Serba serbi

Komang Gases: Kerauhan Berbeda dengan Kesurupan dan Kerasukan

Fenomena kerauhan di Bali, memang menjadi bagian sakral di dalam ritual upacara yang kerap dilakukan umat Hindu.

Tribun Bali/Rizal Fanany
Pamedek dalam keadaan kerahuan menghujamkan keris ke tubuhnya saat mengikuti prosesi Upacara Pengerebongan di Pura Dalem Petilan, Kesiman, Denpasar, Bali, Minggu 2 Mei 2021. Upacara Pengerebongan merupakan ritual yang diwarnai kerauhan massal yang bertujuan untuk penyucian alam dan menetralisasi kekuatan negatif sekaligus menciptakan keharmonisan. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Fenomena kerauhan di Bali, memang menjadi bagian sakral di dalam ritual upacara yang kerap dilakukan umat Hindu.

Kerauhan berasal dari kata rauh, yang berarti datang. Sehingga kerauhan secara sederhana, diartikan sebagai kedatangan dari ida bhatara-bhatari, atau sesuhunan dewa-dewi sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. 

Komang Gases, praktisi seni dan budaya menjelaskan bahwa fenomena kerauhan sudah ada sejak lama dan turun-temurun di Bali.

"Kerauhan menjadi penting untuk mempertebal keyakinan kita, sebagai umat Hindu bahwa kehadiran beliau memberi karunia atas apa yang kita haturkan," jelasnya dalam program Bali Sekala-Niskala, Tribun Bali. 

Baca juga: Ngereh dan Kerauhan, Mengapa Penting Dilakukan Dalam Hindu di Bali

Namun, dosen FKIP UPMI ini mengingatkan bahwa fenomena kerauhan tidak harus dan tidak wajib ada.

Sebab tatkala semua orang ikhlas, di dalam menghaturkan berbagai upacara dan upakara yadnya. Maka sejatinya hal tersebut adalah yang paling utama.

"Jadi jangan sampai dianggap bahwa jika tidak kerauhan, karya atau upacara itu tidak berhasil," tegasnya. 

Pria dengan nama asli Komang Indra Wirawan ini, juga mengingatkan bahwa kerauhan harus dibedakan dengan kesurupan dan kerasukan.

Jika kerauhan adalah konteksnya dengan kehadiran sesuatu yang suci. Kemudian terjadinya di lokasi yang suci, dengan sarana upakara yang suci. Maka dipastikan hal tersebut adalah kerauhan. 

Berbeda dengan kesurupan, yang biasanya terjadi tanpa sarana upakara dan terjadinya tidak di tempat suci.

"Ini biasanya bermain ditataran psikis seseorang. Semisal anak-anak yang kepikiran karena mau ujian, takut tidak lulus dan sebagainya," jelasnya. Sehingga jangan sampai, semuanya disamakan dengan kerauhan

Kemudian untuk kerangsukan, kata dia, lebih kepada memasukkan barang yang dipasupati ke dalam diri.

Seperti halnya susuk untuk mempercantik diri, dan lain sebagainya. Bahkan penglaris, dan alat-alat yang membuat kebal juga termasuk pengrangsuk.

"Namun hati-hati, apabila diri dan iman kita tidak kuat, lalu memasukkan hal demikian ke dalam diri. Lama-lama malah bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti menjadi pangiwa," tegasnya. 

Baca juga: Pasca Ngubeng 2 Kali Banyak Pemangku yang Kerauhan, Tradisi Ngerebong Digelar Kembali dengan Prokes

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved