Berita Bali
Aturan Baru PPKM Darurat di Bali, Berikut Pengertian Sektor Esensial, Non Esensial dan Kritikal
Dalam peraturan yang berlaku mulai hari ini Minggu 11 Juli 2021 tersebut, Pemprov Bali mengharuskan sektor non-esensial wajib 100 persen work from
Penulis: Ragil Armando | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengubah peraturan mengenai Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang sudah berjalan sejak 3 Juli 2021 lalu.
Dalam peraturan yang berlaku mulai hari ini Minggu 11 Juli 2021 tersebut, Pemprov Bali mengharuskan sektor non-esensial wajib 100 persen work from home (WFH).
Oleh sebab itu, berbagai sidak dilakukan oleh petugas gabungan dari Satpol PP, TNI dan Polri untuk melakukan penegakan aturan tersebut.
Sekretaris Satgas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Bali, I Made Rentin saat dikonfirmasi mengatakan bahwa dalam SE Nomor 10 Tahun 2021 ini mempertegas penutupan sektor non esensial dan peniadaan resepsi pernikahan di masa PPKM Darurat.
Baca juga: Jeritan Kaum Non Esensial di Bali Harus Tutup Selama PPKM Darurat, Andi: Darimana Menafkahi Keluarga
"SE Gubernur Bali No 10 Tahun 2021 Penegasan PPKM Darurat, antara lain sektor non esensial ditutup dan resepsi pernikahan ditiadakan," katanya Minggu sore.
Terkait dengan pengertian dari sektor non esensial tersebut, pria yang juga Kepala BPBD Bali ini menyebutkan bahwa hal tersebut telah diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 18 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat Covid-19.
Bahkan, ia mempertegas terbitnya SE Nomor 10 Tahun 2021 merupakan tindaklanjut dari instruksi tersebut.
"Inmendagri 19 sudah merinci sektor esensial dan kritikal," ungkapnya.
Rentin juga menjelaskan bahwa dalam instruksi tersebut telah dirinci secara jelas mengenai pengertian sektor esensial dan kritikal itu.
Pertama, sektor esensial meliputi keuangan dan perbankan hanya meliputi asuransi, bank, pegadaian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan (yang berorientasi pada pelayanan fisik dengan pelanggan atau customer) dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen staf untuk lokasi yang berkaitan dengan pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung pelayanan.
Adapun untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional hanya diperkenankan maksimal 25 persen.
Terhadap sektor esensial lainnya: pasar modal (yang berorientasi pada pelayanan fisik dengan pelanggan atau customer dan berjalannya operasional pasar modal secara baik); teknologi informasi dan komunikasi meliputi operator seluler, data center, internet, internet, pos, media terkait penyebaran informasi kepada masyarakat; dan perhotelan non-penanganan karantina, dapat beroperasi dengan dengan kapasitas maksimal 50 persen staf.
Sementara itu, untuk sektor esensial berbasis industri orentasi ekspor, pihak perusahaan harus menunjukkan bukti contoh dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) selama dua belas bulan terakhir atau dokumen lain yang menunjukkan rencana ekspor dan wajib memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI).
Pada sektor ini dapat beroperasi maksimal 50 persen staf hanya di fasilitas produksi/pabrik, sedangkan untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional hanya diperkenankan 10 persen.
Baca juga: PPKM Darurat, 25 Perusahaan Non Esensial di Denpasar Dipasangi Stiker, 5 Pedagang Kaki Lima Dibina
Kedua, sektor kritikal yang meliputi kesehatan, keamanan, dan ketertiban masyarakat dapat beroperasi 100 persen staf tanpa ada pengecualian.
Sementara itu, terhadap sektor kritikal lainnya yakni penanganan bencana, energi, logistik, transportasi, dan distribusi terutama untuk kebutuhan pokok masyarakat, makanan dan minuman serta penunjangnya, termasuk untuk hewan ternak/peliharaan, pupuk dan petrokimia, semen dan bahan bangunan; obyek vital nasional, proyek strategis nasional, konstruksi (infrastruktur publik), serta utilitas dasar (listrik, air, dan pengelolaan sampah) dapat beroperasi 100 persen maksimal staf hanya pada fasilitas produksi/konstruksi/pelayanan kepada masyarakat.
Untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional diberlakukan maksimal 25 persen staf.
Akan tetapi, saat disinggung mengenai alasan penutupan sektor non esensial tersebut, Rentin menolak menjawabnya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Bali, Dewa Made Indra mengatakan bahwa perubahan yang dilakukan tersebut selain mengacu pada instruksi Mendagri yang telah 3 kali mengalami perubahan juga didasarkan laporan dan evaluasi pelaksanaan PPKM Darurat oleh Pangdam IX Udayana, Kapolda Bali serta Kejaksaaan Tinggi.
"Dalam hal tersebut seluruh pihak yang hadir menyepakati penegasan atas dua hal disebut diatas," katanya, Sabtu (10/7/2021) kemarin.
Ia juga menjelaskan sektor non esensial contohnya adalah toko pakaian, toko sepatu, seluler, toko peralatan rumah tangga, dan yang sejenis.
Lalu juga termasuk dealer kendaraan, kantor-kantor swasta, kantor organisasi kemasyarakatan, kantor pemerintah provinsi, kabupaten, kota hingga kantor desa dan koperasi yang tidak melayani kebutuhan pokok.
"Kantor-kantor yang tidak termasuk esensial agar ditutup, menjalankan WFH, karyawannya bekerja dari rumah. Saya tegaskan sekali lagi jika melanggar akan disegel dan jika kembali melanggar mohon maaf akan dikenakan tindakan hukum," tambahnya.
Sekda Dewa Indra juga berharap bahwa upaya penegakan disiplin yang dilakukan oleh satgas ini agar dilihat sebagai upaya maksimal dalam pengendalian pandemi covid-19 di Bali, dimana trennya belakangan semakin meningkat.
Baca juga: PPKM Darurat di Denpasar: Mulai Senin Esok, Penyekatan Diperluas hingga Pintu Masuk Desa/Kelurahan
"Dua hari yang lalu (8/7/2021) pertumbuhan kasus mencapai 577 orang positif, lalu kemarin (9/7/2021) 674 orang positif. Tekanan kepada RS semakin meningkat, ini tentu jadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Untuk itu satgas memandang perlu untuk mengambil tindakan yang lebih tegas lagi," ujarnya.
Dirinya juga menekankan bahwa seluruh tindakan yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat akan dilakukan oleh Satgas dan pemangku kepentingan di Provinsi Bali.
"Jadi kepada masyarakat mohon untuk memahami kebijakan ini dan melihat kebijakan ini dalam konteks melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Ini adalah keadaan darurat, yang artinya memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat. Mohon kebijakan ini tidak dikaitkan dengan hal lain diluar substansi perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat," pungkasnya. (*)
Artikel lainnya di Berita Bali