Serba serbi

Ngereh dan Kerauhan, Mengapa Penting Dilakukan Dalam Hindu di Bali

Ngerehang juga berarti memohon roh suci, untuk tetap bersemayam pada perwujudan barong dan rangda.

istdoc pribadi Mang Mega
Ilustrasi - Beberapa barong sesuhunan Desa Pakraman Mas, Ubud, Gianyar. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banyak yang bertanya-tanya, mengapa prosesi ngereh harus dilakukan di Bali.

Reh dalam kamus Bahasa Bali, memiliki beberapa arti. Reh berarti karena, sebab, oleh karena. Reh juga bisa berarti perintah. 

Kemudian untuk ngereh, bisa berarti mengucapkan mantra ilmu hitam untuk berubah wujud.

Namun yang ngereh yang dimaksud, jika dalam konteks sakralisasi palawatan atau patapakan ida bhatara, maka memiliki arti yang berbeda. 

Ngerehang juga berarti memohon roh suci, untuk tetap bersemayam pada perwujudan barong dan rangda. Khusus untuk memohon roh suci inilah, yang kerap dilakukan dalam prosesi ngereh untuk palawatan atau patapakan ida bhatara. 

Ada beberapa lontar yang menjelaskan tentang ngereh, seperti lontar Canting Mas, Widhi Sastra, Ganapati Tattwa dan lontar lainnya. Lontar-lontar ini menjelaskan mengenai ngereh dan kerauhan dalam persefektif yang lebih luas.

Tidak hanya terkait dengan hal mistis saja. 

Baca juga: Prosesi Ngereh dan Sakralisasinya dalam Hindu di Bali

Komang Gases menjelaskan, bahwa ngereh adalah prosesi ritual mistik yang dilakukan di kuburan pada tengah malam. "Itu fungsinya untuk mendapatkan keheningan dan kesucian pikiran," jelasnya beberapa waktu lalu dalam program Bali Sekala-Niskala. 

Ngereh sendiri, kata dosen UPMI ini, adalah proses sakralisasi dari patapakan atau palawatan ida bhatara baik itu berupa rangda atau barong. Walaupun ngereh adalah tahapan akhir, namun ngereh ini bisa dilakukan berkali-kali. 

"Sama layaknya orang sekolah, berproses untuk semakin bisa menuju ke jenjang lebih tinggi," ujarnya.

Begitu juga ngereh yang dilakukan berkali-kali, adalah bertujuan untuk kian memantapkan dan menaikkan status dari ida bhatara-bhatari itu sendiri. 

Ngereh ini bisa dilakukan atas permintaan beliau (ida bhatara), atau atas dasar pertimbangan dari masyarakat yang menyungsung beliau. Tentunya semua atas seizin beliau, sehingga segala prosesnya berjalan baik dan benar. 

Ngereh pada dasarnya adalah simbolisasi kumpulan-kumpulan aksara suci. Baik yang terdapat dalam aksara Swalalita maupun aksara Mudra. Semua itu dirangkum menjadi satu, sehingga menjadi kalimusada dan kalimusadi, yang biasanya dipakai untuk Surya Sewana. 

Kemudian dari kalimusada dan kalimusadi inilah, muncul dwijaksara yang diakulturasikan menjadi Panca Aksara.

Lalu menjadi Tri Aksara, Dwi Aksara dan akhirnya menjadi Eka Aksara. Lalu kaitan dengan ngereh sendiri, adalah bertujuan menghidupkan kekuatan Isra Dewata atau lingga beliau yang sesuai dengan fungsinya. 

Khususnya menghidupkan benda-benda yang dibuat oleh manusia. "Sehingga kemudian patapakan tersebut yang disungsung oleh masyarakatnya, disucikan dan dijadikan panutan untuk melindungi masyarakat di suatu wilayah," jelasnya. 

Ngereh yang dilakukan di setra atau kuburan pada tengah malam, dalam suasana hening dan tenang. Juga memberikan tantangan tersendiri, khususnya bagi pakudan atau pamundut (orang yang akan memakai atau menarikan patapakan).

Dosen bernama asli Komang Indra Wirawan ini, menjelaskan bahwa dibutuhkan hati dan raga yang bersih agar beliau mau berstana dan dipundut oleh si pakudan. 

Setelah proses ngereh dianggap berhasil, maka muncul ciri apapun yang secara gaib dan mistis memang di luar akal sehat. Seperti terkadang ada muncul api, cahaya, dan lain sebagainya. Sebagai tanda kehadiran beliau, atas anugerah Dewi Durga yang berstana di Pura Dalem. 

"Namun jangan langsung dilepas begitu ada yang kerauhan, harus ditanyakan dahulu siapa yang hadir di sana. Sebelum itu pemangku harus menghaturkan banten terlebih dahulu," tegasnya. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kecelakaan, atau hal yang tidak diinginkan tatkala terjadi kerauhan

Apalagi belakangan banyak fenomena kecelakaan saat kerauhan, seperti tertusuk keris dan sebagainya sampai meninggal dunia. "Nah setelah dihaturkan banten, lalu beliau sudah menyebutkan nama beliau melalui pakudan. Baru boleh dilepas," ujarnya. 

Tatkala itu, percaya tidak percaya kekuatan super akan terlihat. Bahkan tak jarang, patapakan ida bhatara berupa barong atau rangda berlari cukup jauh, tanpa alas kaki. Anehnya lagi terkadang yang mundut adalah pemangku atau pakudan lingsir (tua). Yang rasanya tidak mungkin bisa berlari jauh dengan beban berat dibadannya. 

Komang Gases mengingatkan, jangan pernah bermain-main dengan hal sakral di Bali. Khususnya saat proses ngereh atau kerauhan ini. Sebab berpotensi kecelakaan bagi yang tidak paham. Mengingat dalam prosesi itu, ada yang menusuk keris dan sebagainya. Untuk itu, penjagaan dari prajuru adat sangat penting dilakukan. 

Seperti saat ada yang kerauhan, jangan dibiarkan liar harus dijaga. "Kerauhan pun ada tempatnya, tidak disembarang tempat," tegasnya. Apabila seseorang nampak seperti kerauhan tetapi tidak diarea suci, semisal di warung kopi dan sebagainya maka bisa dikatakan orang tersebut kerangsukan atau kesurupan.

"Seperti misal di sekolah ada anak yang tiba-tiba teriak tanpa sadar, atau setengah pingsan. Bisa jadi dia kesurupan dan itu bermain ditataran psikisnya dia," jelasnya. Sementara kerangsukan juga kadang terjadi karena orang memasukkan sesuatu dalam tubuhnya. Seperti susuk dan lain sebagainya, untuk menambah kecantikan atau kekuatan dirinya. 

"Namun hati-hati barang yang dipasupati dimasukkan ke dalam tubuh, lambat laun akan memengaruhi tubuh kita. Kalau tidak kuat maka ini akan menguasai tubuh kita," tegasnya. Bahkan hal seperti itu pula, bisa menjadi kekuatan negatif atau yang dikenal dengan istilah pangleakan pangiwa di Bali. 

Untuk itu, lebih dalam kesulitan apapun tetap berserah diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta manifestasi beliau. Komang Gases juga mengingatkan, agar pakudan atau pamundut ida bhatara tidak jumawa. Tidak menepuk dada dan merasa dirinya hebat. Harus tetap rendah hati, apalagi yang disungsung adalah hal suci dan sakral. 

Kerauhan pun demikian, harus tetap dijaga agar tidak terjadi kecelakaan. Namun apabila di suatu wilayah, memang tidak pernah dan jarang ada proses kerauhan dalam upacara agama. "Maka hal itu (kerauhan) jangan dipaksakan," ujar pria asli Sesetan, Denpasar ini. 

Mengapa demikian? sebab kerauhan adalah prosesi suci yang menjadi bukti kedatangan beliau. Kerauhan pula menjadi sugesti bagi umat, bahwa upacara yadnya yang telah dilakukan berjalan lancar dan tuntas. "Namun jika suatu wilayah tidak ada sima atau dresta kerauhan ya jangan dipaksa," katanya.

Intinya adalah selama semuanya ikhlas, maka upacara yadnya apapun akan diterima olehNya. Sebab dasar dari yadnya itu adalah pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas.

Kerauhan adalah berfungsi mempertebal keimanan, dan kepercayaan akan kehadiran beliau.

"Dan perlu diketahui bahwa orang yang kerauhan itu sadar, namun tidak bisa mengendalikan diri sesaat karena raganya dipinjam oleh beliau," imbuhnya. Untuk itu, prosesi ngereh dan kerauhan adalah proses sakral yang sangat penting dalam kehidupan beragama umat Hindu di Bali. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved