Hari Pahlawan

Di Balik Penghargaan Soeharto: Antara Luka HAM dan Jasa Pembangunan

Pemerintah dinilai mengabaikan suara penolakan masyarakat terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional

Tribun Bali/ Ni Luh Putu Wahyuni Sri Utami. 
KAMISAN - Aksi Kamisan suarakan penolakan Soeharto menjadi pahlawan berlangsung di Bajra Sandhi, Renon pada, Kamis sore 6 November 2025 lalu. Penghargaan yang diberikan kini seolah berada di antara luka pelanggaran HAM dan jasa pembangunan 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA — Pemerintah dinilai mengabaikan suara penolakan masyarakat terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.

Kritik ini disampaikan Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, yang menilai keputusan tersebut tidak mempertimbangkan catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama masa Orde Baru.

“Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat bahkan dari rakyat Indonesia sendiri terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” kata Andreas dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (10/11/2025).

Baca juga: Soeharto Termasuk dalam 10 Pahlawan Nasional yang akan Diumumkan Hari Ini

Politikus PDI-P ini menilai, pemberian gelar pahlawan merupakan momentum penting dalam menjaga kesinambungan sejarah dan identitas bangsa. Karena itu, menurutnya, keputusan tersebut tidak boleh dilandasi kepentingan politik maupun kelompok tertentu.

“Jangan sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional hanya demi kepentingan politik atau kelompok tertentu, karena akan mencederai rasa keadilan rakyat,” tegas Andreas.

Soroti Pelanggaran HAM dan Praktik Kekuasaan Represif

Andreas yang juga anggota komisi bidang HAM mengingatkan bahwa pemerintahan Orde Baru memiliki rekam jejak kelam.

Ia menyoroti sejumlah peristiwa yang dikaitkan dengan Soeharto, seperti kasus penghilangan paksa, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, hingga kekerasan menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998.

“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN selama ia memimpin negeri ini,” ujar Andreas yang juga Ketua DPP PDI-P.

Ia menambahkan, penghargaan terhadap tokoh bangsa harus diiringi kesadaran penuh terhadap sisi terang dan sisi gelap sejarah. “Bangsa Indonesia harus mampu menempatkan sejarahnya secara utuh, menghargai jasa sekaligus mengakui sisi kelamnya,” katanya.

Baca juga: DESAKAN Status Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto 

Keluarga Soeharto Bersyukur, Anggap Pro Kontra Wajar

Di sisi lain, keluarga Soeharto mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto atas penganugerahan gelar tersebut. Anak ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, menyebut keluarganya bersyukur atas pengakuan negara terhadap jasa sang ayah.

“Kami sekeluarga merasa bersyukur. Terima kasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Presiden Prabowo Subianto, dan rakyat Indonesia,” kata Bambang di Istana Negara, Jakarta.

Putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, menilai keputusan Prabowo wajar karena latar belakang militer membuatnya memahami perjuangan ayahnya.

“Beliau dulu tentara juga, jadi tahu apa yang telah dilakukan Bapak sejak muda,” ujarnya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved