Kenapa Memotong Babi Saat Penampahan Galungan?

Memotong babi saat penampahan, memiliki makna untuk mengalahkan sad ripu atau enam sifat dalam diri manusia.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi babi guling - Kenapa Memotong Babi Saat Penampahan Galungan? 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Selasa 13 April 2021 merupakan Penampahan Galungam.

Pada penampahan Galungan ini, masyarakat Hindu Bali biasanya memotong babi ataupun ayam.

Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika mengatakan, memotong babi saat penampahan, memiliki makna untuk mengalahkan sad ripu atau enam sifat dalam diri manusia.

Serta untuk mengalahkan Rajas-Tamas menjadikan kebaikan. 

"Babi itu niyasa dari sifat rajas-tamas itu. Sebenarnya, sangat bagus bila tidak sampai mengorbankan hewan kalau kita hubungkan dengan ajaran Ahimsa. Memotong hewan korban baik babi dan atau ayam itu niyasa mengalahkan Rajas-Tamas," katanya.

Sebagian dari hasil korban itu dinikmati dan tidak lupa menghaturkannya kepada Tuhan karena semuanya itu ciptaan-Nya. 

Baca juga: Turunnya Sang Bhuta Dunggulan di Hari Penyajan, ‘Jangan Mau Menang Sendiri’

"Memotong babi wajib saat penampahan kalau terkait dengan Galungan," imbuhnya.

Penampahan ini jatuh sehari sebelum Galungan yaitu, Anggara Wage wuku Dunggulan.

Menurut Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa, saat penampahan ini selain nampah (memotong) babi, juga membuat segehan.

"Segehan itu persembahan ke Bhuta Dungulan yang dihaturkan di pekarangan rumah untuk Bhuta Bucara dan Durga Bucari dimana tempat persembahannya yaitu di depan sanggah, di lebuh, dan di depan rumah," kata Guna.

Selain itu, dalam Lontar Sundarigama disebutkan: 

Anggara, wage penampaan, irika penadah ire sang buta Galungan, marmaning sinanggerahe dening para kerti, ring desa-desa ane buta nyadnya, aneng catus pataning desa, sarupaning yadnya wenang kunang sakuweh nikang sanjata peperangan kabeh jaye-jaye kene samane ika, nguniyeh. Ikang wang kabeh perascitanen, muang jaya-jaya dening sang pandita, meke perako peretameng perang, ane perecaruning sakuwu-kuwu kunang, sege warna telu, sinasah, tandingania anut urip, purwa putih lima, daksina bang siya utara selem papat, iwaknia olahan bawi, saha tabuh, sege agung abesik, genahing caru ring natah umah, muang ring sanggar, dengen, sambat sang buta galungan ikang laki-laki abiya kala aperayascita, ayabin sesayut mengerepaken mantra pergolan, saha busananing paperangan, ngaran patitising nyane, ngaran patitising adnyana galang apadang, palane kosa ring perang.

Anggara Wage (Dunggulan), disebut hari Penampahan. Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan nadah (makan), sehingga pada saat itu patutlah dilaksanakan upacara Bhuta Yadnya di setiap desa, dengan korban caru kepada para Bhuta, bertempat diperempatan Desa.

Persembahan yang diberikan kepada Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar dan dipuput oleh Sulinggih.

Baca juga: Sang Hyang Kala Tiga Mulai Turun ke Dunia, Begini Makna Penyekeban Galungan

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved