Serba Serbi

Dikenal Sebagai Gelungan Sulinggih, Apa Sebenarnya Makna Ketu di Bali?

da Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti menjelaskan, bahwa sejak dahulu kala sebelum tahun 1960-an, bawa atau ketu (gelungan pendeta)

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa
Muput upacara Betara Turun Kabeh di Soring Ambal-Ambal. Oleh Ida Bujangga Sara Sastra: Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Istri Satya Lakshmi. 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Berbicara mengenai sulinggih atau pendeta di Bali, memang selalu menarik. Satu diantaranya dari tata busana pemuka agama ini.

Sebab tata busana sulinggih tidaklah sama dengan tata busana masyarakat umum atau welaka.

Khususnya tata busana saat para sulinggih ini mapuja dalam sebuah upacara.

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti menjelaskan, bahwa sejak dahulu kala sebelum tahun 1960-an, bawa atau ketu (gelungan pendeta) itu ada dua macam.

Baca juga: Apa Perbedaan Bawati Dan Sulinggih? Berikut Penjelasannya

"Untuk ida pedanda dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, memakai ketu berbentuk bundar seperti yang biasa kita lihat," jelas ida rsi kepada Tribun Bali, Rabu 7 April 2021.

Untuk Ida Pedanda Budha, kata beliau, memakai gelungan dengan ornamen seperti pada gelungan Rama di dalam kisah epos Ramayana.

Hal inilah yang kerap menjadi pembeda busana ketika seorang sulinggih muput di tengah-tengah masyarakat.

"Sedangkan kalau tentang warna bawa/ketu (gelungan) di keluarga Bhujangga Waisnawa, ada tatanannya," jelas beliau.

Warna hitam biasanya dipakai oleh sulinggih yang mulai dari tahun pertama atau baru madiksa sampai dengan 5 tahun atau lebih.

Kemudian gelungan warna merah biasanya dipakai oleh sulinggih yang sudah madiksa lebih dari 5 tahun sampai seterusnya.

"Namun banyak juga yang memakai ketu warna hitam walaupun sudah lebih dari puluhan tahun," sebut ida rsi.

Nah apabila ada sulinggih yang memakai gelungan dengan warna putih. Maka ia merupakan seorang nabe.

 "Sebab ini (gelungan warna putih) hanya boleh dipakai oleh sulinggih yang sudah melahirkan nanak," tegas ida.

Atau dengan kata lain, yang boleh memakai ketu warna putih, adalah sulinggih yang sudah menjadi nabe (Nabe Napak).

Baca juga: 93 Sulinggih di Klungkung Telah Terima Vaksin Covid-19

Inilah sesana gelungan dan arti warnanya.

Sejak 1960-an itu juga, bentuk ketu atau bawa (gelungan) ada yang bundar dan mahkota.

"Bulat panjang dan ornamennya sederhana, seperti yang biasa kita lihat untuk pendeta Siwa atau ida pedanda, dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa ini  adalah sebagai lambang lingga," jelas beliau.

Lalu ada yang berbentuk mahkota, dengan banyak ornamen seperti gelungan Rama dalam tarian Bali, yang dipakai oleh kalangan Ida Pedanda Budha.

"Namun saat ini banyak bentuk-bentuk bawa atau gelung sulinggih, yang muncul dan dengan ornamen hiasan yang wah megahnya. Nah hal ini tiang sendiri tidak tahu makna sesungguhnya," kata pensiunan dosen UNHI ini.

Lanjut beliau, apabila pedanda Siwa dan Rsi Bhujangga tidak ada perbedaan. Sebab keduanya memakai gelaran Siwa Siddhanta.

Begitu juga dengan untuk Pedanda Budha, memiliki makna dan esensinya sendiri.

Terkait khusus untuk nabe ini, beliau mengatakan tidaklah mudah.

 Sebab menjadi guru nabe, guru dari gurunya para sulinggih adalah tugas yang berat dan sangat bermakna.

Untuk itu syarat menjadi guru nabe tidaklah mudah. Ida rsi menjelaskan, syarat pertama harus sudah cukup senior dalam malinggih atau madiksa. Sehingga rekam jejak dalam muput upacara sudah banyak, khususnya dalam melalui suka dan duka.

Baca juga: Pecaruan Catus Pata di Jembrana, Libatkan Lima Sulinggih

Memiliki pengetahuan yang cukup di dalam kesulinggihan. Serta pengetahuan tentang arti, fungsi dan makna upacara serta upakara (bebantenan) di Bali.

 Memiliki pengetahuan tentang  filsafat ketuhanan, seperti hakekat ketuhanan (Brahma Widya).

"Berhati bersih, jujur, satya wacana, dan ahimsa. Kemudian melaksanakan atau mempraktekkan secara nyata tentang Trikaya Parisuda," sebut beliau.

Dipilih oleh calon sisya (calon nanaknya), karena seorang nabe tidak boleh mencari murid atau nanak.

Tetapi nanak yang harus mencari nabe.

"Kalau ada nabe yang mencari murid, atau sisya atau nanak, itu namanya Nabe Metanja," tegas ida.

Syarat lainnya, siap dan mau menjadi nabe dari calon nanak.

Sebab seorang nabe berhak menolak sisya atau nanak, apabila nabe tidak berkenan dengan rekam jejak si calon sisya.

 "Ada beberapa syarat lagi, yang  sebenarnya cukup ketat yang harus dimiliki oleh calon nabe," ucap ida rsi.

Untuk itu, seharusnya memang guru nabe ini selain tua atau lingsir dalam usia, juga tua atau lingsir dalam pengetahuan. (*)

Artikel lainnya di Serba Serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved