Serba Serbi

Sayut Pangenteg Bayu dan Pageh Urip Digunakan Saat Otonan, Ini Maknanya dalam Hindu Bali

Sayut pageh urip, adalah sesayut permohonan agar orang melakukan upacara, sehat selalu dan mencapai usia panjang.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/I Putu Supartika
Ilustrasi melaksanakan otonan. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sayut pangenteg bayu adalah sesayut permohonan, agar hidup itu tenang dan tidak masih ragu-ragu dalam menjalani hidup.

Sayut pageh urip, adalah sesayut permohonan agar orang melakukan upacara, sehat selalu dan mencapai usia panjang.

Otonan sepatutnya dilakukan seumur hidup.

"Otonan saat bayi sampai tanggal gigi, harus berisi banten sambutan dan janganan," kata Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti kepada Tribun Bali, 16 Juni 2021.

Baca juga: Viral Video Otonan Diiringi Lagu Selamat Ulang Tahun, Ida Rsi Beri Penjelasan Ini

Tetapi untuk remaja dan dewasa tidak berisi banten sambutan dan banten janganan. Tetapi harus ditambahkan sesayut pageh urip dan sesayut pangenteg bayu.

Masyarakat Hindu Bali, mengenal yang namanya otonan sesuai dengan wewaran hari kelahiran masing-masing orang. Namun bagaimana tata cara ngotonin yang baik dan benar.

Berikut ulasan yang dijelaskan oleh Jero Mangku Ketut Maliarsa.

Untuk bebantenan atau sarana upakara, tidaklah sulit atau rumit.

Sebab yadnya di Bali sifatnya fleksibel.

Walau ada yang menggunakan banten seperti tumpeng lima atau tumpeng tiga, namun jika tidak bisa tidak perlu dipaksakan.

Cukup dengan canang sari dan niat yang tulus saja bisa.

Namun jika ingin lebih lengkap, berikut penjelasan banten dengan tumpang lima dan tumpeng tiga.

Apabila menggunakan tumpang lima, sarananya adalah pengambean, dapetan, peras, pejati, sasayut, dan segehan.

Dilengkapi dengan sarana lain, yaitu bija, dupa, toya anyar, tirta panglukatan, dan tirta Hyang Guru.

Baca juga: Otonan di Bali, Berikut Tata Cara Prosesi Otonan yang Baik dan Benar

Untuk tahapannya, sebelum memulai menghaturkan banten. Ibu dari yang meotonan yang melakukannya.

 "Sang ibu ngayab banten ini kehadapan Sang Hyang Atma," ujarnya kepada Tribun Bali, beberapa waktu lalu.

Sebagai pertanda bahwa ini adalah hari lahir Sang Hyang Atma menjelma menjadi manusia di bumi.

Setelah itu, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan di bawah bale atau tempat sang anak meoton.

Gunanya, memohon kepada Sang Hyang Bhuta Kala, agar semua prosesi berjalan lancar dan sang anak terbebas dari marabahaya.

Kemudian ritual otonan dapat dimulai. Pertama-tama, dilakukan prosesi mesapuh-sapuh. Yakni mengusap telapak tangan kanan anak dengan Buu.

"Nah ini dimulai dengan tangan kanan, lalu ke tangan kiri," ucapnya.

Tatkala melakukan ini, biasanya dibarengi dengan sesontengan.

'Ne cening jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip'.

Artinya agar segala kekotoran di tangan sang anak hilang. Dan tangannya bersih, sehingga memegang kehidupan dengan tangan bersih.

Baca juga: Otonan di Bali, Makna dan Rentetan Prosesinya

Lalu dilanjutkan dengan mengusapkan toya anyar tadi.

"Mesapuh-sapuh ini tujuannya adalah menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan (anak meoton)," kata pemangku asli Bon Dalem ini.

Setelah itu, dilanjutkan dengan matepung tawar. Yang diusapkan di kedua tangan yang meoton dengan juga berisi daun dapdap.

 Pada proses ini pun, ada sesontengan yang diucapkan oleh sang ibu. Yaitu, 'jani cening masegau, suba leh liman ceninge. Melah-melah ngembel rahayu'.

Artinya tangan yang sudah bersih, diharapkan memegang segala kerahayuan dengan baik. Setelah itu, sang ibu menyipratkan tirta panglukatan.

 Ini bermakna menyucikan dan menetralisir kembali Sang Hyang Atma.

Dengan harapan jiwa yang bersangkutan, senantiasa tetap suci, baik, dan dalam genggaman keselamatan sekala niskala.

Prosesi selanjutnya adalah matetebus. Sang ibu akan mengambil dua helai benang berwarna putih. Helai pertama diletakkan di kepala yang meoton.

Dan ada pula yang di telinga. Selanjutnya benang yang agak panjang, dililitkan layaknya gelang ke pergelangan tangan si anak. Di sini pula ada sesontengannya.

Bunyinya 'Jani cening magelang benang, apang cening mauwat kawat matulang besi'.

Artinya dengan gelang itu, diharapkan anaknya bisa memiliki tubuh yang sehat kayaknya memiliki otot kawat dan tulang besi.

Usai prosesi itu, si anak diberikan tirta Hyang Guru. Hal ini memiliki makna, agar yang bersangkutan memperoleh kesehatan dan kesempatan lahir batin.

Kemudian selalu mendapat perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasiNya. Barulah ngayab sesayut, dengan memutar searah jarum jam.

Bunyi sesontengannya 'ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah'.

Hal itu, sebagai pangenteg Bayu agar sang anak tetap pendiriannya serta memiliki kepribadian stabil. Di dalam menjalani kehidupan di dunia.

"Kalau dilihat filosofinya, upacara otonan ini adalah pembersihan raga kasar dari segala Mala," katanya. Hal ini khususnya ketika masesapuh.

Kemudian setelah badan kasar bersih, jiwa disucikan dengan prosesi matepung tawar atau masegau. Sehingga Sang Hyang Atma yang bersih kembali terhubung dengan badan kasar yang juga bersih. Melalui sarana benang tebus itu.

Diakhiri dengan menstabilkan pikiran agar jiwa raga stabil dan bersih dalam menjalani kehidupan. (*)

Artikel lainnya di Serba Serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved