Wawancara Tokoh

Wawancara Eksklusif Terpidana Bom Bali I Ali Imron: Saya Berteman dengan Anak Korban Bom Bali

Terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron tengah giat mengkampanyekan deradikalisasi.

Tribunnews
Terpidana Bom Bali I Ali Imron saat wawancara eksklusif bersama Tribun Network, Selasa 11 Mei 2021 

TRIBUN-BALI.COM - Terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron tengah giat mengkampanyekan deradikalisasi.

Kini, Ali kerap diundang menjadi pembicara untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukan.

Ali kini tergabung dengan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP). Yayasan ini dipimpin oleh Ali Fauzi Manzi, adik kandung terpidana seumur hidup Ali Imron dan terpidana mati Muklas alias Ali Gufron dan Amrozi dalam kasus bom Bali I.

Yayasan itu bergerak di bidang pemberdayaan narapidana (napi) kasus terorisme dan menjadi agen perdamaian untuk mengubah mindset ikhwan jihadi.

Ali menceritakan penyesalannya karena terlibat dalam kasus Bom Bali I.

Ia telah meminta maaf kepada para korban. Ali menceritakan permintaan maaf itu disampaikan saat peringatan 17 tahun Bom Bali I.

Kala itu, Ali bertemu dengan Garil Arnandha, anak dari korban meninggal akibat Bom Bali I, Aris Munandar.

"Yang membuat saya betul-betul saya semakin menyadari besarnya kesalahan adalah bertemu dengan anak korban yang pada waktu peristiwa itu usia 10 tahun. Itu peristiwa bom Bali, jadi ayahnya pada waktu itu sopir taksi, berada di sekitar Sari Club," ujar Ali kepada Tribun Network, saat berbincang bersama jajaran redaksi Tribun Network, Selasa 11 Mei 2021.

Diskusi dipandu oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan Manager Pemberitaan Rachmat Hidayat.

Ali bercerita Garil, saat peristiwa Bom Bali I masih berusia 10 tahun.

"Kemudian bertemu saya saat usia anak ini 27 tahun. Saya memang selalu menyadari sebagai orang salah hanya bisa memohon maaf," ucapnya.

Menurut Ali, Garil benar-benar tulus untuk memaafkannya. Ali melihat Garil seakan marah melihat dirinya saat itu.

"Jadi dari awal pertemuan itu sudah gemetar, jengkel, marah dan sebagainya. Tapi alhamdulillah, akhirnya dialog, saya akhirnya bisa jelaskan, anak ini bisa memaafkan saya. Kami pelukan, alhamdulilah akhirnya bisa menjadi teman. Itu yang paling membekas," ucap Ali.

Berikut wawancara eksklusif Tribun Network bersama Ali Imron seri pertama:

Kegiatan sehari-hari Mas Ali Imron apa?

Para pemirsa yang saya hormati, kegiatan saya karena posisi saya sebagai narapidana, dan saya resminya berada di Lapas Cipinang, Jakarta, tapi masih ditempatkan di rutan narkoba Polda Metro Jaya. Tugas saya sehari-hari membina para tahanan narkoba maupun tahanan umum yang ada di Polda Metro Jaya. Selanjutnya adalah deradikalisasi. Ini saya lakukan kepada siapa saja, para pembesuk, baik kenal tidak kenal, itu yang saya lakukan. Bahkan ke tahanan narkoba syaa lakukan seperti itu. Sosialisasi tentang terorisme itu masih kurang sekali, terutama di negara kita Indonesia. Minimal masyarakat paham apa faktanya terorisme, sehingga paham seperti itu bisa kita deradikalisasi atau tanggulangi aksi terorisme di Indonesia. 

Cara deradikalisasi kepada napi?

Hampir semua orang baik tahanan maupun orang di luar. Ketika mendengar nama saya penasaran. Penasaran paling tidak mereka akan tanya, sebetulnya apa yang terjadi? Ketika tanya seperti itu ataupun belum tanya sudah saya ceritakan. Kenapa saya bisa masuk penjara, kenapa ada pengeboman? Dari situ jadi rentetan cerita yang itu bermanfaat sekali buat saya untuk mendakwahkan atau menyuarakan deradikalisasi. Yang terpenting yang biasa saya sampaikan pertama adalah latar belakang kami. Kenapa kami memiliki paham radikalisme atau terorisme? kedua kenapa kami bisa lakukan pengeboman? Kami ini bukan tentara, bukan Gegana Polri, kok bisa. Selanjutnya adalah tujuan kami ini apa sehingga kita melakukan aksi yang akhirnya dunia menamai itu aksi teror atau kami dilabeli sebagai teroris. Selanjutnya berkenaan dengan latar belakang dan tujuan, ketika saya sudah sadar, apa yang harus kita lakukan untuk supaya orang kita tidak terlibat lagi atau tidak memiliki paham terorisme? intinya itu yang saya sampaikan.

Baca Juga: Baasyir Langsung Peluk Anak, Keluarga Bom Bali Berusaha Memaafkan 

Baca Juga: Boy Rafli Amar Calon Kuat Kapolri, Bongkar Kasus Bom Bali hingga Berpengalaman Bangun Komunikasi 

Secara berkala bertemu Napiter, apakah menyediakan waktu khusus?

Saya pun difasilitasi oleh Densus 88 untuk bertemu dengan mereka. Tetapi karena sekopnya hanya di Polda Metro Jaya, maka tidak banyak, tapi itu penting sekali karena ada kawan-kawan yang dulu satu Jamaah Islamiyyah, kemudian ada kawan-kawan yang bergabung sama ISIS, menurut saya cukup mewakili. 

Yang sudah saya temui sekitar 80 napi tindak pidana terorisme. Walaupun mereka juga Napiter, mereka juga belum tentu tahu tentang cerita kami. Sebetulnya saya ini bisa dikatakan yang pertama ditangkap sebagai Narapidana terorisme kasus bom Bali, jadi itu saya ceritakan dulu. Artinya bagaimana sehingga kami melakukan pengeboman di Bali, ketika saya ceritakan akan sampai pada hal-hal yang akhirnya membuat saya mengkampanyekan kesadaran saya? Dengan sendirinya seperti itu. Jadi saya ceritakan semuanya, dari pertama pertemuan di Solo saya diajak perencanaan, pembagian tugas pengeboman di Bali. Sampai ketika kami mempersiapkan pengeboman, itu semuanya saya ceritakan. Dari yang besar sampai kecil sampai sedetail-detailnya. Ketika sudah memahami seperti itu  baru ada pertanyaan. Kenapa saya harus berselisih dengan pimpinan dan kakak saya, Muklas. Kemudian dengan Amrozi dan Imam Samudera. Itu semua saya jawab sesuai dengan fakta, tidak saya tutupi sama sekali. Jadi itu yang saya omongkan kepada mereka. 

Bagaimana respons mereka?

Cerita untuk menyadarkan mereka bahwa kesalahan-kesalahan yang kita dalam berjihad, bertentangan dengan jihad yang benar itu jangan terulang lagi. Saya ajak mereka supaya kita bersama-sama mengkampanyekan, sehingga minimal tidak terjadi lagi pengeboman. Kalau masalah pemikiran itu lebih sulit, untuk menghilangkan pemikiran (radikal) itu. Tapi setidaknya jangan sampai ada jihad yang bertentangan dengan fikih jihad atau adat tentang jihad. 

Di antara 80 orang yang pernah anda ajak ngobrol adakah yang resist?

Kalau selama ini saya lihat, merespons setuju dengan apa yang saya lakukan. Bahkan yang sudah bebas akhirnya datang membesuk saya, kemudian ikut menyadarkan kawan-kawan atau ikut melakukan mendakwahkan agar tidak terjadi lagi aksi-aksi pengeboman atau aksi teror di Indonesia. Semua merespons baik. Saya sampaikan pada mereka, karena mungkin ketika mereka di luar, sebelum mereka ketangkap, sebelum mereka ketemu saya, mungkin mereka juga banyak yang menyalahkan saya atau yang mengecap bahwa saya penghianat. Makanya selalu saya katakan, kalau kita itu teroris boleh sombong, saya teroris yang paling berhak sombong di Indonesia ini. Karena sampai sekarang belum ada yang menyamai keterlibatan dengan aksi teroris yang melebihi saya. Hambali senior saya yang di Guantanamo saja masih kalah sama saya. Artinya alhamdulillah keterus-terangan saya tentang kenapa saya harus bersikap seperti ini, sesuai dengan pemikiran mereka. Yang sudah ketemu saya itu alhamdulillah merespons dan mereka mengkampanyekan di luar, sesuai yang saya harapkan. 

Titik balik jadi agen perdamaian?

Bom Bali ini sejak awal saya tidak sepakat. Awal atau pertengahan Agustus 2002, saya diajak Amrozi, ini untuk menindaklanjuti ajakan Imam Samudera beberapa bulan lalu. Itu kita ketemu di Solo, waktu itu Imam Samudera mengajak balas dendam pada orang Amerika dengan ngebom orang-orang bule di Bali. Singkat cerita, kami sampai di Solo, ada alumni Afghanistan, ada Kaka saya Muklas, kami bertemu. Pertemuan itu dibuka Muklas, keputusannya di Imam Samudera. Awalnya membicarakan pembagian tugas pengeboman di Bali untuk membalas Amerika dan sekutunya. Saya waktu itu tanya, apakah jihad ini benar. Dijawab Muklas benar berdasarkan ini itu. Sudah saya ingatkan ketika perencanaan, saya sudah tidak sepakat. Ini membalas Amerika terkait kasus WTC, kenapa balas dendam di Bali. Waktu itu saya usulkan hantam kapal perang mereka, kita hantam pakai Speedboat selesai. Ketemu Muklas saya ingatkan lagi supaya dikaji lagi pengeboman Bali. Sudah siap, bom sudah dirakit, saya ingatkan lagi. Saya kalah ilmu dengan Muklas, kalah senior di keluarga, saya berharap dengan adanya pengeboman di Bali akan terjadi medan perang.

Korban yang dipertemukan, siapa yang paling membekas bagi anda?

Semuanya membekas. Tapi yang membuat saya betul-betul saya semakin menyadari besarnya kesalahan adalah bertemu dengan anak korban yang pada waktu peristiwa itu usia 10 tahun. Itu peristiwa bom Bali, jadi ayahnya pada waktu itu supir taksi, berada di sekitar Sari Klub. Anak ini umur 10 tahun ketika ayahnya meninggal. Kemudian bertemu saya saat usia anak ini 27 tahun. Saya memang selalu menyadari sebagai orang salah hanya bisa memohon maaf. Bagaimana si anak ini bertemu saya pertamakali, jadi istilahnya, saya menyadari bahwa anak 10 tahun ditinggal ayahnya karena ulah kami betul-betul, kalau jiwa dan hatinya tidak benar-benar tulus tidak mungkin bisa memaafkan saya. Jadi dari awal pertemuan itu sudah gemetar, jengkel, marah dan sebagainya. Tapi alhamdulillah, akhirnya dialog, saya akhirnya bisa jelaskan, anak ini bisa memaafkan saya. Kami pelukan, alhamdulilah akhirnya bisa menjadi teman. Itu yang paling membekas.

Pernah ajukan grasi ke presiden?

Saya ketika dituntut 20 tahun, akhirnya didakwa penjara seumur hidup, waktu itu saya tidak banding. Apa pertimbangan saya? Kalau saya banding, saya akan menyakiti hati para korban dan keluarga korban. Pada waktu itu oleh Presiden Megawati ditolak grasi yang saya ajukan. Waktu jaman Presiden SBY, Susilo Bambang Yudhoyono juga (mengajukan grasi) tetapi ditolak juga. Sekarang ini saya ajukan grasi juga, resminya sudah ajukan tiga kali. Kalau tidak resminya itu tiap hari saya ajukan.

Kalau dikabulkan, yang saya lakukan deradikalisasi. Di antaranya klarifikasi terhadap kejadian-kejadian yang membuat kami masuk penjara. Pertama klarifikasi kepada teman-teman kami yang alumni Afghanistan. Mereka punya pandangan tidak benar, mereka berpandangan kami dizolimi, ditangkap karena dijahati, karena berjuang. Kemudian kepada kawan-kawan JI, dengan pondok pesantren, kepada semuanya. Tujuannya tetap, deradikalisasi. Misi saya hanya itu. Kenapa saya ingin bebas? Kalau enak-enak, aman-aman, enak di dalam (penjara). Dijaga, diawasi, Tetapi banyak kawan-kawan kami alumni JI tidak berani membesuk kami. Kalau mereka tidak tahu faktanya, mereka bisa jadi melakukan aksi. Berpandangan kami dizolimi, oleh karena itu harus melakukan aksi. Oleh karena itu, ini tujuan saya (mengajukan grasi).

600 mantan Napiter yang dibebaskan punya keluarga. Bagaimana membina mereka supaya tidak jadi bagian dari terorisme lagi?

Caranya sebagaimana dilakukan BNPT selama ini. Yang saya lakukan, semacam itu. Tidak bisa kita buat mereka ini misalkan 100 persen harus NKRI harga mati, atau pancasilais, itu tidak bisa. Jadi harus kita ini sabar juga, bahwa yang penting mereka ini tidak gabung lagi, dan tidak melakukan aksi teror lagi. Selama ini yang saya pantau, alhamdulilah banyak yang menyadari (kesalahan). Terutama kami, yang misalkan tergabung afiliasi, misal Al-Qaeda, yang pernah ditangkap dan sudah keluar, jarang langsung melakukan aksi. Mereka ini kebanyakan menyembunyikan informasi dan membantu jaringannya, itu ada ratusan. Sehingga ketika mereka ditangkap, yang asalnya sesama JI, ketika di luar tidak setuju kami melakukan pengeboman, dipenjara pun mereka tidak setuju. Sehingga ketika bebas pun mereka juga tidak setuju. Kawan-kawan Seperti inilah yang saya pribadi mengharapkan untuk terus Istikomah bahwa ketidaksetujuan dengan aksi teror atau kekerasan atas dasar jihad ini supaya dikampanyekan di masyarakat. Jihadis tetap mereka itu memandang ini adalah senior, ini adalah yang pernah ditangkap kasus terorisme, kalau mantan-mantan ini bisa berkampanye untuk melakukan deradikalisasi itu lebih efektif daripada orang umum yang belum tahu apa-apa tentang masalah terorisme. (bersambung)

(tribun network/denis destryawan)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved