Berita Bali
Kemarau Panjang, Bali Terancam Kekeringan, Buleleng dan Karangasem Masuk Wilayah Siaga
Adanya kemarau panjang ini membuat kekhawatiran akan datangnya kekeringan lahan pertanian di Bali, Buleleng dan Karangasem siaga
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, 85 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau.
Bahkan, dari data BMKG terpantau akan terjadi Hari Tanpa Hujan (HTH) berturut-turut di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Bali.
HTH ini, menurut BMKG, berkategori sangat panjang (31-60 hari tanpa hujan) dan ekstrem panjang (lebih dari 60 hari berturut-turut tanpa hujan).
Adanya kemarau panjang ini membuat kekhawatiran akan datangnya kekeringan lahan pertanian di Bali.
Sementara itu, wilayah Bali utara, khususnya Kabupaten Buleleng tercatat siaga kekeringan oleh Stasiun Klimatologi Jembrana.
Baca juga: 33 Wilayah Indonesia Ini Akan Mengalami Hari Tanpa Hujan, Termasuk Bali Siaga Kekeringan
Selain Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem juga menjadi titik dari 33 wilayah di Indonesia yang terancam kekeringan.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Klimatologi Jembrana, Agit Setyoko memaparkan, ada tiga kecamatan di Buleleng yang terpantau sudah lebih dari satu bulan tidak turun hujan hasil pantauan setiap 10 hari sekali.
Sedangkan di Kabupaten Karangasem terdapat di satu kecamatan yakni Kecamatan Kubu.
"Memang setiap 10 hari sekali kita tampilkan peta hari tanpa hujan (HTH). Wilayah Bali kita pantau di Bali utara, daerah Buleleng itu di Kecamatan Tejakula, Seririt dan Kecamatan Buleleng.
Dan di Karangasem di Kecamatan Kubu, terpantau sudah lebih dari satu bulan tidak turun hujan menjadi peringatan dini kekeringan," kata Agit saat dikonfirmasi Tribun Bali, Senin 30 Agustus 2021.
Berbeda dengan daerah lain di Bali hingga update 20 Agustus 2021 masih terdapat titik-titik yang mengalami hujan karena musim kemarau saat ini relatif kemarau basah.
"Jadi memang musim kemarau saat ini tidak begitu banyak hujan turun, namun cuaca relatif basah. Daerah lain masih terdapat hujan, tapi Bali utara tidak terdapat," ujar dia.
Pihaknya menyampaikan, Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan rekomendasi melalui media sosial dan informasi langsung ke pemerintah daerah melalui dinas terkait untuk mitigasi dampak kekeringan.
"Agar pihak terkait antisipasi ketersediaan air bersih saat musim kemarau ini karena perkiraan musim hujan masih sekitar 2 hingga 3 bulan lagi datangnya, khusus Bali bagian utara," ujar Agit.
Hanya saja, dampak kekeringan di Bali utara tidak begitu signifikan memengaruhi hasil produksi pertanian, khususnya padi, yang mayoritas tumbuh di Bali bagian tengah.
Baca juga: INILAH Wilayah di Indonesia Akan Alami Hari Tanpa Hujan Panjang, Termasuk Bali dan Jawa Timur
"Kita sampaikan ke masyarakat melalui medsos, ke dinas terkait untuk antisipasi dampak kekeringan, namun di Bali utara bukan lahan pertanian produktif, masih aman.
Lain halnya sentra produksi padi di Gianyar, Badung bisa menimbulkan dampak signifikan, terutama sawah tadah hujan.
Bali bagian utara bukan daerah pertanian, dalam hal ini padi, namun tentu saja harus antisipasi ketersediaan air bersih," jelas dia.
Stasiun Klimatologi Jembrana memprakirakan musim penghujan di wilayah Buleleng baru akan tiba pada November, disebabkan faktor topografis wilayah Buleleng.
"Untuk prakiraan datangnya musim hujan. Buleleng bagian timur bulan November, Buleleng bagian barat awal Desember.
Kalau daerah Buleleng, Bali bagian utara, topografis letaknya di utara di balik pegunungan Bali bagian tengah. Jadi rata-rata curah hujan mundur," katanya.
Dari Karangasem dilaporkan, 50 persen desa di sana diperkirakan akan mengalami kesulitan air bersih (kekeringan) memasuki musim kemarau.
Sesuai perkiraan BMKG, Kabupaten Karangasem akan mengalami hari tanpa hujan beberapa hari.
Plt Kepala BPBD Karangasem, IB Ketut Arimbawa, mengatakan, daerah di Karangasem yang kesulitaan air tersebar di beberapa Kecamatan, seperti Kecamatn Kubu, Abang, Bebandem, dan Karangasem.
"Di Kubu hampir semua desa kesulitan air bersih saat kemarau," kata IB Arimbawa.
Baca juga: Merespons Isu Kekeringan, DPRD Bali Bakal Monitor Ketersediaan Pangan di Bulog
Daerah yang diperkirakan kesulitan air bersih rata-rata karena minim sumber air dan lokasinya juga berada di atas ketinggian, tanah kering.
Seperti di Desa Ban bagian atas, Tianyar bagian atas, Tianyar Barat, Baturinggit, Tulamben bagian atas, Dukuh, Kedampal, Buana Giri, Datah, dan Sukadana.
"Untuk tahun ini (2021) jumlah desa yang kesulitan air bersih saat kemarau menurun dibanding sebelumnya.
Banyak ditemukan sumber mata air baru. Dibangun pamsims, dan gali sumur baru. Seperti di Desa Sukadana," kata Arimbawa.
Dia mengatakan, BPBD telah berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengantisipasi kesulitan air bersih terhadap masyarakat.
Seperti koordinasi dengan Dinas Sosial (Dinsos) Karangasem, Palang Merah Indonesia Cabang Karangasem, Komunitas ACT, dan bank.
Instansi swasta, seperti perbankan dan pegadaian, menyatakan siap mendistribusikan air bersih jika ada permintaan dari masyarakat.
Sampai kini belum ada daerah di Kabupaten Karangasem yang mengajukan air bersih ke BPBD/instansi terkait. Petugas bersedia mengirimkan air bersih ke lokasi.
"Yang penting lokasi jelas. Tempat untuk menampung air milik umum. Harapannya saat petugas mengirimkan air, warga bisa menikmati semua.
Seandainya tempat penampung air milik pribadi, harus ada persetujuan," kata Arimbawa seraya mengatakan, petugas sudah mengimbau warga tetap hati-hati.
Untuk diketahui, saat mengalami kekeringan, warga terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan keseharian, seperti memasak, minum, serta cuci pakaian.
Harga air Rp5.000 hingga Rp10.000 per jeriken. Sedangkan harga per tangki mencapai Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu.
Sementara itu, untuk mengantisipasi datangnya kekeringan di musim kemarau panjang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melakukan beberapa langkah strategis.
Salah satunya dengan membangun beberapa cubang atau bak penampungan air hujan dan embung di beberapa daerah di Bali.
Embung adalah cekungan penampung (retention basin) yang digunakan untuk mengatur dan menampung suplai aliran air hujan serta untuk meningkatkan kualitas air di badan air yang terkait (sungai, danau).
Embung bertujuan menampung air hujan di musim hujan dan lalu digunakan petani untuk mengairi lahan di musim kemarau.
Selain itu, Pemprov Bali juga telah melakukan berbagai pengadaan pompa air untuk membantu para petani.
“Kita sudah mempersiapkan adanya musim kemarau dengan membangun beberapa cubang atau embung di Bali, dan pengadaan pompa air itu,” kata Plt Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ketut Lihadnyana, Senin 30 Agustus 2021.
Mengenai lokasi dari cubang atau embung tersebut, pihaknya menyebutkan telah membangun di beberapa kawasan di Kabupaten Tabanan, Karangasem, dan Buleleng.
“Cubang-cubang itu ada di Tabanan sebagai sentra ya, ada di Karangasem, ada di Buleleng” kata pria yang merangkap sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bali ini.
Pun begitu, hingga kini menurutnya, pihaknya belum menemukan data adanya kekeringan atau lahan pertanian yang puso akibat musim kemarau.
Terkait ketersediaan pangan, Lihadnyana juga memastikan, stok pangan di Bali masih dalam kategori aman, karena pola tanam para petani Bali menurutnya telah tertib sesuai adat istiadat yang berlaku.
Mantan Pjs Bupati Badung ini mengatakan, pihaknya juga terus memantau terkait ketersediaan pangan di Bali.
“Ketersediaan pangan di Bali kan pola tanamnya tertib ya, tidak khawatir soal itu. Karena kita selalu memantau stok-stok yang ada,” ucapnya.
Baca juga: Masuki Musim Kemarau Bali Terancam Kekeringan Panjang,Dewan Minta Pemprov Tanggap Lakukan Antisipasi
DPRD Minta Pemprov Antisipasi
Terkait fenomena tersebut, Anggota Komisi II DPRD Bali, Kade Darmasusila mendesak Pemprov Bali tanggap mempersiapkan datangnya kemarau panjang.
Pasalnya, saat ini Bali mulai mendasarkan perekonomiannya dari sektor pertanian di masa pandemi ini. Apalagi, karena sektor pariwisata lesu darah akibat pandemi.
"Di satu sisi pariwisata seperti ini dan pertanian adalah second line daripada ekonomi di Bali, tentu sebagai wakil rakyat di provinsi.
Kebijakan pemerintah bagaimana di pertanian kalau sumber air tidak bisa dimanfaatkan kan nggak mungkin kita paksanakan petani menanam kan rugi," kata Darmasusila.
Ini karena dua daerah di Bali yang dikenal sebagai lumbung beras Pulau Dewata yakni Kabupaten Tabanan dan Jembrana dipastikan akan menjadi daerah yang terparah terdampak kekeringan.
"Tentu pemerintah kan harus cepat tanggap dan sadar dalam menghadapi kondisi alam yang tidak bisa kita hindari.
Bali sebagai daerah lumbung padi Tabanan dan Jembrana pasti akan terdampak dari sektor pertanian," paparnya.
Wakil rakyat dari Dapil Jembrana ini menyebutkan, selain sektor pertanian, sektor hortikultura lainnya seperti perkebunan juga ikut terkena dampak keras akibat kekeringan.
"Bahkan bisa saja tanaman-tanaman hortikultura, seperti cengkih, vanili, buah-buahan ada di ladang kena dampak karena nggak pernah kena air," tegas Ketua DPC Gerindra Jembrana ini.
Untuk itu, dia meminta pemerintah tidak lepas dan cepat mengantisipasi melalui berbagai langkah yang tepat dalam menyelamatkan perekonomian dan pertanian Bali.
Darmasusila mendorong Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-Bali yang saat ini tengah menyusun anggaran perubahan di APBD 2021 untuk memperhatikan secara khusus sektor pertanian dalam anggaran perubahan.
"Menurut saya bicara pertanian dalam arti luas maka pemerintah harus mengantisipasi melalui program apa kira-kira bisa mempertahankan ekonomi dari sektor pertanian.
Pemerintah kabupaten maupun provinsi ini kan sedang membahas anggaran perubahan. Sehingga apakah prioritas utama anggaran perubahan di sektor pertanian,” pintanya.
Pihaknya mendorong Pemprov Bali berani mengambil langkah tegas dengan meningkatkan anggaran pertanian menjadi 5 persen dari APBD.
Seperti diketahui, selama ini alokasi anggaran sektor pertanian di Bali hanya 2 persen per tahun.
“Kenapa dengan sektor pariwisata tidak berjalan, pertanian diangkat 5 persen lah untuk mengantisipasi masa paceklik atau kemarau panjang,” katanya.
Dengan langkah tersebut, diharapkan pemerintah dapat memberikan berbagai stimulus ekonomi atau hibah kepada masyarakat, khususnya para petani yang terdampak kekeringan.
“Sehingga masyarakat bisa lah pelihara kambing, pelihara ayam atau petelur sehingga masih ada perputaran ekonomi sektor pertanian melalui stimulus ekonomi atau hibah kepada kelompok masyarakat melalui program padat karya,” tukasnya.
Ia mengatakan, pihaknya akan melakukan berbagai antisipasi terkait musim kemarau ini. Salah satunya dengan memantau ketersediaan pangan di pasaran, utamanya Bulog.
Hal ini menurutnya bakal menjadi dasar bagi rekomendasi dewan kepada Gubernur Bali, Wayan Koster apakah harus mendatangkan beras dari luar daerah atau tetap menggunakan stok yang ada.
"Ya tentu kita akan antisipasi. Komisi terkait akan kita sarankan memantau kesediaan beras sebagai dasar rekomendasi kepada pemerintah apakah perlu mendatangkan beras dari luar atau tidak.
Perlu tidak perlu kita harus bicara dengan data. Kalau menurut data Bulog cadangan beras cukup kan itu dulu dimanfaatkan,” terangnya. (ian/ful/gil)