Berita Bali

Anakan Kera Abu-Abu Banyak Diperdagangkan di Pasar Satria, Begini Tanggapan BKSDA Bali

Permasalahan Kera Ekor Panjang/ Kera Abu-Abu (macaca fascicularis) yang anakannya banyak diperdagangkan di Pasar Satria Denpasar ditanggapi BKSDA Bali

Adrian Amurwonegoro
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali R. Agus Budi Santosa 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Zaenal Nur Arifin

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Permasalahan Kera Ekor Panjang/ Kera Abu-Abu (macaca fascicularis) yang anakannya banyak diperdagangkan di Pasar Satria Denpasar ditanggapi BKSDA Bali.

BKSDA Bali menjelaskan bahwa spesies kera ini populasinya relatif melimpah.

Hal itu karena kera ini termasuk mamalia yang sangat mudah bertahan, mudah menyesuaikan diri di lingkungan manusia, makan apapun yang dimakan manusia,  produktif berkembang biak seperti manusia, tidak ada saingan dengan species jenis kera lain dan tidak ada  hewan pemangsanya. 

Baca juga: Erick Thohir Dikabarkan Akan ke Gianyar Besok, Beri Bantuan Dana Pakan Monyet hingga Sembako

“Bayi kera abu-abu ini mungkin lebih aman dan sejahtera dipelihara manusia daripada kekurangan pakan dan dibunuh sesama kera di alam liar,” ujar Kepala BKSDA Bali, R Agus Budi dalam keterangannya, Senin 27 September 2021.

Selain itu sangat jarang ditemukan penyiksaan terhadap satwa kera jenis ini di Bali karena banyak yang percaya bahwa kera ini adalah titisan/ keturunan Dewa Hanoman yang patut dihormati.

Baca juga: Beredar Video Warga Bantu Beri Makan Kera di Alas Kedaton Tabanan, Agung: Ini Inisiatif Sendiri

“Satwa ini tidak dilindungi Undang-Undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol. Undang-Undang KSDAR tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini. Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP,” tegasnya.

Itu pun kalo jelas-jelas terbukti disiksa dan delik penyiksaannya terpenuhi.

Untuk perdagangan bayi kera jenis ini, BKSDA sulit memantau karena ukuran satwa yang kecil, jinak dan mudah disembunyikan.

Baca juga: Pastikan Penyebab Kera Jarah Perkebunan Warga, DLH Gianyar Bali Akan Turun Gunung

“Bagi penyayang hewan memang terlihat kasihan dengan nasib bayi-bayi kera ini, namun menurut aturan, pelaku perdagangan satwa kera ini tidak bisa dikenai hukuman berat karena satwa tidak dilindungi UU,” imbuh Agus.

Razia satwa kera jenis ini amat tidak efisien serta tidak sebanding antara nilai konservasi dan bobot kesalahan dibanding dengan biaya operasional dan biaya perawatan apabila satwa disita.

“Peredarannya sebenarnya bisa diatur dengan Perda, karena merupakan Tipiring sanksinya lebih condong ke Sanksi Administrasi. Untuk itu perlu pendekatan dan dikomunikasikan dengan Pemda setempat,” demikian kata Agus.

Sebelumnya, menurut Jakarta Animal Aid Network (JAAN) di Bali masih ditemukan banyak penjual bayi-bayi monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Denpasar. 

Setidaknya ada dua lapak penjual monyet ekor panjang di pasar itu. Monyet-monyet ini rata-rata berusia sangat muda. 

Menurut seorang pedagang, monyet ini didatangakan hampir setiap bulan dari Sumatera. 

Tentu saja hal ini ilegal, karena memasukan hewan penular rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali dilarang, mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian RI No.1696/2008, tentang larangan memasukan anjing, kucing, kera dan sebangsanya ke Provinsi Bali.

Selain itu penjualan hewan primata di pasar burung berpotensi besar melanggar KUHP Pasal 302 tentang penyiksaan hewan, UU No.18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dan PP No.95 Tahun 2012 tentang kesehatan masyarakat veterniner dan kesejahteraan hewan. 

Kemudian cara memperoleh dan mengangkut monyet-monyet ini juga melanggar Peraturan Menteri Kehutanan No. P-63/Menhut-II/2013, tentang tata cara pengambilan spesimen tumbuhan dan satwa liar.

Masih maraknya penjualan bayi monyet di pasar burung diduga karena banyaknya peminatnya. 

Kebanyakan pembelinya turis yang kasian kemudian membelinya. Masalahnya setelah besar, monyet ini kemudian menjadi hal serius karena semakin galak dan liar. 

Cara ini salah, karena membeli monyet dari pedagang di pasar hanya akan melanggengkan perdagangan satwa liar, mengacu pada prinsip supply and demand

Lalu menjadikan monyet sebagai konten media sosial, karena merebaknya para influencer melakukan hal tersebut, juga memicu tingginya pembelian bayi-bayi monyet ini.

Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dan keluarga yang solid. Untuk bisa mendapatkan anak atau bayi monyet biasanya para pemburu akan membunuh induknya. 

Tentu saja hal in sangatlah kejam dan bertentangan dengan kesejahteraan hewan bahkan peraturan pemerintah.

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) sudah banyak menyelamatkan monyet-monyet dari laporan warga dan sitaan pemerintah hingga tidak ada lagi tempat. 

Di fasilitas rehabilitasi satwa kami di Sumatera baru-baru ini ada sekitar 36 ekor bayi monyet yang berhasil disita oleh pihak berwenang. 

Ke semua bayi tersebut berhasil diselamatkan dalam perjalanan menuju Pulau Jawa dan Bali.

Sayangnya hingga saat ini laporan dan aduan kepada pihak terkait tidak mendapat tanggapan. 

Padahal masyarakat Hindu Bali sangat menghormati monyet-monyet ekor panjang ini. 

Seperti di Sangeh, Monkey Forest, Uluwatu, Alas Kedaton dan Pura Pulaki. Tapi mirisnya masih terjadi praktik perdagangan dan pemeliharan monyet-monyet ini di Bali. 

“Kami berharap pemerintah Bali melalu Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung,” kata Femke den Haas selaku Pendiri, JAAN Divisi Satwa Liar.(*)

Berita lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved