Berita Bali
Rangkaian Akhir Galungan, Apa Itu Hari Pegatwakan Saat Rabu Kliwon Wuku Pahang?
Rangkaian Akhir Galungan, Apa Itu Hari Pegatwakan Rabu Kliwon Wuku Pahang? Begini penjelasannya.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Setelah perayaan Galungan dan Kuningan, dalam Hindu di Bali mengenal adanya hari pegatwakan atau kerap juga ditulis pegat uwakan.
Pegatwakan jatuh pada Rabu Kliwon Wuku Pahang.
Pegatwakan merupakan rangkaian terakhir dari Hari Raya Galungan atau menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan.
Saat ini pula, penjor Galungan yang dipasang di depan rumah akan dicabut.
Segala hiasannya dijadikan satu dan dibakar.
Abunya tersebut dimasukkan ke dalam klungah nyuh gading makasturi serta ditanam di lubang tempat pemasangan penjor.
Penjelasan tentang hari raya Pegatwakan ini termuat dalam Lontar Sundarigama, yaitu sebagai berikut.
Pahang, Buda Kliwon Pegatwakan, ngaran, pati warah panelasning mengku, biana semadi, waraning Dungulan ika, wekasing perelina, ngaran kalingan ika, pakenaning sang wiku lumekasang kang yoga semadi, umoring kala ana ring nguni, saha widi-widana sarwa pwitra, wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa abesik, katur ring Sang Hyang Tunggal, panyeneng tatebus.
Artinya:
Buda Kliwon Pahang merupakan Hari Raya Pegatwakan. Disebut Pegatwakan karena saat itu adalah berakhirnya tapa brata. Sang wiku patut melaksanakan renungan suci. Sarananya yaitu wangi-wangian dan sesayut dirgayusa dan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Tunggal, dan dilengkapi juga dengan penyeneng dan tetebus.
Baca juga: Tradisi Macandu Saat Umanis Galungan di Banjar Dualang Denpasar, Saling Ledek dengan Sebutan ‘Kiul’
Karena dipercaya merupakan hari suci, umat Hindu di Bali pun melakukan persembahyangan, melaksanakan yoga semadi, dan membuat sesajen berupa canang wangi-wangi.
Dalam lontar Sundarigama juga dijelaskan, pegatwakan berarti putusnya perkataan.
Atau kemudian diartikan sebagai batas akhir masa melakukan dhyana semadi dalam rangka perayaan hari suci pada Wuku Dungulan atau dinamakan akhir (puncak peleburan).
Lontar Sundarigama koleksi Geria Gede Banjarangkan, Klungkung menyebutkanungkapan Pegatwakan memiliki makna tersendiri.
'Pegat ing tirisan' atau 'pegat ing warah'. Kata tirisan artinya pohon kelapa. Sehingga ada kemungkinan, kata tirisan ini dianalogikan dengan twak, ang berarti nira atau kulit.
Lalu diasosiasikan dengan arti kata wak yang berarti bicara, suara, bahasa, bunyi, kata, dan kalimat.
Sementara itu, 'wkas ing pralina' atau puncak peleburan yang dimaksud adalah pralina balung dungulan.
Ada kemungkinan ungkapan pralina balung dungulan ini maksudnya adalah peleburan kekuatan-kekuatan negatif yang muncul akibat pengaruh kekuatan Sang Hyang Kala Tiga pada Wuku Dungulan.
Dalam Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama disebutkan pengaruh kekuatan negatif itu bisa saja muncul melalui perkataan atau wak, di samping melalui perbuatan (kaya), dan pikiran (manah).
Baca juga: Rahajeng Umanis Galungan, Tak Hanya Pergi ke Tempat Wisata, Ini yang Seharusnya Dilakukan Hari Ini
Sebagaimana diungkapkan dalam Kakawin Nitisastra, perkataan dapat menimbulkan kebahagiaan dan mendatangkan teman, sekaligus juga dapat membawa penderitaan bahkan kematian.
Kekuatan-kekuatan negatif yang ada pada perkataan itulah yang diputus, dihilangkan, ditiadakan saat pegatwakan ini.
Kata 'putus' ini memiliki banyak arti. Diantaranya, berarti akhir, ujung, bagian terakhir, yang tertinggi, puncak, diselesaikan, dikuasai seluruhnya.
Akhirnya menjadi sama sekali hilang, telah lengkap, sempurna, utuh, dan telah mencapai derajat yang tinggi.
Oleh karena itu, pegatwakan berarti terputusnya sabda atau batas waktu berakhirnya pelaksanaan dyana semadi yang berkaitan dengan Wuku Dungulan (Galungan).
Singkatnya, pegatwakan adalah puncak segala peniadaan. (ask/sup)