Survei: 59 Persen Masyarakat Tidak Setuju Penerapan PTM Terbatas

Berdasarkan survei Kedai Kopi, 59 persen responden menyatakan tidak setuju dengan penerapan PTM terbatas.

Editor: DionDBPutra
dokumen Pemkab Gianyar
Siswa di Kabupaten Gianyar menggelar pembelajaran tatap muka, Selasa 23 Maret 2021. 

TRIBUN-BALI.COM - Lembaga Survei Kedai Kopi merilis hasil survei soal respon masyarakat terkait kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) yang akan diterapkan pada Juli 2021 mendatang.

Berdasarkan survei Kedai Kopi, 59 persen responden menyatakan tidak setuju dengan penerapan PTM terbatas.

"Kita tanya apakah anda setuju jika sekolah mulai melaksanakan pembelajaran secara tatap muka, dan ternyata 59 persen bilang tidak setuju, 41 persen bilang setuju atau respon ya," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi Kunto Adi Wibowo secara daring, Kamis 24 Juni 2021.

Baca juga: Ke Banyuwangi, Kemenko PMK Pastikan Pembelajaran Tatap Muka Sesuai Prokes Covid 19

Baca juga: Sejumlah Wilayah Masih Zona Merah dan Orange, 25 SD di Karangasem Tunda Pembelajaran Tatap Muka

Kedai Kopi, kata Kunto, lalu coba menggali lebih dalam dengan mengklasifikasi responden yang menyatakan menerima atau menolak PTM terbatas.

Kunto mencoba mengklasifikasi berdasarkan zonasi daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi. Data zonasi risiko daerah didapatkan dari lama Satgas Covid-19.

"Kita coba cross step atau kita coba lihat jangan-jangan dari hasil ini mereka yang di daerah risikonya rendah akan lebih banyak setuju, mereka yang daerah risikonya dia akan lebih banyak tidak setuju," tutur Kunto.

Namun, setelah cross step ternyata hampir tidak ada korelasi antara zona Covid-19 dengan penentuan sikap soal sekolah tatap muka. Responden di wilayah dengan risiko penularan Covid-19 rendah yang setuju PTM terbatas 43 persen.

Sedangkan di wilayah penularan Covid-19 berisiko sedang yang setuju hanya 38,4 persen, yang tidak setuju 61,6 persen.

"Sedangkan yang di daerah resiko tinggi itu yang setuju hampir 42 persen yang tidak setuju 58 persen. Hanya selisih sedikit dengan yang risiko rendah sebenarnya," ucap Kunto.

Kunto menduga sikap ini diambil para responden karena waktu survei yang dilakukan pada tanggal 15-23 Juni, ketika kasus Covid-19 mulai naik secara eksponensial di beberapa daerah.

"Sehingga membuat orang semakin waspada orang mungkin semakin agak mempertimbangkan kembali keputusan mereka untuk pembelajaran tatap muka," jelas Kunto.

Survei dilakukan melalui telepon terhadap 1.062 responden dengan hanya satu pertanyaan. Tingkat respon para responden sebesar 22,48 persen dari 4.724 data panel. Data diambil responden Kedaikopi sempat diwawancara secara tatap muka.

Guru meninggal dunia

Sementara itu, Ketua Umum PB PGRI Prof Unifah Rosyidi mengungkapkan banyak guru yang melakukan pengorbanan selama pandemi Covid-19. Bahkan, Unifah mengungkapkan ada guru yang meninggal karena harus tetap mengajar di tengah pandemi Covid-19.

"Bahkan yang enggak pernah diumumkan di media banyak guru yang meninggal pada masa Covid-19 ini, karena mereka harus tetap mengajar," ujar Unifah.

Unifah mengungkapkan para guru harus tetap ke sekolah tanpa perlindungan dari vaksin Covid-19. Dirinya mengaku banyak mendapatkan laporan seperti ini dari para guru.

"Harus tetap absen pakai fingerprint ke sekolah tanpa perlindungan sebelum ada vaksin. Laporan ini banyak," tutur Unifah.

Selama ini, kata Unifah, para guru harus berkorban untuk memberikan pengajaran kepada para siswa. Selain itu, Unifah mengungkapkan bahkan harus mengunjungi siswanya demi memberikan pembelajaran.

"Kita juga harus bisa menyediakan bahan ajar sampai di depan pintu. Kita sering diberi gambar oleh para guru yang datang ke hutan, guru kunjung dan lain sebagainya," ujar Unifah.

Selama ini, menurut Unifah, pembelajaran jarak jauh secara daring hanya bisa dinikmati oleh para guru dan siswa di perkotaan. Sementara di wilayah pedesaan yang minim infrastruktur jaringan, para guru harus mengunjungi siswanya langsung. Meski harus menempuh medan yang sulit.

"Mereka yang tidak bisa terjangkau pakai PJJ online. Yang disebut online kan, mainstreamnya di kota besar aja. Kalau yang jauh itu enggak ada PJJ, apa aja bisa menyeberangi lautan yang arusnya besar," kata Unifah.

Dirinya meminta agar Kemendikbudristek membuat kurikulum khusus yang bisa diimplementasikan oleh para guru selama pandemi Covid-19. Selain itu, pemerintah, menurut Unifah, harus memperluas jaringan internet di Indonesia.

Vaksin Anak

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengusulkan agar para anak didik atau pelajar untuk vaksinasi. Vaksinasi ini, menurut Daeng, perlu dilakukan untuk pelajar sebelum mengikuti PTM.

"Yang kami juga usulkan juga peserta didiknya juga seharusnya sudah divaksin. Makanya sebenarnya Ikatan Dokter Indonesia itu sudah mengusulkan vaksinasi itu terhadap anak-anak harus segera dimulai," ujar Daeng.

Menurut Daeng, para anak didik juga perlu mendapatkan vaksinasi seperti para pendidik untuk melindunginya dari penularan Covid-19. Daeng mengaku telah meminta kepada pemerintah untuk melakukan vaksinasi kepada anak-anak.

"Kami sudah meminta itu kepada pemerintah untuk segera melakukan vaksinasi kepada anak-anak harus segera dimulai," tutur Daeng.

Vaksinasi untuk anak-anak, kata Daeng, telah dinyatakan aman oleh para pakar kedokteran anak.

"Menurut pakar di Ikatan Dokter Anak itu sudah dirasa aman vaksinasi terhadap anak. Itu ketentuan-ketentuan seperti itu memang harus kita dorong," pungkas Daeng. (tribun network/fah/wly)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved