yang berbeda tidak serta-merta.
"Rahasianya adalah selalu menjadi profesional. Artinya kita harus berupaya berkinerja terbaik di manapun kita diberikan amanah," ujar Bambang saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Selasa 23 Maret 2021.
Baca juga: Wawancara dengan Dubes RI untuk Malaysia, Lebih 50 Persen TKI di Malaysia Ilegal
Baca juga: Wawancara dengan Dubes RI untuk Malaysia, Malaysia Lebih Agresif Dibanding Kita
Baca juga: Wawancara Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat, Mallarangeng: Wajar Jokowi Berkomunikasi dengan AHY
Meraih berbagai prestasi, dipercaya mengemban sejumlah jabatan di pemerintahan dan menuntaskan pendidikan formal hingga jenjang S3, bukanlah alasan untuk Bambang berhenti belajar.
"Sekolah dalam pengertian formal betul berakhir, tetapi proses belajar itu tidak boleh berhenti seumur hidup.
Terus terang itu membuat saya lebih semangat untuk mempelajari hal-hal yang baru," kata Bambang.
Berikut ini petikan wawancaranya:
Jarang ada pejabat dari rezim Pak SBY masuk ke rezim Pak Jokowi. Apa rahasianya sehingga Bapak bisa jadi salah satunya, bahkan jadi Menteri di dua periode berturut-turut di masa kepemimpinan Presiden Jokowi?
Rahasianya adalah selalu menjadi profesional. Artinya, kita harus berupaya untuk berkinerja terbaik di manapun kita diberikan amanah.
Kedua, adalah tidak boleh berhenti belajar. Jadi meskipun saya sudah S3 dan segala macam, bukan berarti sekolah itu berakhir.
Sekolah dalam pengertian formal betul berakhir, tetapi proses belajar itu tidak boleh berhenti seumur hidup.
Terus terang itu membuat saya lebih semangat untuk mempelajari hal-hal yang baru.
Kalau boleh dikatakan saya dua kabinet itu pun dengan tiga posisi yang berbeda. Tidak sama satu sama lain.
Berarti perlu penyesuaian, tapi justru itu yang membuat saya menjadi tertarik untuk mempelajari hal-hal yang baru termasuk di bidang riset ini.
Bapak adalah peletak dasar ibu kota baru di Kaltim. Apakah ini konsep terbaik untuk Pak Jokowi?
Mungkin tidak bisa disebut konsep terbaik, maksudnya barangkali bermakna.
Pertama, untuk keuangan adalah teks A teks D. Paling tidak undang-undangnya itu dilahirkan di masa saya wakil menteri keuangan.
Kemudian waktu di Bappenas ada dua, selain konsep dari ibu kota negara, juga ada visi Indonesia 2045.
Saat ini barangkali yang bisa dikatakan adalah inovasi terkait Covid-19.
Di mana dalam waktu yang relatif singkat ternyata banyak yang bisa dilahirkan para peneliti kita.
Mungkin itu beberapa hal yang bagi saya menjadi bagian dari catatan selama perjalanan karier.
Kemenristek ini paling banyak berubah nomenklatur, sampai 8 kali kami catat. Ini berubah terus bahkan dari zaman Presiden Habibie. Kenapa ya?
Riset itu selalu mencari bentuk. Di satu sisi itu sangat dibutuhkan, di sisi lain memang kesulitan untuk bisa dieksekusi di lapangan, sehingga membutuhkan beberapa penyesuaian.
Awalnya pada zaman Pak Soeharto masih disebut Menteri Riset, kemudian di zaman Pak Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi, karena teknologi yang mulai dikembangkan.
Kemudian, Kepala BPPT menjadi Menristek juga pada zaman Pak Habibie.
Lalu BPPT dipisah karena dianggap lembaga penelitian seperti LIPI.
Dan sekarang menjadi Ristek BRIN, salah satunya karena dengan adanya inovasi tadi. Di mana inovasi itu belum pernah masuk dalam portofolio kabinet.
Padahal kalau dilihat di negara lain, itu sudah biasa menteri sience, technology, and inovasion.
Kebetulan Menristek BRIN, salah satunya karena amanat dari Undang-undang nomor 11, sistem ristek yang mensyaratkan adanya BRIN sebagai integrator dari kegiatan serta invensi dan inovasi.
Kemenristek sudah menciptakan 61 inovasi sejak pandemi Covid-19 ini melanda Indonesia. Apa saja?
Dibentuknya konsorsium riset dan inovasi Covid-19 oleh Kemenristek semangatnya adalah mendorong kolaborasi antartiga aktor utama atau tiga pelaku utama yaitu pemerintah, peneliti, dan dunia usaha.
Itu yang biasa kita sebut sebagai triple Helix.
Tiple Helix itulah yang menjadi kunci keberhasilan riset dan inovasi di seluruh negara.
Dari 61 inovasi, rinciannya 50 sudah selesai, sudah menjadi produk, dan 11 masih dalam tahap penyelesaian atau finalisasi.
Beberapa jenis inovasi yang lahir di awal pandemi Covid-19 ini banyak yang terkait dengan screning dan testing, seperti Rapid Test Antibodi yang dikembangkan oleh UGM bekerjasama dengan PT Hepatika Mataram di NTB.
Pada waktu yang bersamaan juga konsorsium di bawah Kemenristek/BRIN juga melahirkan PCR Test Screen yang dikembangkan oleh BPPT bersama start up, yang kemudian melakukan produksinya di Biofarma.
Inovasi selanjutnya ialah Rapid antigen yang dibuat oleh para peneliti di Unpad dan sudah mendapatkan izin edar dari Kementrian Kesehatan.
Selanjutnya, ada GeNose yang bermanfaat sebagai alat screening dengan menggunakan embusan napas, yang dapat mendeteksi senyawa yang kemudian dianalisa untuk melihat apakah seseorang sudah terinfeksi Covid atau belum.
Bagaimana dengan inovasi untuk penyembuhan terhadap orang yang sudah terkena Covid dan dirawat di rumah sakit?
Pertama, terapi plasma convalescent, yang sumber donornya paling baik adalah dari penyintas Covid-19 dengan gejala berat sampai sedang.
Kedua, Kemenristek/BRIN juga mendalami terapi stem cell, yang sudah teruji klinis dan bisa meningkatkan kesembuhan sampai 2,5 kali lipat untuk pasien yang terkategori berat, terutama untuk memperbaiki jaringan paru-paru yang rusak akibat serangan Covid-19.
Ketiga, terapi Exosome yang merupakan pengembangan dari stem cell.
Untuk inovasi di kategori alat kesehatan, Kemenristek/BRIN berhasil mengembangkan berbagai ventilator.
Jadi kunci dari 61 inovasi ini adalah konsep Triple Helix?
Betul sekali. Triple Helix adalah kunci dari kuatnya inovasi di suatu negara. Terutama peneliti, bagaimanapun inovasi harus berbasis penelitian.
Kita ingin agar kualitas penelitian dan pengembangan kita bisa terus meningkat dan kemudian tidak hanya berhenti pada prototipe atau hasil riset, tapi bisa diteruskan sampai ke level industri dan diproduksi untuk komersial.
Harapannya riset harus berjalan. Peneliti adalah sentral dari semuanya tapi di sini lain mereka harus memahami kebutuhan partner.
Rupanya strategi Triple Helix ini juga dilakukan Korea Selatan. Apa yang bisa kita tarik dari penggunaan Triple Helix oleh Korea Selatan ini?
Betul sekali memang di Korea Selatan kesadaran pentingnya riset dan inovasi sudah muncul sejak tahun 70an dan 80an.
Kita bisa memahami ekonomi Korea Selatan bisa melaju lebih cepat dari kita padahal kita mulainya berbarengan.
Satu pelajaran penting dari Korea Selatan, bahwa kalaupun kita punya sumber daya alam (SDA), jangan pernah mengabaikan sumber daya manusia (SDM). Justru SDM itu harus benar-benar diberdayakan.
(Tribunnetwork/Lusius Genik/tis)