Myanmar

Obama Sedih Melihat Kekerasan di Myanmar yang Kian Memilukan

Barack Obama yang turut mempromosikan perubahan demokrasi Myanmar saat menjabat presiden, menyampaikan kegundahannya itu Senin 26 April 2021.

Editor: DionDBPutra
Rizal Bomantama/Tribunnews.com
Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi salam kepada peserta Kongres Diaspora Indonesia keempat di Kota Kasablanka Main Hall, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu 1 Juli 2017. 

TRIBUN-BALI.COM, WASHINGTON DC - Kekerasan junta militer Myanmar terhadap warga sipil membuat Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama sedih.

Obama pun terkejut dengan kekerasan yang kian memilukan sejak militer merebut kembali tampuk kekuasaan di negeri itu melalui kudeta 1 Februari 2021.

Barack Obama yang turut mempromosikan perubahan demokrasi Myanmar saat menjabat presiden, menyampaikan kegundahannya itu pada Senin 26 April 2021.

Melansir kantor berita Reuters, dalam pernyataan tak lazim diberikan setelah melepas kekuasaannya, Obama mendukung upaya pemerintahan Biden, dan negara-negara yang berpikiran sama untuk membebankan “biaya” kerusakan demokrasi Myanmar kepada para jenderal.

Baca juga: Jokowi Desak Junta Myanmar Setop Kekerasan, Jenderal Min Akan Penuhi Permintaan Pemimpin ASEAN

Baca juga: Jutaan Warga Myanmar Terancam Kelaparan, Jumlah Orang Miskin Meningkat Pesat

"Upaya militer yang tidak sah dan brutal untuk memaksakan kehendaknya setelah satu dekade kebebasan, jelas tidak akan pernah diterima oleh rakyat dan tidak boleh diterima oleh dunia secara luas," tegas Obama dalam unggahannya di Twitter.

"Tetangga Myanmar harus mengakui bahwa rezim pembunuh yang ditolak oleh rakyat hanya akan membawa ketidakstabilan yang lebih besar, krisis kemanusiaan, dan risiko negara gagal," tambahnya.

Barack Obama mendesak mereka yang berada di Myanmar mencari masa depan demokratis untuk "terus menjalin solidaritas antar kelompok etnis dan agama."

"Ini adalah masa-masa kelam, tetapi saya tersentuh oleh persatuan, ketangguhan, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang ditunjukkan oleh begitu banyak orang Burma. Itu menawarkan harapan untuk masa depan yang bisa dimiliki Myanmar melalui para pemimpin yang menghormati keinginan rakyat," kata mantan presiden itu.

Kelompok pemantau aktivis mengatakan lebih dari 750 orang telah tewas sejak para jenderal menanggapi mereka yang memprotes kudeta 1 Februari lalu, dengan kekuatan mematikan.

Myanmar mengalami kemunduran dalam demokrasi. Berubah lekas dari harapan yang tinggi satu dekade lalu tatkala militer memulai transisi menuju demokrasi.

Kemudian, para jenderal membebaskan pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi dan mengizinkannya mencalonkan diri serta membuka tender energi dan telekomunikasi kepada perusahaan asing.

Presiden Obama ketika itu menanggapi perkembangan tersebut dengan mencabut embargo perdagangan dan sebagian besar sanksi bagi Myanmar.

Tindakan yang menurut beberapa pejabat AS saat itu, terlalu dini. Banyak sanksi dari AS telah diberlakukan kembali sejak kudeta.

Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan 3.431 orang telah ditahan karena menentang kudeta, termasuk Suu Kyi, yang menghadapi dakwaan yang dapat membuatnya dipenjara selama 14 tahun.

"Perhatian dunia harus tetap tertuju pada Myanmar, di mana saya dikejutkan oleh kekerasan yang menghancurkan hati terhadap warga sipil dan terinspirasi oleh gerakan nasional yang mewakili suara rakyat," kata Obama.

Kritik Kesepakatan ASEAN

Sementara itu, kelompok hak asasi manusia dan orang-orang di Myanmar telah mengkritik kesepakatan antara Min Aung Hlaing, jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer dengan para pemimpin Asia Tenggara untuk mengakhiri krisis Myanmar.

Kesepakatan itu disebut gagal memulihkan demokrasi, dan meminta pertanggungjawaban tentara atas pembunuhan ratusan warga sipil.

Tidak ada protes langsung di kota-kota besar Myanmar sehari setelah kepala angkatan bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan para pemimpin ASEAN, dan menyetujui rencana lima poin.

Menyerukan diakhirinya segera kekerasan dan kekerasan agar "semua pihak" menahan diri.

"Pernyataan ASEAN adalah tamparan di wajah orang-orang yang telah dianiaya, dibunuh dan diteror oleh militer. Kami tidak membutuhkan bantuan Anda dengan pola pikir dan pendekatan itu," kata seorang pengguna Facebook bernama Mawchi Tun pada Minggu 25 April 2021.

Menurut pernyataan dari Brunei, ketua ASEAN saat ini, konsensus dicapai dengan lima poin, untuk mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, penerimaan bantuan, utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi diskusi dan kunjungan berikutnya ke Myanmar.

Pernyataan itu tidak memiliki batas waktu, dan tidak menyebutkan tahanan politik, meskipun pernyataan ketua mengatakan KTT ASEAN itu "mendengar seruan" untuk pembebasan mereka.

“ASEAN tidak dapat menutup-nutupi fakta bahwa tidak ada kesepakatan bagi junta untuk membebaskan para tahanan politik yang saat ini ditahan. Termasuk tokoh politik senior yang mungkin akan terlibat dalam penyelesaian yang dinegosiasikan untuk krisis tersebut,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan melanjir Al Jazeera pada Minggu 25 April 2021.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok advokasi yang melacak penangkapan dan kematian, mengatakan 748 orang telah terbunuh sejak pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan. Catatannya menunjukkan 3.389 orang ditahan.

"Pernyataan tidak mencerminkan keinginan orang mana pun," tulis Nang Thit Lwin dalam komentarnya pada berita di media domestik Myanmar tentang kesepakatan ASEAN.

"(Yaitu) Untuk membebaskan narapidana dan tahanan, untuk bertanggung jawab atas nyawa yang meninggal, untuk menghormati hasil pemilihan dan memulihkan pemerintahan sipil yang demokratis," protesnya.

Aaron Htwe, pengguna Facebook lainnya, menulis: "Siapa yang akan membayar harga untuk lebih dari 700 nyawa yang tidak bersalah?"

Mempertahankan tekanan

Militer telah mempertahankan kudeta dengan menuduh bahwa kemenangan telak NLD dalam pemilihan November 2020 adalah penipuan, meskipun komisi pemilihan menolak keberatan tersebut.

Pertemuan ASEAN adalah upaya internasional terkoordinasi pertama untuk meredakan krisis di Myanmar, yang bertetangga dengan China, India dan Thailand dan telah bergejolak sejak kudeta.

Selain protes, kematian dan penangkapan, pemogokan nasional, telah melumpuhkan kegiatan ekonomi di negara itu.

Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) paralel Myanmar, yang terdiri dari tokoh-tokoh pro-demokrasi, sisa-sisa pemerintahan Aung San Suu Kyi yang digulingkan dan perwakilan kelompok etnis bersenjata, mengatakan pihaknya menyambut baik konsensus yang dicapai, tetapi menekankan pemerintah militer harus berpegang pada janjinya.

“Kami menantikan tindakan tegas ASEAN untuk menindaklanjuti keputusannya dan memulihkan demokrasi kami,” kata Dr Sasa, juru bicara NUG.

Robertson mengatakan tekanan perlu dipertahankan dan sanksi ekonomi harus diperluas untuk mencakup "pendapatan minyak dan gas yang terus mengisi pundi-pundi junta".

Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa telah memberikan sanksi kepada para jenderal yang memimpin Kudeta, dan angkatan bersenjata konglomerat yang luas, MEHL dan MEC.

ASEAN, yang beroperasi atas dasar konsensus dan non-intervensi, belum menjatuhkan sanksi, meskipun Singapura dan Malaysia telah menyerukan diakhirinya kekerasan.

Pada Sabtu 24 April 2021, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan KTT itu sukses. “Itu di luar harapan kami untuk mendapatkan hasil dari pertemuan hari ini,” kantor berita negara Malaysia Bernama mengutip ucapannya.

Berita lain terkait krisis Myanmar

Artikel ini telah tayang di Kompas.com berjudul Obama: Kekerasan di Myanmar Memilukan, Para Jenderal Harus Bayar” Perbuatannya

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved