Berita Jembrana

Pahitnya Hidup Made Profil, Makan Nasi Aking, Putus Sekolah, Kini Jadi Pengusaha Properti Jembrana

Pahitnya hidup Made Profil, makan nasi aking, putus sekolah, kini jadi pengusaha properti Jembrana

Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Irma Budiarti
(Tribun Bali/I Made Ardhiangga).
Made Profil saat ditemui di kantornya, Kabupaten Jembrana, Bali, Rabu 27 Oktober 2021. Pahitnya hidup Made Profil, makan nasi aking, putus sekolah, kini jadi pengusaha properti Jembrana. 

TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA - Pahitnya hidup Made Profil, makan nasi aking, putus sekolah, kini jadi pengusaha properti Jembrana.

I Kadek Pardana atau bisa dipanggil Made Profil merupakan pengusaha sukses di Kabupaten Jembrana, Bali. Bisnis propertinya merambah di wilayah Kabupaten Jembrana.

Sekitar 450 unit rumah atau perumahan bersubsidi dan komersil telah dibangunnya dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

Pria kelahiran tahun 1985 ini pun berangkat dari titik terendah dalam memulai bisnisnya.

Made Profil mengatakan, dahulunya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak kedua dari dua bersaudara, yang bertransmigrasi ke Kendari, Sulawesi Tenggara.

Baca juga: Profil Aipda Ambarita, Viral Paksa Periksa HP Warga Saat Patroli, Kini Dimutasi

Pahitnya kehidupan sebagai transmigran pun ia alami. Terombang-ambing di sungai Sulawesi yang besar dengan hanya memakan nasi sengauk atau nasi aking pernah ia alami.

Tapi hal itulah yang kemudian membuatnya bangkit, semacam “vaksin” bagi kehidupannya saat ini.

“Dulu saya dari kecil sampai SMP transmigrasi ke Sulawesi. Wah pokoknya berat di sana. Di sana kami sekeluarga dengan bapak ibu dan kakak, membeli tanah. Tapi banyak kendala.

Bahkan sampai pernah harus pindah dan naik kapal motor di sungai berhari-hari. Karena tidak ada makanan, makan sengauk nasi aking itu,” ucapnya, Rabu 27 Oktober 2021 saat ditemui di kantornya.

Made Profil mengaku, setelah dari Sulawesi, ia pun kembali ke Bali. Sekitar kelas 2 SMP. Pada masa SMP kejadian pahit pun ia alami.

Ia harus putus sekolah karena tidak ada biaya. Apalagi dirinya hanya tinggal di kampung yang jauh dari sekolah.

Ketika semua temannya sudah membawa kendaraan bermotor, ia hanya berjalan kaki. Kalau pun ada teman untuk nebeng, paling tidak itu hanya sehari.

Hari berikutnya, ia tidak lagi mendapat tumpangan karena orangtua temannya tidak memperbolehkan.

“Ya mungkin saat itu orangtua teman berpikir bahwa saya tidak memberikan dampak apapun (membelikan bensin).

Atau kalau motor rusak ya gak bisa bantu. Jadi ya ekonomi sangat sulit. Saya putus sekolah waktu SMP,” ungkapnya.

Baca juga: Kisah Pengusaha Martabak Sultan yang Berumur 18 Tahun, Beromzet hingga Rp 100 Juta per Bulan

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved