Berita Bali
Terkait Persepsi Wewidangan Desa Adat dan Fungsinya, Ini Penjelasan Pihak MDA Bali
Pemahaman yang rancu, antara hak milik dengan wewidangan. Seolah-olah wewidangan desa adat adalah yang menjadi milik desa adat saja
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Meski sudah berkali-kali dijelaskan baik melalui pidato, video, pernyataan tertulis, namun masih saja ada masyarakat bahkan tokoh yang bingung didalam memahami desa adat.
Bahkan sampai, terdapat video yang beredar melalui berbagai media sosial, yang isinya pernyataan dan pendapat yang salah tentang wewidangan dan kewenangan desa adat.
"Pembuat video ini sebenarnya sangat kurang pengetahuan tentang desa adat.
Ini bisa menyesatkan, mengingat tokoh dalam video itu adalah orang yang mestinya sangat dihormati," tegas Patajuh Penyarikan Agung MDA Bali, I Made Abdi Negara, dalam rilisnya, Selasa 11 Mei 2021.
Baca juga: Banyak Desa Adat yang Menutup Ashram Sampradaya Non Dresta Bali, Begini Sikap Bendesa Agung MDA Bali
Pemahaman yang rancu, antara hak milik dengan wewidangan. Seolah-olah wewidangan desa adat adalah yang menjadi milik desa adat saja.
"Padahal wewidangan desa adat adalah hak otonom yang diakui negara, dulu diakui kerajaan, bahkan negara penjajah, yaitu kewenangan untuk mengurus baik parahyangan, pawongan dan palemahan," katanya.
Untuk hal-hal yang berkaitan dengan kerukunan, keharmonisan, ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keamanan di wilayah-wilayah atau wewidangan desa adat itu. Bahkan sampai urusan kesejahteraan pun desa adat ikut mengurusi dan ikut juga bertanggungjawab.
"Tidak ada sejengkal tanah Bali pun yang di luar wewidangan desa adat di Bali," tegas Bendesa Agung MDA Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet.
Menurutnya, dalil ini sudah sejak 1.000 tahun lampau.
Kewenangan wewidangan ini, identik dengan kewenangan negara, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan yang tidak berdasarkan hak milik negara, provinsi, dan lain sebagainya. Tetapi kewenangan untuk mengurus, atau mengatur bukan memiliki.
Jadi wewidangan desa adat tidaklah sebatas yang dimiliki oleh desa adat. Lihat ketentuan atau definisi desa adat. Desa Adat mempunyai wilayah tertentu. Antara satu desa adat dengan desa adat yang lain, selalu berbatasan atau tidak ada ruang yang putus atau kosong tanpa kewenangan desa adat.
Dengan demikian tidak ada bangunan, kegiatan, dan lain sebagainya yang berada di luar wewengkon desa adat.
"Jadi jangan bingung, antara hak milik desa adat dan wewidangan desa adat," tegasnya.
Hak otonomi desa adat diakui oleh Pancasila, nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 (lihat pasal 18B UUD1945) yang merupakan Perjanjian Bangsa atau 4 Konsensus Dasar Bernegara saat berjanji dan berikrar membentuk NKRI.
Baca juga: Gubernur, Kapolda, Danrem dan MDA Bali Teken Nota Kesepakatan Sistem Pengamanan Berbasis Desa Adat
Pengakuan otonomi desa adat ini kemudian turun ke perundangan undangan sampai Perda No.4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
"Hak otonom di dalam wilayah negara dimanapun, di dunia ini selalu ada dan diakui," katanya.
Mulai dari keluarga atau rumah tangga, desa, kelurahan, banjar, desa adat, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, instansi dan seterusnya.
"Sepanjang mereka punya wilayah, wilayah itu apakah merupakan hak milik atau merupakan wilayah admisnistratif baik dinas maupun adat," imbuhnya.
Misalnya di sebuah pekarangan rumah tangga, maka keluarga tersebut boleh membuat peraturan, tata tertib berkunjung, bagi yang ingin menumpang ke pekarangan rumah tangga mereka.
"Bahkan rumah tangga atau keluarga itu, berhak mengusir seseorang yang bukan keluarganya dari pekarangannya," katanya.
Hak otonomi desa adat ini meliputi, mengurus, mengatur, membina di wilayahnya atau wewidangannya.
Masalah-masalah seperti dijelaskan di atas mencakup parahyangan, pawongan, dan palemahan ( jadi mencakup semua aspek kehidupan di desa adat) : Sukreta Tata Parahyangan, Sukreta Tata Pawongan, dan Sukreta Tata Palemahan untuk tujuan kasukretaan wewidangan desa adat, untuk Bali yang Suka Sukreta Santhi Jagadhita.
Abdi Negara menjelaskan, dalam video yang beredar luas tersebut, juga nampak kebingungan, soal mengapa desa adat menutup ashram yang sudah dirasa sangat meresahkan masyarakat, mengganggu ketertiban, kedamaian, keharmonisan, kerukunan dan sangat melanggar etika antar keyakinan yang sangat berbeda.
"Video itu salah persepsi, masih bingung seolah desa adat menutup ashram sampradaya asing adalah karena perbedaan keyakinan semata," tegasnya.
Alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing non dresta Bali, kata dia, bukanlah karena perbedaan keyakinan yang sangat berbeda semata.
Baca juga: Desa Adat Disebut Tidak Langgar Hukum Tutup Ashram ISKCON, Begini Penjelasan Ketua MDA Bali
"Karena Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Khonghucu juga sangat berbeda dengan Hindu Bali atau Hindu dresta Bali, tetapi penganut Islam, Kristen, Katolik , Buddha, Khonghucu hidup damai, harmonis dan rukun di tengah tengah wewidangan desa adat, karena memegang teguh etika pergaulan antar agama dengan keyakinan yang berbeda," katanya.
Ia memaparkan, alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing yang non dresta Bali itu karena sampradaya asing tersebut telah secara sistematis, terstruktur dan masif menyebarkan keyakinan mereka yang sangat berbeda itu di tengah tengah umat yang sudah beragama, dalam hal ini di tengah tengah umat Hindu Bali atau di tengah-tengah desa adat.
"Mereka, sampradaya asing tersebut telah menjelek-jelekkan Agama Hindu Bali (Hindu dresta Bali), terutama ritualnya, adatnya, budayanya dan juga desa adat tidak lepas ikut dijelek-jelekkan dengan berbagai cara dan metode," katanya.
Sampradaya asing ini, juga telah melakukan manipulasi, penipuan terhadap ajaran-ajaran Hindu Bali dan Hindu Nusantara yang luhur, dengan menerbitkan dan menyebarkan buku buku hasil manipulasi itu yang tentunya sangat menyesatkan.
Dengan penyebaran keyakinan tersebut yang masif, sistematis dan terstruktur tersebut maka jelas dapat dipastikan bahwa kelompok sampradaya asing yang merupakan gerakan pihak asing adalah untuk mengganti dan atau menghancurkan Agama Hindu Bali, Agama Hindu Nusantara, adat Bali, budaya Bali dan desa adat di Bali.
"Ini berarti ingin menghancurkan dan atau menggantikan nilai yang paling luhur, paling bernilai dan paling dalam dari aspek nilai Bali," tegasnya.
Itu berarti mereka telah punya rencana jahat untuk menghancurkan Bali.
"Inilah alasan utama mengapa desa adat menutup ashram sampradaya asing di Bali," katanya.
Abdi juga menegaskan bahwa negara harus hadir, untuk melindungi Bali.
Khususnya agama, keyakinan, adat atau tradisi dan budaya desa adat yang menjadi kekayaan luhur NKRI.
Desa adat telah melaksanakan kewenangannya, melaksanakan kewajibannya yang didukung penuh oleh Majelis Desa Adat (MDA), jikalau ada pihak-pihak yang keberatan boleh diselesaikan melalui mekanisme hukum dan atau mekanisme peradilan. (*)
Artikel lainnya di Berita Bali