Berita Denpasar

Ngerebong di Kesiman Denpasar Berlangsung di Bawah Hujan Gerimis, Puluhan Orang Kerauhan

Proses ngerebong ini dimulai pada pukul 16.00 Wita dan puluhan orang baik lelaki maupun perempuan kerauhan.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Putu Supartika
Seorang perempuan kerauhan dalam tradisi Ngerebong di Desa Adat Kesiman, Denpasar, Bali, Minggu 28 November 2021 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Prosesi ngerebong yang digelar di Pura Petilan Pangerebongan, Kesiman, Denpasar berjalan lancar meski digelar di tengah pandemi Covid-19.

Prosesi ini digelar pada Minggu, 28 November 2021 yang dihadiri langsung oleh Gubernur Bali, Wayan Koster dan Wakil Wali Kota Denpasar, I Kadek Agus Arya Wibawa.

Proses ngerebong ini dimulai pada pukul 16.00 Wita dan puluhan orang baik lelaki maupun perempuan kerauhan.

Mereka berteriak histeris, meronta, dan melompat-lompat.

Baca juga: Peserta Ngerebong di Kesiman Denpasar Wajib Vaksin Dua Kali, Bendesa: Kami Tidak Berani Ngubeng

Para pengabih yang berjumlah dua orang atau lebih memegang punggung mereka yang kerauhan.

Dalam prosesi ini, puluhan tapakan Ida Bhatara yang terdiri atas barong dan rangda ikut dalam prosesi ini.

Acara ini digelar dengan mengitari wantilan di madya mandala sebanyak tiga kali dengan arah berlawanan jarum jam.

Beberapa pengayah membawa keris dan pengayah lain membawa sarung keris.

Ketika putaran sampai di depan pintu masuk utama mandala mereka yang kerauhan utamanya yang lelaki akan berteriak lalu meminta keris.

Setelah keris diserahkan mereka akan menusuk bagian dada, maupun leher mereka sekuat-kuatnya.

Bahkan, tak hanya laki-laki, perempuan yang kerauhan juga ikut menusuk tubuhnya dengan keris.

Tradisi ini digelar setiap enam bulan sekali tepatnya pada Radite Pon Medangsia.

Bendesa Adat Kesiman, I Ketut Wisna mengatakan jika pihaknya tak berani meniadakan prosesi ini atau melaksanakannya dengan jalan ngubeng.

“Kami tidak berani melaksanakannya dengan ngubeng, karena pengalaman sebelumnya tidak dilaksanakan, ada pemangku yang kerauhan di rumah masing-masing secara berbarengan dan ada juga yang kerauhan di pura,” katanya.

Baca juga: Tradisi Ngerebong di Kesiman Denpasar Digelar 1 Jam Lebih Awal, Puluhan Orang Kerauhan

Sehingga secara pelaksanaan, pengerebongan ini akan digelar sebagaimana mestinya.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan.

“Kami dari prajuru desa, bagi yang belum vaksin 2 kali sangat dilarang ikut prosesi ini. Dan untuk pemedek yang tangkil ke pura juga dibagi-bagi untuk menghindari adanya kerumunan,” kata Wisna.

Terkait dengan vaksin dua kali ini, pihaknya mengaku sudah melakukan komunikasi dengan prajuru di masing-masing banjar.

Pihaknya menambahkan, hampir semua warga Desa Adat Kesiman sudah mengikuti vaksinasi sebanyak dua kali.

Bahkan, pihaknya juga menyiapkan masker bagi pemedek yang datang tidak memakai masker akan diberikan masker.

Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara mengatakan ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.

“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah senter upacara tempat upacara besar di kesmiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.

Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan.

Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesusksesan.

Baca juga: Seorang Wanita Disekap Pasangan Prianya di Kamar Kos, Diduga Dilecehkan dengan Dijanjikan Uang

Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle.

Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditakklukkan.

“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelasnya.

Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari.

Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.

“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum ada adu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” katanya.

Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.

Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman.

Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.

Tahun 1937 pengerebongan kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun.

Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.

Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni ngerebong.

Tahun 2018 kemarin tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda.

Dengan dijadikannya ngerebong ini warisan budaya tak benda, Anom berharap inti dari ngerebong tidak hilang.

“Kalau pendukung mungkin akan berkembang sesuai level pemahaman manusia. Semakin tinggi budaya semakin tinggi juga pemaknaannya, yang penting intinya tidak hilang,” katanya. (*)

Artikel lainnya di Berita Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved