Berita Denpasar
Sucikan Roh Bayi yang Meninggal dalam Kandungan, Upacara Warak Kruron Digelar di Pantai Padang Galak
Lebih dari 50 orang datang ke pantai Padang Galak, untuk mengikuti prosesi upacara yang diselenggarakan hingga pukul 10.30 WITA
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sejak pukul 05.00 WITA, peserta yang akan mengikuti prosesi upacara warak kruron mendatangi pantai Padang Galak, Denpasar.
Lebih dari 50 orang datang ke pantai Padang Galak, untuk mengikuti prosesi upacara yang diselenggarakan hingga pukul 10.30 WITA.
Upacara pun berlangsung labda karya sukses tanpa hambatan seperti hujan dan lain sebagainya.
Satu diantara peserta adalah Sariningsih, asal Karangasem.
Baca juga: Hasil Pemeriksaan Luar PSK Tewas di Eks Lokalisasi Padang Galak, Tidak Ditemukan Luka-luka
Wanita ini telah mengalami keguguran, dan belum sempat mengupacarai janinnya dengan layak.
Namun kini ia merasa lega, setelah mengikuti prosesi upacara warak kruron ini. Karena semuanya telah diupacarai dengan baik dan benar.
Warak kruron, adalah salah satu bagian dari upacara Pitra Yadnya yang dikenal selama ini oleh umat Hindu di Bali.
Upacara warak kruron, adalah upacara bagi ibu yang pernah keguguran.
Sedangkan upacara ngelangkir adalah upacara bagi bayi yang meninggal dalam kandungan sampai sebelum lepas udel (kepus pusar).
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, menjelaskan bahwa upacara ini penting dilakukan.
Sebab bayi yang telah ada dalam kandungan, sejatinya telah memiliki roh.
Dan tatkala bayi tersebut meninggal, baik sengaja maupun tidak sengaja. Maka seharusnya diupacarai dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama Hindu di Bali.
Tujuannya agar roh tersebut bisa tenang, dan kembali ke jalanNya. Sebab bila tidak diupacarai dengan patut, maka akan menyebabkan roh tersebut menjadi bhuta cuil atau roh gentayangan dan mengganggu si ibu serta keluarga tersebut.
“Warak kruron, berasal dari kata kluron atau kruron yang artinya keguguran. Kemudian warak kruron adalah penyebutan bagi si ibu yang keguguran. Sehingga si ibu tersebut yang juga perlu diupacarai,” sebut beliau kepada Tribun Bali, Minggu, 19 Desember 2021.
Baca juga: ODGJ Mengamuk di Padangsambian Denpasar Diamankan Satpol PP Kota Denpasar Saat Sidak Masker
Sebab, kata beliau, ibu yang keguguran walau belum pernah melahirkan tetapi telah mengeluarkan darah. Dan darah ini menjadi sesuatu yang cuntaka atau kotor secara niskala.
“Maka ketika keguguran, sang ibu terkena cuntaka,” jelas pensiunan dosen Unhi ini.
Untuk itu, upacara warak kruron ini ditujukan bagi sang ibu yang keguguran.
Guna membersihkan si ibu, sehingga nantinya sang ibu tidak akan merasa terbebani lagi. Karena dia itu pernah mengandung, namun keluar darah dan keguguran.
Hal ini penting agar si ibu dan roh si anak yang meninggal sama-sama menemukan kedamaian, walaupun mereka berada di alam yang berbeda.
Untuk itu, sebagai upaya membantu umat dalam prosesi warak kruron. Yayasan Pasraman Bhuwana Dharma Shanti, di Sesetan, menyelenggarakan upacara warak kruron, ngelangkir, dan ngelungah.
“Dengan adanya banyak permintaan untuk upacara warak kruron, ngelangkir, dan ngelungah ini. Kami dari Yayasan Pasraman Bhuwana Dharma Shanti, Sesetan, akan melaksanakan upacara warak kruron, ngelangkir, dan ngelungah yang ke-4 kalinya,” sebut beliau.
Upacara ini akan dilangsungkan pada Minggu 19 Desember 2021, pukul 05.00 WITA hingga selesai. Tempatnya adalah di pantai Padang Galak.
Upacara akan langsung dipuput oleh ida sulinggih, dengan sarana upakara bebantenan yang sesuai dengan upacara warak kruron, ngelangkir, dan ngelungah tersebut.
Peserta yang ingin ikut, hanya perlu menghaturkan punia upacara (biaya) Rp 750 ribu per sawa.
Baca juga: Mural di Tukad Badung Divandal, Kabid PUPR Denpasar: Saya Baru Tahu Perihal Itu
Biaya ini sudah termasuk jatah makan bagi dua orang per satu sawa.
Selain warak kruron, ada pula rangkaian upacara ngelangkir. Yaitu upacara bagi bayi yang telah berada di dalam kandungan, yang masih dalam bentuk darah atau belum dalam bentuk janin namun telah tiada.
“Sebab begitu tatkala seorang ibu dinyatakan positif hamil, maka dia sudah mengandung anak, yang berarti sang atma sudah berada di sana. Walaupun anak tersebut masih dalam bentuk darah,” jelas mantan jurnalis ini.
Oleh sebabnya, dipercayai bahwa sang atma sudah berada di dalam perut si ibu. Sampai dengan lahir, dan sebelum lepas tali pusar (udel), maka itu sudah dianggap hidup.
“Konsep zaman dahulu memang ada yang percaya tidak perlu diupacarai, karena bayi ini dianggap sebagai dewa,” kata beliau.
Kemudian apabila meninggal sebelum bayi tersebut kepus puser (udel), maka keluarga dan orang tua si bayi dianggap tidak kasebelan.
Akhirnya kala itu banten pun tidak ada, karena dianggap tidak cuntaka. Biasanya bayi yang lahir sebelum kepus puser, maka bayi tersebut dikubur saja tanpa menggunakan upacara dan upakara yang lengkap layaknya ngaben.
“Tetapi seiring perkembangan zaman, dan dewasa ini banyak terjadi hal-hal yang tidak kita ketahui,” sebut beliau.
Antara lain ketika seorang ibu melahirkan dan anaknya meninggal, atau keguguran sebelum melahirkan.
“Percaya atau tidak, terjadi hal yang aneh. Ada yang sakit, ada yang usahanya selalu hancur, dan cekcok. Intinya semua tidak damai dalam hidupnya,” tegas beliau.
Kisah ini pun banyak beliau dapatkan dari pamedek yang hadir ke gria.
Untuk itu, beliau berinisiatif membantu dengan menggelar upacara warak kruron, lengkap dengan sarana upakaranya.
Sehingga peserta bisa langsung datang dan mengikuti ritual upacaranya, tanpa harus ikut sibuk memikirkan sarana bebantenannya.
Upacara ini diperuntukkan bagi si ibu yang masih hidup, dan sang bayi yang telah meninggal tersebut.
“Upacara warak kruron adalah upacara pembersihan bagi si ibu. Walaupun ibu tersebut, hanya hamil beberapa minggu saja lalu keguguran. Tetap harus dilaksanakan upacara pembersihan ini,” tegas beliau.
Kemudian untuk upacara pembersihan si bayi, dilakukan dengan ngelangkir.
Untuk ngelungah, kata beliau, adalah upacara bagi bayi yang lahir dan telah kepus puser hingga sebelum ketus gigi lalu meninggal. Untuk ngelungah dan ngelangkir, tidak perlu ada upacara ngalinggihang.
“Sebab yang harus dilakukan adalah upacara inisiasi pembersihan saja, dan dibakar lalu dibuang ke laut,” ujar beliau. Kecuali ngaben bagi orang dewasa, baru perlu ngalinggihang setelah upacara ngaben dan mamukur.
Tak perlu ngelinggihang ini, jelas ida, karena sang bayi masih dalam tatanan konsep dewata. Bak kertas putih kosong yang masih suci, belum terkena dosa.
“Dianggap sebagai dewa, sehingga tidak perlu lagi ngalinggihang,” jelas beliau.
Untuk itu, bagi peserta yang hendak mengikuti upacara warak kruron, ngelangkir, dan ngelungah ini. Hanya perlu membawa diri dan tirta dari kamulan (rong tiga) di rumahnya. (*)
Artikel lainnya di Serba Serbi