Kisah Hidup Jro Pasek, Berhenti Jadi Pegawai di Bandara Hingga Memilih sebagai Pawang Hujan
Jro Pasek menyapa ramah Tribun Bali, saat mengunjungi kediamannya yang sederhana di Banjar Pande, Desa Kamasan, Klungkung, Selasa (12/10/2021)
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Wema Satya Dinata
Ini sangat kebetulan dan saya anggap ini takdir saya. Saya ambil formulir untuk pensiun dini itu," ungkap Jro Pasek sembari merapikan gelang yang banyak dikenakan pada kedua tangannya.
Menurutnya pawisik itu berupa bisikan, dan itu yang diyakni oleh Jro Pasek. Sampai akhirnya ia menemukan takdirnya sebagai seorang pawang hujan.
Ia sempat menyangkal jika dikatakan sebagai tukang terang. Menurutnya dirinya lebih tepat jika disebut sebagai pawang hujan.
" Agar masyarakat mengetahui, tukang terang dan pawang hujan itu berbeda. Jika tukang terang, sebelum acara biasanya jauh-jauh hari sudah menyiapkan sarana dan ritual agar mencegah terjadinya hujan.
Jika pawang hujan, saat terjadi hujan pun bisa turun untuk mengendalikan hujan itu agar reda. Itu yang saya yakini," jelasnya.
Walau mulai viral saat Pelebon Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung, menurutnya yang paling berkesan justru ketika dirinya menjadi pawang hujan dalam pelebon permaisuri dari tokoh Puri Agung Klungkung pada tahun 2014 silam.
Upacara itu menjadi salah satu pelebon terbesar yang pernah ada, yang melibatkan ribuan warga.
" Setelah saat itu saya mulai dikenal. Banyak yang meminta jasa saya di acara yadnya seperti pernikahan, Rsi Gna, hingga acara-acara pemerintahan. Khususnya yang banyak itu di acara TNI dan kepolisian," jelasnya.
Ciri khas dari Jro Pasek saat menjalankan aksinya yakni, dengan menggambar telapak tangannya menggunakan media rokok yang menyala.
Baca juga: dr. Reisa Sebut Palebon Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung Contoh Adaptasi Kebiasaan Baru
Ia seakan-akan menggunakan rokok yang ia sedot, untuk menggambar sesuatu di telapak tangannya. Lalu menunjuk langit, seakan-akan menggerakkan awan.
" Kadang saya menggambar cakra di telapak tangan, terkadang juga trisula. Itu tergantung pawisik. Meskipun menggambarnya dengan api dari rokok, tidak pernah sekalipun tangan saya mengalami luka bakar," ungkapnya.
Ia pun menyadari apa yang dilakukannya itu diluar nalar.
Terkadang dirinya pun kerap menerima cemooh dari orang yang memiliki pemikiran serta keyakinan berbeda dengannya. Bahkan ada yang menyangsikannya sebagai pawang hujan, dan dianggap hanya mengada-ada.
" Sering juga orang mengatai, jika saya hanya muncul saat terang atau terik. Hal-hal seperti ini saya tidak tanggapi. Prinsip saya rwa bhineda itu selalu ada dan berdampingan," jelasnya.
Rwa bhineda yang ia maksud, yakni selalu ada perbedaan dalam hidup.