Wawancara Tokoh

Curhat Ayah Marcus Fernaldi Gideon, Berharap Sang Cucu Jadi Pebulutangkis Dunia

Kurniahu Gideon menjadi sosok penting dalam perjalanan karier bulutangkis Marcus Fernaldi Gideon.

Tribunnews.com
Kurniahu Gideon selaku ayah dari pebulu tangkis ganda putra Marcus Fernandi Gideon saat berunjung ke kantor Tribun Network di Palmerah, Jakarta Pusat, Jumat 26 Maret 2021. Tribunnews/Jeprima - Curhat Ayah Marcus Fernaldi Gideon, Berharap Sang Cucu Jadi Pebulutangkis Dunia 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Kurniahu Gideon menjadi sosok penting dalam perjalanan karier bulutangkis Marcus Fernaldi Gideon.

Kurniahu Gideon adalah ayah kandung sekaligus pelatih bagi Sinyo, panggilan akrab Marcus Fernaldi Gideon.

MARCUS dibina Kurniahu menjadi pebulutangkis profesional sejak usia 8 tahun.

Namun saat itu keseriusan Marcus menjadi pebulutangkis profesional belum terlihat.

Baca juga: Curhat Ayah Marcus Fernaldi Gideon, Target Sekarang Juara Dunia dan Olimpiade

Baca juga: Wawancara Wabup Bangli I Wayan Diar, Menuju Era Baru, Mengubah Tata Wajah Kota

Baca juga: Wawancara Menristek Bambang Brodjonegoro, Harus Konsisten Pada Ekonomi Berbasis Inovasi

Alhasil, Marcus selalu kalah dalam berbagai kejuaraan.

"Dia dari usia 8 tahun saya latih. Dulu itu dia kalah terus. Main kalah, kalah, kejuaraan di kelompok usia dia, main di sirkuit-sirkuit nasional kalah terus," kata Kurniahu saat berbincang dengan Tribun Network, Jakarta, Jumat 26 Maret 2021.

Kurniahu kemudian mengirim Marcus ke Singapura menjalani pendidikan formal.

"Waktu itu akhirnya saya sekolahkan dia di Singapura," ujar Kurniahu.

Namun, baru empat bulan di Singapura Marcus meminta kepada ayahnya untuk pulang ke Indonesia. Kali ini Marcus menyatakan akan serius menekuni badminton.

"Baru itu dia benar latihan, baru saya genjot. Usia 17 tahun dia juara di sirkuit nasional. Setelah itu dia mengikuti seleksi nasional," kata Kurniahu.

Hingga akhirnya Marcus Fernaldi Gideon menjadi ganda putra terbaik dunia bersama pasangannya Kevin Sanjaya Sukamoljo.

Pasangan Marcus/Kevin populer disapa The Minions.

Melihat putranya sukses menjadi pebulutangkis dunia, Kurniahu mulai melirik cucunya yang baru berusia 2 tahun, Gideon Junior.

"Saya ingin begitu (cucu meneruskan nama Gideon). Nama anaknya Gideon Junior," ucap Kurniahu.

"Terus terang di rumah Marcus itu digantungin satu kok, disiapkan juga raket, dipukul-pukul. Baru dua tahun dia sudah bisa muluk-muluk. Mungkin sekali Junior itu jadi pemain bagus," lanjutnya.

Kurniahu Gideon merupakan mantan pebulutangkis Indonesia.

Dia aktif sebagai pebulutangkis profesional saat era Liem Swie King dan Rudi Hartono.

Kurniahu pernah menorehkan namanya sebagai pemain tunggal putra nomor 7 dunia.

Dia juga pernah menjadi pelatih di PB Tangkas Bogasari, Jakarta, selama puluhan tahun hingga pensiun pada tahun 2017 silam.

Berikut petikan lanjutan wawancara Tribun Network dengan Kurniahu Gideon, ayah Marcus Fernaldi Gideon.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan Marcus ranking 1 dunia?

Lama juga. Dia dari usia 8 tahun saya latih. Usia 17 tahun baru dia juara di sirkuit nasional.

Setelah itu dia mengikuti seleksi nasional.

Anak Marcus apa juga akan dibentuk untuk mengikuti jejak langkah Anda dan Marcus?

Saya kira bisa juga Marcus membawa anaknya sendiri, Junior (nama putra Marcus Fernaldi Gideon).

Saya ingin begitu (cucu meneruskan nama Gideon di pro-scene badminton series dunia).

Nama anaknya Gideon Junior.

Terus terang di rumah Marcus itu digantungin satu kok, disiapkan juga raket, dipukul-pukul.

Baru dua tahun dia sudah bisa muluk-muluk. Mungkin sekali Junior itu jadi pemain bagus.

Marcus sudah tahu potensi anaknya itu?

Sudah saya kasih tahu Junior ini bakal bagus ini.

Dia bilang iya pak, ini saya gantungkan (kok) terus, pakai raket dia pukul-pukul terus.

Kita harap nanti bisa jadi regenerasi untuk Indonesia.

Saya bagaimanapun untuk Indonesia. Saya saja mau ditarik melatih di Hong Kong, di Amerika, saya tidak mau.

Bukan saya engga mau duit, tapi ya makan tempe dan tahu saja di sini sudah enak.

Makanya saya genjot dia.

Waktu Marcus keluar dari Pelatnas saja mau ditarik ke Hong Kong.

Saya dilobi, didatangi oleh ketua pembinaan badminton Hong Kong.

Saya bilang, dek (Marcus), ditawari muluk-muluk. Saya bilang dek engga usahlah, makan tempe dan tahu enak juga di sini saya bilang.

Dia akhirnya sepakat, dan alhamdulilah dia dapat berpasangan sama Markis Kido.

Juara di Prancis, juara Grand Prix. Abis itu Kido tidak bisa main, pinggangnya sakit terus.

Terus diajak PBSI untuk menjadi partner Kevin Sanjaya.

Semua Tuhan yang mengatur.

Hoki tadi, ini keberuntungan.

Pak Kurniahu ini bukan saja pelatih.

Dulu juga berlaga sebagai pemain pro.

Tahun 1981 bahkan nomor 7 dunia.

Bisa cerita sedikit bagaimana kisahnya?

Saya pernah juara Indonesia.

Final di Dutch Open, tapi waktu itu kalah.

Terus final di Thailand Open itu, di Jepang kemudian nomor tiga waktu itu yang juara Rudi Hartono.

Juara di Brunei, juara Merdeka Games.

Itu saya juara-juara gitu lumayan.

Bisa ranking 7 dunia itu kan lumayan.Tapi tiap All England itu saya kalah terus.

Tiga kali saya All England kalah terus. Jadi melalui Marcus terobatilah.

Hambatan apa yang paling berat dulu itu?

Saya kan dulu mau ke All England seleksi dulu di dalam negeri.

Memang sudah capek mungkin, gempur-gempuran di interen.

Kita seleksi, juara satu dan dua itu baru diberangkatkan All England.

Terlepas prioritas mungkin Rudi Hartono, Liem Swie King, itu mereka bebas seleksi.

Kita gempur-gempuran dulu di dalam, abis itu ke All England kan loyo juga.

Sudah banyak tenaga terkuras (kurang fit).

Semua sih kepingin juara, tapi kan lawannya itu lumayan-lumayan.

Setelah pensiun dari atlet, kenapa mau menjadi pelatih?

Saya senang, saya hobi badminton, menjiwainya juga.

Terus saya pikir, 1986 berhenti, 1987 harus melatih.

Belajar kepelatihan, sekolah kepelatihan, belajar juga.

Nambah ilmu harus.

Sertifikasi kepelatihan, sampai saya terakhir pada 1997 ikut coaching clinic di Melbourne.

Belajar juga saya kepingin.

Waktu itu kebetulan saya bawa tim junior Indonesia ke Melbourne.

Sekalian saya belajar, ada coaching clinic, setiap negara dijatah dua pelatih bisa ikut.

Pingin belajar terus waktu itu.

Sampai sekarang saya mau belajar juga, motivasi dan karakter.

Mempelajari sifat anak-anak. Kadang-kadang kan kita engga tahu.

Kalau dulu itu kalau malas bisa nempeleng, kalau sekarang sudah tidak boleh. Beda pendekatannya.

Sudah berapa lama menjadi pelatih?

Waduh, lama sekali. Setengah dari usia, 34 atau 35 tahun (melatih) mungkin. (*)

(tribun network/lucius genik)

Kumpulan Artikel Bulutangkis

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved