Wawancara Tokoh

Wawancara Eksklusif Ali Imron: Kami dan Keluarga Korban Bom Bali Sepakat Kampanyekan Perdamaian

Terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron, tengah giat mengkampanyekan deradikalisasi. Ali kini tergabung dengan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP).

Tribunnews
Terpidana Bom Bali I Ali Imron saat wawancara eksklusif bersama Tribun Network, Selasa 11 Mei 2021 

TRIBUN-BALI.COM - Terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron tengah giat mengkampanyekan deradikalisasi.

Kini, Ali kerap diundang menjadi pembicara untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukan.

Ali kini tergabung dengan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP). Yayasan ini dipimpin oleh Ali Fauzi Manzi, adik kandung terpidana seumur hidup Ali Imron dan terpidana mati Muklas alias Ali Gufron dan Amrozi dalam kasus bom Bali I.

Yayasan itu bergerak di bidang pemberdayaan narapidana kasus terorisme (napiter) dan menjadi agen perdamaian untuk mengubah mindset ikhwan jihadi.

Hal itu disampaikan Ali Imron dalam perbincangan bersama jajaran redaksi Tribun Network, Selasa 11 Mei 2021.

Diskusi dipandu oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan Manager Pemberitaan Rachmat Hidayat.

Berikut lanjutan petikan wawancara eksklusif bersama Ali Imron:

Adik Anda mendirikan Yayasan, salah satu kegiatannya menemukan napiter dengan korban. Metode ini efektif tidak?

Yayasan Lingkar Perdamaian, ini sebetulnya juga saya yang mendirikan. Saya yang istilahnya, sama adik Ali Fauzi ketemu, kemudian membicarakan seperti itu.

Kenapa mendirikan yayasan? Begini, kami ini sebagai pelaku, sehingga tahu caranya bagaimana ke depan ini untuk melakukan deradikalisasi. Akhirnya kami menyimpulkan bahwa yang perlu kita lakukan adalah mendirikan yayasan.

Gunanya apa? Sebagai wadah untuk bertemunya mantan-mantan napiter, kemudian bertemunya alumni Afghanistan, alumni Filipina, alumni jihad Ambon dan Poso dan para kombatan jihad itu. Ini pentingnya. 

Setelah punya yayasan, yang kami lakukan adalah menyuarakan perdamaian. Maka akhirnya kami pilih yayasan Lingkar Perdamaian.

Kenapa saya memilih kantor pusat itu di desa kami di Desa Tenggulun, karena dulu sejak 1996 kami mengawali, mengumpulkan kekuatan di desa saya.

Mengumpulkan bahan kimia dari 1 kilo sampai berton-ton, kami berangkat ke Ambon dari desa Tenggulun.

Melakukan pengeboman malam natal dari desa Tenggulun, kemudian pengeboman Kedubes Filipina Agustus tahun 2000 juga dari desa Tenggulun. Dan bom Bali juga dari desa Tenggulun.

Desa yang waktu itu kami gunakan untuk melakukan aksi teror itu, ketika saya sadar, kemudian diikuti oleh adik saya Ali Fauzi, maka desa itu harus kita sulap menjadi kebalikannya, yaitu mengkampanyekan perdamaian. 

Itu tujuan saya sama Ali Fauzi, alhamdulilah akhirnya ada dukungan dari alumni Afghanistan, alumni Filipina, dan kombatan-kombatan jihad Ambon dan Poso. Termasuk para narapidana terorisme.

Apakah cara ini efektif?

Efektif cara ini. Polisi, Polda Metro Jaya, BNPT, juga mempertemukan keluarga korban bom Bali dengan saya.

Saya pun terimakasih karena selama ini saya hanya bisa memohon maaf lewat media, persidangan, alhamdulilah ketika datang saya bisa langsung bersalaman dan meminta maaf.

Jadi efektif, akhirnya yang dilakukan Yayasan Lingkar Perdamaian bagus sekali. Para keluarga korban bahkan berkunjung ke kantor kami, dan kami bersepakat mengkampanyekan, menyuarakan perdamaian di tingkat nasional maupun internasional.

Deradikalisasi tidak sebanding dengan penyebaran radikalisme?

Ini benar. Kami menjadikan orang untuk bunuh diri itu cukup 2 jam saja. Tapi untuk mencabut pemikiran itu perlu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

Gampang menciptakan orang untuk punya pemahaman radikalisme dibanding mencabutnya. Sehari-hari seperti itu saya rasakan memang sulit sekali. 

Sebagian besar pelaku teror belajar dari internet. Metode ini bisa menciptakan orang yang bisa membikin bom yang dahsyat?

Menurut saya memang itu ada. Tapi tetap saja ada back seat yang mengarah ke situ. Tidak mungkin ujuk-ujuk lihat internet bisa seperti itu.

Pasti ada latarbelakang, mungkin diceritakan sama temannya yang mungkin sudah belajar dengan kelompok radikal.

Demikian juga yang belajar mengebom. Ujuk-ujuk tidak mungkin. Karena apa? Orang pun akan tahu bahwa di internet tidak bisa menjamin.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Terpidana Bom Bali I Ali Imron: Saya Berteman dengan Anak Korban Bom Bali 

Bom ini bukan bikin onde-onde, ini bikin bom. Kalau salah bisa mati, meledak sendiri, atau tidak jadi bom. Menurut saya ada latarbelakang sendiri, tidak ujuk-ujuk seperti itu.

Jangan sampai menyalahkan media massa, yang mengajari orang itu menjadi teroris. Tetap ada unsur lain, cuma beberapa persen bisa jadi dari internet.

Pemerintah harus hati-hati, warga juga, supaya betul-betul ditanggulangi supaya tidak mudah mendapatkan hal-hal semacam itu. Khususnya yang bisa membuat orang untuk melakukan pembuatan bom.

Bagaimana dengan bom di katedral Makassar?

Begini, ini perlu diketahui semuanya. Indonesia ini luas, kemudian Indonesia ini pernah punya latarbelakang kekerasan yang bermacam-macam. Kekerasan yang akhirnya mengarah pada pemikiran radikalisme atau terorisme.

Supaya semuanya tahu, karena saya kurang suka ada yang komentar kenapa sudah ada yang mengkampanyekan deradikalisasi masih ada aksi teror. Ini tidak baik mengatakan seperti itu.

Satu bahwa Indonesia kita ini dijajah Belanda 3,5 abad lebih. Setelah kemerdekaan ada proklamasi negara Islam Indonesia tahun 1949.

Setelah itu ada pemberontakan yang disebut DI TII, setelah orde baru ada peristiwa komando jihad yang menangkap para jihadis penerus daripada NII, ketika jaman Ali Murtopo.

Kemudian di Orde baru masih ada peristiwa TJ. Priok. Di Lampung ada peristiwa Talangsari Lampung. Kemudian tahun 2000-an di Ambon, di Poso, peristiwa itu juga terjadi.

Dengan adanya hal-hal yang semacam ini wajar kalau di Indonesia ini banyak sekali orang-orang yang memiliki paham radikalisme atau terorisme, yang tentu bertentangan dengan UUD 1945. 

Saya paling prihatin ketika melihat kondisi seperti ini, saya paling ngeri. Karena di Indonesia, baik orang muda, orang dewasa maupun orang tua masih banyak yang punya pemikiran radikal.

Saya contohkan, saya jadi Direktur Pondok Al Islam, pada waktu itu, lulusan tahun 2001 dan 2000, 1999, itu hampir semuanya, laki sama perempuannya itu siap bom bunuh diri atas dasar jihad. Itu hanya murid saya, apalagi murid-murid ustaz lain, ustaz yang jihadis. 

Pernah Bertemu Munarman?

Tidak pernah bertemu. Kami sama-sama di Polda tapi belum pernah ketemu.

Baca Juga: Munarman Menginap di Rutan Polda Metro Jaya, Satu Tempat dengan Pelaku Bom Bali I Ali Imron 

Sejumlah yang terkait FPI ditangkap. Bagaimana sebenarnya terkait dengan FPI ini?

Mereka kena pasal teroris itu yang tahu Densus 88. Undang-undang tentang terorisme itu sudah ada, kalau ditangkap tentunya sudah melakukan tindakan melanggar hukum. Dan itu wajar-wajar saja.

Menurut saya wajar-wajar saja. Begini. Teroris, kalau kita petakan, ada dua kelompok. Al-Qaeda, dan ISIS. Kedua kelompok ini selalu menunggu momen. Kesempatan.

Kalau orang normal yang diidamkan itu perdamaian, kalau teroris itu yang didambakan kerusuhan supaya terjadi peperangan. Senang sekali mereka kalau ada kelompok mengarah ke terorisme.

Masyarakat jangan sampai mancing-mancing, begitu juga kalau masih peduli NKRI harga mati, tolong hati-hati. Jangan melakukan orasi-orasi atau dakwah yang memberikan angin segar kepada para kelompok teroris.

Apa beda Al-Qaeda dan ISIS?

Perbedaan mendasarnya, kalau kami yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, tingkat pengkafiran itu tidak sedahsyat ISIS. Contoh kami bukan mengkafirkan yang sama dengan kami. Kami tidak menghalalkan semua yang bersebrangan dengan kita.

Begitu juga kami memahami bahwa kami orang-orang JI, yang afiliasi ke Al-Qaeda menghadapi seperti di Indonesia. TNI tidak boleh diserang, polisi tidak boleh diserang. Kami tidak seperti itu.

Dari ISIS, bukan seperti itu. Bahkan kami juga dikafirkan oleh ISIS, itu perbedaannya. Sikap-sikap atau pemahamannya. Itu yang saya ketahui. 

Pernah bertemu Abu bakar Ba'asyir?

Pernah, tapi mereka membesuk kami di Polda, itu saja ketemu. Omong-omong biasa, tidak ada pembahasan yang mengarah pada hal-hal penting.

Biasa saja. Pada waktu itu saya nunggu ditegur beliau, sikap saya sama seperti Muklas, Imam Samudera. Saya diam saja waktu itu. Engga mungkin saya negur Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. 

Pernah ketemu Ketua JAD Abu Umar?

Belum pernah ketemu, katanya dia pernah besuk kami. Cuma kami engga ingat wajahnya seperti apa. Dia besuk ketika sama-sama di Polda. Saya engga ketemu kayaknya. 

Pesan Ramadan?

Ini bulan suci Ramadan. Saya menjalani dipenjara 19 kali Ramadan. Sekali buron, jadi sudah 20 kali menjalani tidak di rumah.

Mari kita kembali lagi bahwa Islam itu rahmatan lil'alamin. Mari kita pikul kewajiban bahwa muslim sebagai rahmatan lil'alamin, kita harus mengutamakan itu.

Kepada kawan-kawan yang memiliki pemikiran jihadis, mari kita menyadari bahwa apa yang pernah saya dan kawan-kawan lakukan, itu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap jihad.

Mari kita jadikan pelajaran. Peristiwa-peristiwa setelah bom Bali hingga saat ini. Mari kita kembalikan jihad sebagaimana perintah Allah pada Nabi Muhammad.

Kedua, khususnya bagi kawan-kawan yang bertujuan memiliki negara Islam, mari kita bersihkan. Bahwa tujuan itu jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang dilihat oleh orang bahwa bagaimana nanti ketika kita punya negara Islam.

Sebelum punya negara Islam saja sudah melakukan tindakan-tindakan anarkis, bagaimana setelah punya negara Islam.

Mari kedepankan Islam sebagai rahmatan lil'alamin. Kepada non-Islam, mari kita bersama-sama, jangan sampai ada memancing hal-hal yang mengarah pada kekerasan.

Orang normal yang didambakan perdamaian, orang teroris itu yang didambakan kerusuhan. Jadi jangan sampai ada yang memancing terjadinya kekerasan. 

(tribun network/denis destryawan)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved