Berita Denpasar
Selain Sebagai Alat Komunikasi, Ini Penjelasan Terkait Makna Kulkul di Bali
Kulkul adalah salah satu warisan adat budaya dalam bentuk benda, yang hingga saat ini masih lestari di tengah-tengah masyarakat Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kulkul adalah salah satu warisan adat budaya dalam bentuk benda, yang hingga saat ini masih lestari di tengah-tengah masyarakat Bali.
Pada zaman dahulu, kulkul digunakan sebagai alat komunikasi dalam hubungan kemasyarakatan khususnya di area banjar.
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti kepada Tribun Bali menjelaskan bahwa pada masyarkat kuno, kulkul digunakan untuk alat komunikasi agar informasi dapat tersampaikan atau tersambung antara satu dengan yang lainnya.
Untuk itulah kulkul sangat diperlukan sebagai alat komunikasi, sebelum munculnya alat komunikasi canggih seperti sekarang.
Namun, demi menjaga eksistensi adat dan budaya, penggunaan kulkul pun masih tetap dilestarikan sampai saat ini di Bali.
"Sebab kan jumlah penduduk pada zaman dahulu, agak jarang dan letaknya berjauhan. Alat komunikasi kulkul diperuntukkan sebagai alat pemberitahuan agar dapat berkumpul bersama-sama," jelas beliau Senin, 4 Oktober 2021.
Bahkan fungsi kulkul juga sebagai untuk peringatan tanda bahaya, adanya musuh, mengabarkan apabila ada musibah dan lain sebagainya.
Termasuk bunyi kulkul menandai adanya upacara dan kematian serta kelahiran warga di area banjar.
"Bahkan di beberapa negara ada alat-alat tradisional yang dipergunakan serupa dengan kulkul sebelum adanya alat modern. Semisal memakai terompet, gendang serta kentongan," sebut pensiunan dosen UNHI Denpasar ini.
Sedangkan secara etika, membunyikan alat-alat tradisional itu sangat dipatuhi oleh masyarakat dan disepakati sampai saat ini.
Sehingga cara menyuarakan benda tersebut memiliki kode-kode tertentu yang telah disepakati oleh masyarakat atau komunitas tersebut, misalnya saja bunyi untuk memanggil jika ada yang berkumpul.
Lalu bunyi jika ada perang, ada bahaya, ada hiburan dan sebagainya, yang memiliki arti untuk pemberitahuan.
Lalu mengapa di setiap banjar di Bali ada kulkul?
Beliau menjelaskan, bahwa banjar adalah komunitas masyarakat yang terikat dalam suatu kesepakatan yang diatur dengan suatu aturan atau awig-awig untuk menjalankan tugas dan kewajiban dalam tatanan bermasyarakat.
Khusunya di Bali, kata beliau, banjar juga berhubungan erat dengan pelestarian agama dan budaya.
Sehingga dibuatkan kulkul di dalam sebuah komunitas banjar, untuk memudahkan komunikasi antar warga.
Kulkul digunakan sebagai alat komunikasi karena mengeluarkan suara keras dan cukup nyaring.
Bahkan, kata beliau, suaranya menjangkau hingga radius 1-2 km bahkan lebih.
Khususnya dalam kondisi pedesaan, yang minim suara bising maka suara kulkul akan sangat nyaring dan menjangkau lebih jauh.
Lanjut beliau, suara kulkul tersebut memiliki ciri atau kode-kode tertentu yang telah disepakati oleh seluruh anggota banjar.
Misalnya kalau ada kematian, maka kulkul disuarakan hanya dengan tiga kali pukulan saja.
Kemudian apabila ada kebakaran kulkul disuarakan dengan sambung-menyambung, begitu juga kalau ada kejahatan kulkul disuarakan dengan suara panjang yang terus-menerus dan sebagainya.
Dengan adanya suara kulkul yang disepakati melalui pararem ataupun telah ditulis dalam awig-awig, maka kulkul banjar akan disakralkan.
Sehingga tidak sembarang orang boleh memukul tanpa seizin krama banjar.
"Begitu juga dengan bentuk atau ritme suara saat dibunyikan maka harus sesuai dengan kesepakatan bersama.
Hampir di setiap banjar memiliki kulkul, dan jumlahnya ada dua yakni kulkul lanang dan wadon.
Hal ini, jelas beliau, karena umat Hindu khususnya di Bali adalah orang yang menganut paham keseimbangan.
Hal ini tercermin dalam segala hal, baik itu filosofis hidup, perilaku, budaya, seni dan sebagainya, serta segala sesuatu dilogikakan sesuai dengan manusia itu sendiri.
Misalkan saja, suatu contoh konsep Rwa Bhineda yaitu ada baik ada buruk, ada senang ada susah, ada laki ada perempuan.
"Begitu juga konsep memanusiakan isi alam, sehingga bisa ajeg dan selalu harmonis," sebut beliau.
Dengan adanya kulkul lanang/laki dan kulkul wadon/perempuan ini, maka akan memudahkan untuk mengetahui situasi dan kondisi hanya dari mendengarkan suara kulkul saja.
Biasanya jika kulkul lanang yang bersuara adalah menandakan ada hal-hal atau pekerjaan yang memerlukan tenaga ekstra, misalnya saja ada orang ngamuk, ada kebakaran dan sebagainya, maka kulkul lanang yang dibunyikan.
Namun apabila ada kematian, biasanya kulkul wadon yang dibunyikan.
"Sehingga keseimbangan dalam komunitas bisa dijaga dengan baik, yaitu keseimbangan laki dan perempuan dari lambang kulkul ini," jelasnya.
Lalu mengapa letak kulkul biasanya atau selalu di atas bale banjar bahkan di bagian dekat atap?.
"Seperti telah diuraikan di atas, bahwa suara kulkul dipergunakan untuk memanggil atau pertanda pemberitahuan kepada krama yang tempatnya terpencar, apalagi saat masyarakat bekerja di sawah dan ladang yang letaknya jauh dari pusat banjar itu," kata beliau.
Sehingga untuk itu, diperlukan arena atau tempat yang lebih tinggi dari tempat atau rumah penduduk, untuk menempatkan kulkul tersebut.
Agar saat kulkul dibunyikan, maka suara kulkul akan lepas bebas atau suaranya los tanpa ada hambatan atau halangan oleh tembok bangunan.
Akhirnya suara kulkul akan tetap jernih, sehingga orang yang tinggal di jarak cukup jauh dari bale banjar bisa tetap mendengar suaranya.
"Disamping itu kulkul sangat dihormati dan disakralkan, sehingga ditempatkan di tempat yang lebih tinggi dari rumah penduduk," tegas beliau.
Baca juga: Kulkul Bergerak Sendiri, Jero Mangku Elvys: Mungkin Saja Sebuah Pertanda Baik
Baca juga: Buru Hewan Kijang di Kawasan TNBB, Kasiyanto Mengaku Tak Tahu Kijang Adalah Satwa yang Dilindungi
Sebaliknya kalau kulkul ditaruh di bawah, maka jangkauan suaranya akan terbatas karena terhalang oleh tembok, rumah atau bangunan lain.
(*)