Wiki Bali

Melambangkan Hal yang Suci, Berikut Ini Makna Turus Lumbung Dalam Hindu di Bali

Turus lumbung mungkin tak banyak diketahui kalangan muda di Bali. Namun, turus lumbung menjadi sesuatu yang penting karena melambangkan hal yang suci.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
istimewa/kalender Bali
Turus lumbung 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Turus lumbung mungkin tak banyak diketahui kalangan muda di Bali.

Namun, turus lumbung menjadi sesuatu yang penting karena melambangkan hal yang suci.

Turus lumbung biasanya terbuat dari turus pohon dapdap sebagai tiang penopang.

Kemudian dibuatkan ruangan dengan balai-balai dari bambu untuk meletakkan tempat sajian atau sesajen

Turus dapdap merupakan tameng atau perisai, biasanya digunakan sebagai alat untuk melindungi diri.

Sedangkan lumbung berarti tempat untuk menyimpan padi sebagai sumber penghidupan.

Bangunan turus lumbung biasanya bersifat sementara, sebab nantinya akan diganti dengan bangunan yang lebih permanen baik untuk sanggah dan lain sebagainya. 

Namun, sebelum menjadi bangunan permanen, maka turus lumbunglah yang menjadi lambang dari sebuah palinggih atau tempat suci.

Turus lumbung memiliki bangunan rong tunggal sebagai tempat menaruh sesajen.

Bangunan inilah yang nantinya disebut kamulan atau sanggah kamulan.

Turus lumbung masih banyak digunakan di pelosok desa di Bali, khususnya bagi masyarakat yang belum memiliki sanggah atau pamerajan. 

Namun, seiring perkembangan zaman, dan adat budaya kian maju, dalam perkembangannya rong tunggal itu berkembang menjadi rong kalih (dua).

 Lalu kini berkembang menjadi rong tiga, sebagai tempat memuja roh leluhur yang telah disucikan oleh umat Hindu Bali.

Rong tiga ini disesuaikan dengan konsep Tri Murti, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa (Iswara) sebagai perwujudan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Sehingga selain memuja roh leluhur yang telah suci, palinggih rong tiga juga untuk memuja Tri Murti.

Sanggah kamulan atau rong tiga biasanya dipuja oleh suatu kelompok keluarga.

Kemudian apabila keluarga menjadi lebih besar, maka bangunan palinggih pun akan dilengkapi di sanggah atau pamerajannya.

Masing-masing palinggih, akan disejajarkan sesuai dengan tempatnya sesuai asta kosala-kosali sebuah sanggah atau merajan. 

Setelah itu, palinggih akan diletakkan sesuai tempat dan fungsinya, bersamaan dengan bangunan palinggih sanggah kamulan.

Setelah itu barulah disebut sanggah pamerajan.

Bangunan-bangunan ini sangat bervariasi, tetapi pada umumnya terdiri dari bangunan menjangan seluang, bangunan gedong, sanggar agung, dan bangunan kerucut, saka ulu gempel dan taksu. 

Biasanya untuk tempat pertemuan ida bhatara-bhatari, pada setiap upacara di masing-masing sanggah pamerajan.

Maka keluarga tersebut akan membangun balai piyasan, atau balai bhatara-bhatari berhias.

Walapun telah mendirikan sanggah kamulan, keluarga ini biasanya tetap memuja dewa-dewi dari tempat suci asalnya.

Sebagai perwujudan hormat pada setiap manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Pemujaan biasanya dilakukan pada setiap datangnya upacara dalam sanggah atau merajan tersebut.

Untuk itulah, terkadang palinggih di sebuah pamerajan bisa berjumlah cukup banyak. Dan muncul palinggih baru seperti tumpang salu, sakapat, tugu, meru, bebaturan, gedong sari, dan lainnya. Selain pura keluarga seperti sanggah atau merajan.

 Di sebuah desa, juga ada pura kahyangan tiga. Terdiri dari pura puseh, pura dalem, dan pura desa atau balai agung. Tujuan awalnya, pura ini untuk menyatukan berbagai klan dari warga di sebuah desa. 

Hal ini tentu tidak lepas dari kedatangan para empu atau para wiku besar nusantara ke Pulau Dewata.

Diantaranya kedatangan Empu Kuturan, Rsi Markandeya, Dang Hyang Nirartha, dan lain sebagainya. Para wiku atau guru besar pemuka agama ini, memberi perubahan besar dalam tatanan keagamaan Hindu di Bali.

Seperti misalnya, Empu Kuturan yang menganjurkan pembuatan Kahyangan catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat dan sebagainya. 

Selain itu, beliau juga mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, seperti jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan, sebagaimana diuraikan dalam lontar Dewa Tattwa.

Penyempumaan kehidupan agama Hindu di Bali, kemudian dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha.

BACA JUGA: Ini Penjelasan Terkait Mitos Bunga Gumitir yang Tidak Boleh Dipakai Sembahyang

Beliau datang ke Bali pada abad XV, ketika masa pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung.

Seperti hadirnya palinggih untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta palinggih untuk pemujaan dewa dan roh leluhur. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved