Berita Denpasar
Membuat Wayang Karton Sejak Tahun 1970-an, Ketut Geria Beryadnya dengan Wayang di Bali
Usianya tak muda lagi. Sudah hampir kepala delapan, namun Gusti Ketut Geria (78) masih terlihat energik
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Usianya tak muda lagi. Sudah hampir kepala delapan, namun Gusti Ketut Geria (78) masih terlihat energik.
Senyum terus mengembang di wajah pria berambut putih tersebut.
Mengenakan pakaian adat Bali serba putih tanpa udeng, ia duduk di pinggir jalan di depan RSUD Wangaya, Denpasar, Bali, pada Minggu siang 5 September 2021.
Di sampingnya berjejer wayang Bali dengan berbagai tokoh.
Baca juga: KISAH Angkot Indonesia Ngaspal di Jerman, Stikernya Khas Sopir Truk Karya Hajar asal Probolinggo
Sementara sepeda ontelnya ia parkir di pinggiran trotoar.
Wayang-wayang itu, ia letakkan dalam kardus, kemudian diikat pada bagian belakang sepeda.
Dari rumahnya di Jalan Kunti 5B Denpasar, ia mengayuh sepedanya menuju ke depan RSUD Wangaya Denpasar.
Wayang yang dia jual bukanlah wayang yang terbuat dari kulit, melainkan wayang mainan yang terbuat dari karton.
Jika melihat sekilas akan sangat mirip dengan wayang kulit pada umumnya yang dipakai pentas.
Gusti Ketut Geria mengaku mulai membuat wayang karton sejak tahun 1970-an.
Bermula dari kegemarannya menonton wayang kulit hingga dirinya hafal nama tokoh dan karakter wayang tersebut.
Dia membuat wayang dari bahan karton bekas, bambu, karet dan benang yang ia dapatkan secara cuma-cuma.
“Semua bahan ini saya pungut, tidak ada yang beli kecuali cat. Karton, bambu, benang dan karetnya semua bekas,” kata Geria.
Beraneka ragam tokoh ia buat mulai dari tokoh Delem, Sangut, Panca Pandawa, Kresna, Abimanyu, Gatotkaca dan tokoh lain dalam epos Mahabharata.
Meskipun dibuat dari karton, akan tetapi proses pembuatannya apik.
Ia memperhatikan detail wayang termasuk dalam hal pewarnaan.
Bahkan untuk membuat detail dan lubang-lubang pada tubuh wayang dia menggunakan pahat.
“Dipahat untuk membuat lubang-lubangnya. Kalau catnya saya pakai cat minyak, kadang cat tembok,” katanya.
Dalam sehari ia bisa menyelesaikan dua wayang yang belum dicat dan butuh dua hari untuk proses pengecatan hingga pengeringan.
Meskipun pembuatannya cukup rumit dan memakan waktu cukup lama, ia menjual wayang seharga Rp 20 ribu untuk semua tokoh.
“Tiang ten medagang niki, tiang mapunia wayang. Yen medagang ten nyidaang ngadep 20 ribu (saya tidak berjualan ini, saya beryadnya dengan wayang. Kalau mau jualan tidak mungkin saya jual 20 ribu)” katanya sambil tertawa.
Meskipun demikian, dia mengaku sering ada orang yang berbaik hati memberinya uang lebih.
“Kadang ada yang beli dua wayang saya Rp 100 ribu, kadang ada juga untuk satu wayang saya diberi uang Rp 100 ribu. Ada juga yang menambahinya dengan sembako,” katanya.
Gusti Ketut Geria mengaku tak banyak wayang karyanya yang terjual selama masa pandemi Covid-19.
Apalagi saat ini tak banyak orang yang sudah tak suka menonton wayang, dan jika ada itupun wayang Cenk Blonk.
Baca juga: KISAH Asmara Tentara Afghanistan dan Perawat AS, Terpisah oleh Taliban, Antara Cinta dan Khawatir
“Sekarang jarang yang menonton wayang. Padahal wayang itu kan artinya bayangan, bayangan tentang hidup kita. Ada pertempuran, tapi ujung-ujungnya berada dalam satu wadah atau keropak, sama seperti hidup kita,” tuturnya.
Namun, sejak dua hari lalu banyak yang datang membeli wayangnya.
Ini terjadi setelah foto dirinya saat berjualan wayang tersebar di media sosial.
Kemarin semua wayang buatannya ludes diborong pembeli.
Sebelum berjualan di depan RSUD Wangaya, dia jualan di Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali. (i putu supartika)
Kumpulan Artikel Denpasar