Serba Serbi
Bija Setelah Sembahyang, Berikut Maknanya Dalam Hindu Bali
Umat Hindu, khususnya di Bali kerap menggunakan bija setelah sembahyang. Lalu apakah makna dan fungsinya dalam Hindu Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Umat Hindu, khususnya di Bali kerap menggunakan bija setelah sembahyang.
Lalu apakah makna dan fungsinya dalam Hindu Bali.
Berikut penjelasan Jero Mangku Ketut Maliarsa.
Bija adalah beras, yang diisi air atau tirta dan diletakkan di tengah-tengah kening, serta dimakan.
Baca juga: Buda Wage Warigadean, Apa yang Seharusnya Dilakukan Umat Hindu?
Baca juga: Makna Upacara Melasti Sebelum Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu Bali
Baca juga: Budaya Literasi Kunci Kemajuan Umat Hindu, Ari Dwipayana: Jangan Sampai Pintar Tapi Tak Kongruen
Berikut detail penjelasan bija dan fungsinya setelah umat Hindu mendapat siratan tirta amerta pada saat persembahyangan.
Menurut tatanan persembahyangan agama Hindu di Bali, sembahyang selalu disertai dan diawali dengan puja Tri Sandya.
Yang dipimpin oleh rohaniawan sadaka (sulinggih).
"Atau hanya dipimpin oleh pemangku pura tersebut, sehingga pelaksanaan persembahyangan dapat berjalan secara tertata dan berurutan dengan benar," sebutnya kepada Tribun Bali, Rabu 31 Maret 2021.
Setelah selesai melakukan puja Tri Sandya dan kramaning sembah, prosesi selanjutnya para umat Hindu akan mendapat siratan tirta atau wangsuh pada (wangsuh cokor) Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasi-Nya yang malinggih di pura tempat melaksanakan persembahyangan tersebut.
"Untuk memperoleh tirta amerta, atau sering disebut tirta kehidupan sehingga merasakan ketenangan batin dan keharmonisan jiwa raga," kata pemangku asli Bon Dalem ini.
Dan yang tidak kalah pentingnya setelah prosesi nunas tirta, pamedek atau umat pasti diberikannya sejumput beras yang disebut dengan bija.
Di mana secara niyasa merupakan prenawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dilambangkan dengan aksara 'Om'.
Bija adalah niyasa (simbol) Hyang Kumara, sebagai anak Bhatara Siwa.
Bija juga sering disebut 'gandhaaksata'.
Gandha, kata dia, artinya bau wangi yang dibuat dengan asaban kayu cendana sehingga berbau harum yang dapat memberi aura ketenangan pikiran.
"Aksata artinya beras utuh (baas galih) dan tidak boleh patah-patah atau rusak. Hal ini menyimbolkan yang utuh akan mampu tumbuh dan berkembang dalam diri jiwa raga umat manusia, sehingga menjadi benih yang utama untuk mewujudkan benih-benih ke Siwa-an dalam bhuana alit setiap umat Hindu," tegasnya.
Hal ini dikatakan demikian, karena menurut Upanisad yang diyakini oleh para umat Hindu di Bali bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dikatakan memenuhi alam semesta dengan tanpa wujud tertentu dan beliau tidak ada di surga atau di dunia tertinggi.
Melainkan berada pada setiap ciptaan-Nya.
"Secara umum para umat Hindu memakai bija sesudah nunas tirta atau wangsuh pada yang befungsi untuk memantapkan keyakinan dalam menemukan kesucian badan (angga sarira) dan badan sukma (suksma sarira)," sebut mantan kepala sekolah ini.
Umat Hindu berkeyakinan tinggi, bahwa bija ini untuk berproses menanamkan benih-benih kesucian pikiran, kesucian perkataan, dan kesucian perilaku yang dilandasi dengan kesucian hati nurani yang juga dijiwai oleh benih-benih kesucian ke Siwa-an.
Bija juga dikatakan sebagai unsur utama, dalam mengarungi kehidupan umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan, kesuburan, dan kehidupan yang jagadhita karena berkaitan dengan Sri Dewi Maha Laksmi, sebagai dewi pemberi kehidupan untuk mencapai kemakmuran.
Makanya bija dibuat dari beras yang utuh, lonjong dan baik karena diyakini sebagai niyasa atau simbol 'lingga' yang merupakan pranawa Bhatara Siwa itu sendiri.
"Bahkan bija ini dilambangkan juga 'Wijaksara' yaitu wija dan aksara sebagai yang berkekuatan dengan pranawa yaitu simbol aksara 'Om' yang diyakini sangat berhubungan dengan agar tumbuh dalam diri umat Hindu," imbuh pemangku Pura Campuhan Windhu Segara ini.
Sifat Dewi Sampat yaitu sifat-sifat kedewataan dan menghilangkan asuri sampat yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Di samping itu, angka tiga pada bija yang ditaruh di kening, juga merujuk sebagai simbol 'Triveni' yaitu tiga pembuluh darah.
Diantaranya yaitu Ida, Pinggala, dan Sumsumna.
Ida adalah pembuluh darah, simbol bulan yang menghembuskan angin dingin melalui lubang hidung kiri pada malam hari.
Pinggala adalah simbol matahari yang menghembuskan udara melalui lubang hidung kanan pada siang hari.
Dan Sumsumna berhembus angin melalui lubang hidung kiri dan lubang hidung kanan bergantian sebagai pengatur jalannya pernafasan sehingga bisa hidup sempurna.
Secara umum penempatan bija setelah selesai mohon tirta yaitu pada sedikit di atas lelata (cuda mani) yang sering disebut 'ajna cakra' agar tumbuh sinar kebijaksanaan.
Dengan mantra 'Om Sriyam Bhawantu' artinya semoga cerdas atas anugerah-Nya.
Kedua, diletakkan di luar kerongkongan bawah sebagai simbol wisuda cakra agar tumbuh kebahagiaan, dengan mantra 'Om Sukham Bhawantu' artinya semoga mencapai kebahagiaan atas anugerah-Nya.
Ketiga, lanjut ia, tiga biji bija ditelan dan tidak boleh dikunyah dengan mantra 'Om Purnam Bhawantu, Om Ksama Ksampurna ye Namah Svaha’.
Artinya semoga mencapai kesempurnaan dan pengampunan atas anugerah-Nya.
Bahkan ada juga yang menempatkan tiga biji bija masing-masing pada ubun-ubun sebagai simbol 'Ardhanareswari' sebagai Siwa Uma.
Kedua, di dada sebagai simbol dewa dan atma sebagai tumbuhnya keyakinan 'Tri Tatwa' yaitu Siwa Tatwa,Widya Tatwa,dan Atma Tatwa.
Ketiga, ditempatkan di pangkal tenggorokan untuk menghidupkan 'cakra kundalini' yaitu tujuh cakra dalam tubuh.
Kesimpulannya bahwa setiap selesai umat Hindu melakukan persembahyangan, selalu harus menempatkan bija sebagai akhir dari kegiatan persembahyangan dengan tujuan atau fungsi yang utama adalah untuk dapat mengembangkan atau menumbuhkan benih- benih ke Siwa-an dalam angga sarira dan suksma sarira.
"Sehingga menjadi umat Hindu yang membangkitkan sifat-sifat kedewataan, dan menghapuskan bahkan menghilangkan sifat-sifat keraksasaan," katanya.
Masalah penempatan bija, ia mengatakan agar menggunakan yang umum dipakai yaitu di antara lelata atau kening (cuda mani), di luar dasar kerongkongan, dan dimasukkan ke dalam mulut lalu ditelan langsung tanpa dikunyah agar benih-benih tidak rusak sehingga dapat tumbuh dengan baik. (*).