Serba Serbi

Para Dewa dan Roh Turun ke Dunia, Hari Baik Dalam Sundarigama

Dalam Alih Aksara Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama, dijelaskan ihwal hari baik dalam kepercayaan Hindu

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ilustrasi - Para Dewa dan Roh Turun ke Dunia, Hari Baik Dalam Sundarigama 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam Alih Aksara Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama, dijelaskan ihwal hari baik dalam kepercayaan Hindu untuk melaksanakan upacara yadnya.

Sebab tatkala hari baik tiba, dipercaya sebagai hari suci bagi para dewa ataupun roh leluhur turun ke dunia.

Menyucikan diri dan melakukan yoga semadi.

Serta memberikan anugerah kepada segenap mahluk hidup, dimuka bumi ini.

Baca juga: Rangkaian Akhir Galungan, Apa Itu Hari Pegatwakan Saat Rabu Kliwon Wuku Pahang?

Agar senantiasa dalam keadaan selamat dan sejahtera.

Hal ini pun dipercaya turun temurun di Bali.

Dan hingga saat ini, tetap dijalankan dari generasi ke generasi.

Menurut tradisi masyarakat Bali, waktu sakral itu atau tempus sacrum. Datang pada saat-saat masa peralihan.

Sekaligus juga masa peralihan ini, dipandang sebagai saat-saat paling berbahaya dan rawan.

Sehingga dalam menghadapi waktu yang akan berakhir dan waktu yang akan datang.

Masyarakat Hindu Bali telah mengetahui bagaimana cara menghadapinya.

"Tindakan yang dilakukan masyarakat Hindu Bali dalam menghadapi peralihan waktu adalah dengan mengadakan rangkaian upacara sebagai wujud rasa syukur kepada waktu lampau. Dan memohon perlindungan serta keselamatan untuk masa yang akan datang," jelas I Nyoman Suarka, Koordinator Tim Alih Aksara Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama, Rabu 2 Juni 2021.

Istilah Sundarigama, berasal dari dua kata. Yakni Sunar dan Agama.

Artinya tuntunan pelaksanaan upacara agama Hindu.

Yang di dalamnya menjelaskan tentang petunjuk bagaimana tatacara Widhiwidana dilakukan oleh umat pada waktu-waktu tertentu.

Teks Sundarigama diperkirakan muncul pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel.

Ketika beliau didampingi penasehat spiritual dan keagamaan kerajaan. Yakni Danghyang Dwijendra.

Kemudian dalam naskah lontar Sundarigama dari Gria Gede Banjarangkan Klungkung, dijelaskan bahwa istilah Sundarigama berasal dari kata Sundar.

Baca juga: Sifat Seseorang yang Lahir Pada Wuku Sungsang Dalam Wewaran Hindu Bali

Ini berarti silih atau penerangan.

Guru besar Unud ini juga menjelaskan ihwal kata Gama.

Di mana dalam kamus besar Bahasa Bali berarti agama.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa Sundarigama adalah penyuluhan atau penerangan sempurna tentang ajaran suci.

"Ruang dan waktu merupakan bingkai yang di dalamnya seluruh realitas dihadapi," jelasnya.

Dalam pemikiran miris, ruang dan waktu tidak pernah dianggap sebagai bentuk murni atau bentuk kosong.

Ruang dan waktu ini dianggap sebagai daya kekuatan misterius dan maha besar.

Yang menguasai apa saja dan mengatur serta menentukan.

Tidak hanya hidup manusia yang fana. Tetapi juga hidup dewa-dewi.

Sundarigama dianggap kitab penerang sempurna tentang ajaran suci.

Sebab lontar ini memuat aturan-aturan tradisional yang suci dalam rangka pelaksanaan ibadat.

Persembahan dan tindak keagamaan dalam masyarakat Hindu Bali.

Sehingga ketika hari baik tiba, manusia termasuk hewan dan tumbuhan wajib melakukan balas budi atau terimakasih.

Terhadap kebaikan para dewa, dalam bentuk mempersembahkan sesajen sesuai dengan kemampuan.

Baca juga: Bhatara Brahma Lakukan Yoga, Berikut Penjelasan Wuku Warigadean

Hal inilah yang menyebabkan adanya upacara agama atau yang lazim dikenal sebagai yadnya menurut Hindu Bali.

Sesuai dengan kodratinya sebagai teks ajaran suci. Yang berpangkal pada penghormatan hari-hari tertentu yang dipandang sebagai hari suci.

Teks Sundarigama mengungkapkan hari suci bagi umat Hindu Bali. Yang ditentukan berdasarkan perhitungan bulan, wuku, Pancawara dan Saptawara.

"Wuku ialah pekan yang terdiri atas 30 satuan mulai dari Sinta sampai Watugunung," jelasnya.

Sedangkan Pancawara adalah satuan hari, yang terdiri dari lima hari.

Diantaranya Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon.

Kemudian Saptawara, adalah satuan hari.

Terdiri dari 7 hari, yaitu Redite, Soma, Anggara, Budha, Wrespati, Sukra dan Saniscara.

Ada pula waktu peralihan.

"Waktu sakral atau hari suci yang dihitung menurut perhitungan terbit dan tenggelamnya bulan adalah Purnama dan Tilem. Keduanya dipandang sebagai waktu sakral karena merupakan waktu peralihan," jelasnya. (*).

Baca juga: Kelahiran Wuku Landep, Miliki Perangai Rupawan dan Ingatannya Tajam

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved