Serba Serbi
Tangkal Energi Negatif, Ini Makna Seselat dalam Keyakinan Hindu Bali
Diletakkan di angkul-angkul atau lebuh di depan pekarangan rumah. Kemudian dibiarkan terpasang selama 42 hari atau abulan pitung dina
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, mengimbau masyarakat Bali untuk memasang seselat.
Diletakkan di angkul-angkul atau lebuh di depan pekarangan rumah. Kemudian dibiarkan terpasang selama 42 hari atau abulan pitung dina.
Hal ini didukung oleh praktisi tantra, Jero Rudra Agni.
"Saya kira keputusan Pemprov Bali dan MDA ini sudah sangat tepat sekali, sesuai dengan laku yang sudah diterapkan sejak zaman leluhur kita dahulu," jelasnya kepada Tribun Bali, Senin 9 Agustus 2021.
Baca juga: Sad Kerti, Salah Satu Jalan Umat Hindu untuk Menuju Moksa
Seselat ini sudah menjadi warisan kearifan lokal sejak dahulu. Khususnya saat ada wabah penyakit, layaknya pandemi akibat virus Covid-19 seperti saat ini.
"Biasanya seselat memang dipasang di pintu masuk, atau angkul-angkul," imbuhnya.
Fungsi dan tujuan seselat ini, agar terhindar dari wabah, upas, sasab, merana, hingga grubug atau gering agung.
"Jadi saat pandemi seperti ini sangat pas sekali kita memasang seselat," katanya. Atau kembali ke ajaran leluhur.
Lanjut praktisi supranatural ini, makna sesungguhnya dari seselat adalah untuk melindungi agar terhindar dari bahaya atau ancaman khususnya yang berbentuk niskala maupun sekala.
Selain itu bahannya pun simpel dan bisa diambil dari alam.
Pertama siapkan, pucuk daun pandan berduri. Daun pandan berduri ini melambangkan Tri Kona, yaitu Utpeti, Stiti, dan Pralina. Atau penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan.
Lalu ada pamor sebagai lambang Siwa, lambang keseimbangan alam semesta.
Bentuk menjadi yantra tapak dara yang juga bermakna keseimbangan alam semesta, khususnya dalam hubungan antara bhuana alit dengan Tuhan. Lalu dengan manusia, alam bawah, dan alam lingkungan.
Setelah itu, ada sarana bawang merah yang merupakan yantra perlambang Brahma. Berwujud agni atau api, dimana api adalah sarwa bhaksa yakni pelebur segalanya.
Baca juga: Melambangkan Hal yang Suci, Berikut Ini Makna Turus Lumbung Dalam Hindu di Bali
Jangan lupa sarana bawang putih, sebagai yantra dari Iswara yang berwujud angin.
"Tentunya angin jugalah yang membawa wabah dan menerbangkannya. Tentu juga angin dalam wujud Bhatara Bayu yang bisa mempralina hal tersebut," ujarnya.
Ada juga sarana cabai merah, yang merupakan yantra dari Ongkara Gni Prenawa.
"Maka semua akan kembali, dileburkan sampai musnah dan seimbang seperti semula," imbuhnya.
Sarana penting lainnya adalah benang tridatu, sebagai pengikat.
Benang ini merupakan keyakinan, dalam kepercayaan tentang menyatunya bayu, sabda, idep. Yang kukuh, bakuh, langgeng sempurna. Sebagai lambang ketulusan dan keikhlasan dalam beryadnya.
"Sehingga apa yang kita harapkan membuahkan hasil sesuai permohonan kita," ujarnya.
Lanjutnya, seselat sesungguhnya sangat berpengaruh dan bisa menetralisir energi negatif yang ada di dunia ini.
"Bahkan ada rekan saja di Jepang, mereka juga pesan setahun yang lalu. Jadi keyakinan ini yang perlu ditanamkan kembali pada masyarakat kita," tegasnya.
Sebab warisan nenek moyang memang kaya akan manfaat dan filosofi yang tinggi demi kemaslahatan umat. Salah satunya seselat yang bisa menetralisir semua unsur negatif.
Baca juga: Dasa Mala yang Harus Dihindari Dalam Hindu Bali
Seselat, kata dia, sebaiknya dipasang saat akan bertemu dengan kliwon apalagi sebelum Kajeng Kliwon. Itu adalah waktu paling baik, layaknya Sabtu Kliwon Wuku Wayang kemarin. Maka sebelum hari itu dipasang seselat di rumah. Dan kepercayaan ini sudah ada turun temurun.
Ia juga setuju dengan pemasangan selama abulan pitung dina ini. Sebab sesuai dengan perhitungan wariga, abulan pitung dina ini adalah jumlah yang paling lama atau disebut wanengan.
Tujuannya agar energi negatif kembali normal.
"Setelah abulan pitung dina berakhir, atau nemu gelangan. Maka seselat tersebut dipralina dengan cara dibakar, dan abunya dimasukan ke dalam bungkak kelapa gading lalu dihanyutkan ke laut," katanya. Sebab laut dipercaya sebagai akhir dari setiap paleburan.
Namun jika rumah warga tidak dekat dengan laut, bisa dibuang ke sungai yang nantinya bermuara ke laut.
"Tentunya dengan sarana canang dan segehan ireng (hitam) dan mancawarna agar kembali menyatu pada Ida Sang Hyang Widhi," sebutnya. Sebab makhluk negatif dan positif di alam semesta ini tentu ada maksud dan tujuannya hadir. (*)
Artikel lainnya di Berita Bali