Berita Bali

Kisah Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur Saat Masih Walaka hingga Menjadi Sulinggih Semasa Hidup

Lamanya palebon beliau, menyesuaikan dengan desa, kala, patra, dan tentunya hari baik atau dewasa ayu yang dikenal di Bali sejak dahulu

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa
Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur lebar (meninggal dunia). Ida lebar tanggal 24 Agustus 2021, dan pertiwaan atau palebon pada tanggal 8 Oktober 2021 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sudah lebih dari sebulan lamanya, Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur lebar (meninggal dunia).

"Ida lebar tanggal 24 Agustus 2021, dan pertiwaan atau palebon pada tanggal 8 Oktober 2021," sebut Ida Bagus Surya Wibawa, salah satu anak beliau, kepada Tribun Bali, Rabu 6 Oktober 2021.

Lamanya palebon beliau, menyesuaikan dengan desa, kala, patra, dan tentunya hari baik atau dewasa ayu yang dikenal di Bali sejak dahulu.

Apalagi di tengah situasi pandemi seperti saat ini, yang segalanya sangat dibatasi.

Baca juga: Puncak Palebon Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung pada 8 Oktober Hanya Libatkan 300-an Peserta

Pria yang akrab disapa Gusya ini, menyebutkan bahwa situasi dan awig-awig di setiap wilayah Bali tentu berbeda-beda.

Belum lagi, jika di sebuah desa atau wilayah ada upacara agama yang berkaitan dengan Dewa Yadnya. Atau piodalan di pura kahyangan tiga.

Tentu hal tersebut yang akan diutamakan terlebih dahulu. Sehingga pihak keluarga menunda sementara upacara dan acara palebon. Sampai benar-benar menemukan hari baik yang pas.

Sebelum palebon, kata Gusya, ada upakara yang bernama narpana saji.

Gusya mengatakan, acara narpana ini secara awam semua bermula dari Tri Kona yaitu Utpeti atau kelahiran, Sthiti atau kehidupan, dan Pralina atau kematian.

"Setelah pedanda lebar, maka layon ratu pedanda dibersihkan melalui upacara masucian mulai dari mabersih, ngeringkes, dan lain-lain," jelasnya.

Hal itu juga sekalian munggah tumpang salu, dan beliau yang telah meninggal masih dianggap mekolem atau tertidur karena belum bisa diadakan prosesi palebon.

Untuk itu, setiap hari suci Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon diadakanlah acara narpana saji.

Atau menghaturkan sajian narpana yaitu pemberian bekal di alam sana kepada pitra berupa pakaian, makanan, dan lain sebagainya. Beserta dengan puja-puja yang diberikan dari seorang pedanda yang mapuja saat itu.

Setelah itu, keluarga memberikan sembah bhakti. 

Baca juga: Ida Pedanda Gede Jelantik Karang Lebar, Ini Kekaguman Ari Dwipayana pada Sosok Sang Sulinggih

Setelah narpana saji ini selesai, maka dua proses Tri Kona sudah dilaksanakan yaitu pada bagian Utpeti dan Sthitinya saja.

Sedangkan proses Pralina belum terlaksana, karena belum ada proses peleburan terhadap layon melalui pembakaran.

Sehingga diperlukan hari dan waktu yang baik, agar upacara berlangsung lancar dan sesuai dengan ajaran agama yang baik dan benar.

Tak dapat dipungkiri, bahwa sosok seorang ida ratu pedanda memang memiliki fungsi penting di tengah masyarakat Hindu Bali. Termasuk Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur ini.

Gusya mengulas sedikit, kisah beliau semasa hidupnya.

 "Ratu pedanda terlahir dengan nama walaka Ida Bagus Alit Kamajaya, dari 9 bersaudara dan beliau anak ke-7. Beliau lahir di Karangasem tanggal 2 November 1954," sebutnya.

Tahun 1963 tatkala Gunung Agung meletus, masyarakat Karangasem mengungsi ke beberapa daerah, bahkan ada yang sampai ke luar Bali. Saat itu, Ida pedanda merantau ke Sanur, Denpasar.

Kebetulan pula di Sanur sempat beberapa tahun beliau menetap di Griya Sanur, apalagi masih ada hubungan semeton (saudara).

Tak lama kemudian, beliau mencoba peruntungan ke Kuta. Sejak tahun 1973, beliau bekerja di dunia pariwisata. Bahkan sempat pula membuka restoran.

"Sebelum memutuskan dan terpilih menjadi sulinggih, ida seperti walaka pada umumnya. Yang melayani masyarakat menjadi sangging, memandikan layon (jenazah), hingga menjadi bangke matah dalam upacara Calon Arang di Kuta," jelas Gusya.

Baca juga: Padewasan Perkawinan dalam Ajaran Hindu Bali, Berikut Penjelasan Ida Pedanda Gede Buruan

Dari sinilah, beliau kian dikenal oleh banyak masyarakat di Kuta. Kemudian pada tahun 2014, beliau didiksa menjadi sulinggih. Dan lebar pada tanggal 24 Agustus 2021.

Bahkan setelah malinggih menjadi sulinggih, beliau juga masih  aktif di organisasi Dharma Ghosana se-Nusantara.

Di dalam organisasi tersebut, ida juga sempat ikut menyumbang pikiran dalam menyusun buku bertajuk 'Ngaben Alit Sattwika'.

Kala itu, Bupati Badung, Nyoman Giri Prasta, meminta para sulinggih menyusun buku pengabenan alit untuk masyarakat Badung.

"Sisanya ya beliau seperti sulinggih pada umumnya, menjadi pemimpin umat dalam mengajarkan agama. Lalu muput karya, muput upakara dan upacara orang menikah, meninggal, maoton, mabayuh, matatah, malukat dan lain sebagainya," sebut Gusya.

Bahkan dahulu, kata dia, kerap pada hari raya Saraswati banyak yang melaksanakan pawintenan massal tanpa dipungut biaya.

Gusya mengatakan, sosok beliau jarang bercerita tentang diri sendiri kepada keluarga.

Gusya mendengar banyak kisah beliau dari para sisya, pamedek yang tangkil, dan kolega beliau semasa welaka. Pernah suatu saat, ada pemangku dari Tuban menghaturkan teteken ke ida.

"Konon teteken itu panjang lalu dipotong menjadi dua, dan pemangku itu mengambil bagian belakangnya atau ekornya," sebut Gusya.

Bagian kepala teteken dihaturkan ke ida pedanda. Perlu dijelaskan, teteken adalah tongkat yang sering dibawa oleh para sulinggih.

Kisah lainnya, diceritakan semetonnya yakni pada saat ida pedanda madiksa. Kala itu, ida pedanda madiksa dengan dua pasang calon sulinggih lainnya. Sehingga total yang madiksa adalah enam orang (lanang-istri).

"Entah darimana datangnya, ada sinar dari merajan pusat di Karangasem, dan ida pedanda yang lebar yang mendapat sinar itu," jelasnya.

Ada pula pemangku yang menghaturkan batu putih, sejenis Soca Segara. 

Kemudian ada yang memberi beliau caling atau taring, dengan tiga batu berjejer di dalamnya. Batu itu melambangkan Brahma, Wisnu, Iswara atau Siwa. Karena berwarna merah, putih dan hitam (Tri murti).

Memang Ida pedanda dengan tiga orang putra-putri ini, kerap diberikan sesuatu yang unik dari seseorang. Termasuk ada orang Cina yang memberi cincin pada beliau.

Kisah lainnya, ada yang belum memiliki keturunan, namun setelah malukat ke griya dan dibantu doa serta upakara oleh ida pedanda. Tak lama kemudian, akhirnya pasangan itu memiliki anak.

"Waktu itu pasangan tersebut malukat ke griya," katanya.

Karena itu, pasangan tersebut akhirnya setiap mengupacarai sang anak baik dari 1 bulan 7 hari sampai seterusnya dilakukan di griya.

"Tetapi tentu semua atas kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa," tegas Gusya. (*)

Artikel lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved