Berita Denpasar

Anak-Anak Penjual Tisu di Lampu Merah Denpasar Kian Bertambah, Cok Ace: Akan Jadi Apa Mereka Nanti

"Saya kira ini menjadi persoalan yang harus kita tangani. Kita tidak bisa membayangkan akan menjadi apa mereka nanti

Ilustrasi: Tribun Bali/Dwi Suputra
Ilustrasi anak-anak penjual tisu di jalanan Denpasar. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Ni Luh Putu Wahyuni Sri Utami 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Anak-anak penjual asongan di beberapa titik Kota Denpasar kian menjamur.

Mengenai hal tersebut, Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau yang akrab disapa Cok Ace angkat bicara.

Banyak anak anak di jalanan berjualan, khususnya di masa Covid-19 ini jumlahnya meningkat. 

"Saya kira ini menjadi persoalan yang harus kita tangani. Kita tidak bisa membayangkan akan menjadi apa mereka nanti, pengamatan saya di Sanur, usianya masih di bawah 5 tahun, ditelantarkan oleh ibunya di bawah pohon menjual tisu, saya berusaha mendekati tapi menghindar," kata dia pada, Kamis 28 Oktober 2021. 

Baca juga: Cerita Penjual Tisu di Lampu Merah Denpasar, Dadi: Cari Seribuan Biar Bisa Makan

Cok Ace juga memprediksi jumlah anak-anak tersebut di Kota Denpasar yang kurang lebih berjumlah 1.000 orang.

Menurutnya jika semua peduli, persoalan ini bisa diatasi. Persoalannya yakni, ketika didekati, mereka menghindar. 

"Saya tidak bisa mencari jalan yang berlawanan arah, coba kita betul-betul tangani, apa sebenarnya masalah mereka, apakah ada yang menggerakkan mereka di belakang, yang menjadikan meraka pengemis dan lain sebagainya," tambahnya. 

Ia pun sangat menyayangkan hal tersebut. Karena mereka sangat potensial, terlihat dari matanya mereka merupakan orang-orang cerdas sebenarnya.

Baca juga: Pengasong Cilik Penjual Tisu Itu Menangis Saat Diamankan Satpol PP Denpasar

Tapi karena kondisi atau mungkin tekanan, menyebebkan mereka harus mengemis dan menjual tisu. 

"Saya kira ini PR (pekerjaan rumah) yang tidak bisa dibiarkan, dan saya yakin teman teman-teman yang mungkin penghasilannya cukup, jangan diartikan mereka sebagai pembantu, ini yang sering juga membias di masyarakat, dijadikan pembantu," terangnya. 

Selain itu angka pendidikan anak-anak khususnya di Bali masih sekitar sekian tahun, artinya rata-rata mereka tidak lulus SMP. Ini menjadi persoalan.

Terlebih sekolah sudah digratiskan, kenapa kesempatan sampai SMP pun mereka tidak berkesempatan sekolah?

"Saya dulu pernah di Gianyar, saya telusuri, ternyata peran orangtua sangat besar, orang tuanya masih mempunyai pemikiran paradigma lama, jadi diarahkan mereka untuk bekerja bantu orangtua, cari makan sapi, ngecat toko," sebutnya. 

Ini akan menjadi hal yang menyedihkan sekali, harusnya anak-anak menggunakan masa anak-anak untuk belajar, karena usia mereka masih usia belajar, mereka belum waktunya untuk mengimplementasikan palajrannya untuk pekerjaan. 

"Ini yang saya titipkan kepada teman-teman semua, dalam pengurusan beberapa tahun ke depan, kedua PR ini, kalaupun tidak bisa diselesaikan 100 persen, setidaknya tidak seperti sekarang, saya lihat di perempatan makin bertambah," keluhnya. (*)

Berita lainnya di Berita Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved