Berita Bali

Banyak Desa Adat yang Menutup Ashram Sampradaya Non Dresta Bali, Begini Sikap Bendesa Agung MDA Bali

Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengaku bahwa pihaknya menghormati langkah dari berbagai desa adat tersebut.

Penulis: Ragil Armando | Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa
Ketua MDA Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Mulai banyaknya desa adat yang mengambil sikap untuk menutup ashram yang disinyalir merupakan bagian dari sampradaya asing atau non dresta Bali ditanggapi oleh Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengaku bahwa pihaknya menghormati langkah dari berbagai desa adat tersebut.

Apalagi, menurut dia keberadaan desa adat sendiri jauh sudah ada sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehingga ia menyebutkan tidak ada sejengkal tanah Bali yang di luar wewidangan  (wilayah) desa adat.

Baca juga: Gelar Dharmatula, MKKBN Bahas Soal Polemik Pembubaran Sampradaya di Bali

“Ada pemahaman yang rancu antara hak milik dengan wewidangan. Seolah olah wewidangan desa adat adalah yang menjadi milik desa adat saja,” jelas dia, Selasa 11 Mei 2021.

Pihaknya menyebut bahwa persoalan mengenai wewidangan desa adat atau wilayah dan kewenangan desa adat merupakan hak otonom yang diakui negara.

Ida Penglingsir menceritakan bahwa pada masa kerajaan dan masa kolonial Belanda bahkan desa adat memiliki  kewenangan untuk mengurus Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.

Begitu pula hal- hal yang berkaitan dengan kerukunan, keharmonisan, ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keamanan di wilayah atau wewidangan desa adat.

“Bahkan sampai urusan kesejahteraan pun desa adat ikut mengurus dan ikut juga bertanggungjawab. Tidak ada sejengkal tanah Bali yang di luar wewidangan desa adat di Bali,” tegasnya.

Dirinya juga menyebutkan bahwa alasan berbagai desa adat tersebut melakukan penutupan ashram tersebut ialah dikarenakan ingin memegang teguh nilai-nilai Hindu Bali yang memang menjadi dasar dari desa adat tersebut.

“Alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing non dresta Bali  bukanlah karena perbedaan keyakinan yang sangat berbeda semata. Karena  Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Khonghucu juga sangat berbeda dengan Hindu Bali atau Hindu Dresta Bali, tetapi Islam, Kristen, Katolik  , Buddha, Khonghucu hidup damai, harmonis dan rukun di tengah- tengah wewidangan desa adat. Selain itu karena memegang teguh etika pergaulan antar agama dengan keyakinan yang berbeda,” ujar pria yang juga sebagai Ketua FKUB Bali ini.

Ia juga menyebut bahwa para ashram sampradaya asing yang non dresta Bali itu dinilai juga telah secara sistematis , terstruktur dan masif menyebarkan keyakinan mereka yang sangat berbeda itu di tengah umat yang sudah beragama.

Dalam hal ini di tengah -tengah umat Hindu Bali atau di tengah desa adat.

“Dengan penyebaran keyakinan tersebut yang masif, sistematis dan terstruktur tersebut maka jelas dapat dipastikan bahwa kelompok sampradaya asing yang merupakan gerakan untuk mengganti dan atau menghancurkan Agama Hindu Bali, Agama Hindu Nusantara, Adat Bali, Budaya Bali dan Desa Desa Adat di Bali,” tandasnya.

Baca juga: MDA Bali Beberkan Alasan Penutupan Ashram Khrisna Balarama, Singgung Sampradaya Non Dresta Bali

Berdasarkan hal itu juga adanya keinginan mereka menghancurkan dan atau menggantikan nilai yang paling luhur, paling bernilai dan paling dalam dari aspek nilai Bali.

“Itu berarti mereka sudah punya rencana jahat untuk menghancurkan Bali. Ini sungguh prilaku sangat tercela dari Sampradaya Asing tersebut, dan inilah alasan utama mengapa desa adat menutup ashram- ashram  Sampradaya Asing di Bali,” tukasnya. (*)

Artikel lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved