Serba serbi
Komang Gases: Kerauhan Berbeda dengan Kesurupan dan Kerasukan
Fenomena kerauhan di Bali, memang menjadi bagian sakral di dalam ritual upacara yang kerap dilakukan umat Hindu.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Fenomena kerauhan di Bali, memang menjadi bagian sakral di dalam ritual upacara yang kerap dilakukan umat Hindu.
Kerauhan berasal dari kata rauh, yang berarti datang. Sehingga kerauhan secara sederhana, diartikan sebagai kedatangan dari ida bhatara-bhatari, atau sesuhunan dewa-dewi sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
Komang Gases, praktisi seni dan budaya menjelaskan bahwa fenomena kerauhan sudah ada sejak lama dan turun-temurun di Bali.
"Kerauhan menjadi penting untuk mempertebal keyakinan kita, sebagai umat Hindu bahwa kehadiran beliau memberi karunia atas apa yang kita haturkan," jelasnya dalam program Bali Sekala-Niskala, Tribun Bali.
Baca juga: Ngereh dan Kerauhan, Mengapa Penting Dilakukan Dalam Hindu di Bali
Namun, dosen FKIP UPMI ini mengingatkan bahwa fenomena kerauhan tidak harus dan tidak wajib ada.
Sebab tatkala semua orang ikhlas, di dalam menghaturkan berbagai upacara dan upakara yadnya. Maka sejatinya hal tersebut adalah yang paling utama.
"Jadi jangan sampai dianggap bahwa jika tidak kerauhan, karya atau upacara itu tidak berhasil," tegasnya.
Pria dengan nama asli Komang Indra Wirawan ini, juga mengingatkan bahwa kerauhan harus dibedakan dengan kesurupan dan kerasukan.
Jika kerauhan adalah konteksnya dengan kehadiran sesuatu yang suci. Kemudian terjadinya di lokasi yang suci, dengan sarana upakara yang suci. Maka dipastikan hal tersebut adalah kerauhan.
Berbeda dengan kesurupan, yang biasanya terjadi tanpa sarana upakara dan terjadinya tidak di tempat suci.
"Ini biasanya bermain ditataran psikis seseorang. Semisal anak-anak yang kepikiran karena mau ujian, takut tidak lulus dan sebagainya," jelasnya. Sehingga jangan sampai, semuanya disamakan dengan kerauhan.
Kemudian untuk kerangsukan, kata dia, lebih kepada memasukkan barang yang dipasupati ke dalam diri.
Seperti halnya susuk untuk mempercantik diri, dan lain sebagainya. Bahkan penglaris, dan alat-alat yang membuat kebal juga termasuk pengrangsuk.
"Namun hati-hati, apabila diri dan iman kita tidak kuat, lalu memasukkan hal demikian ke dalam diri. Lama-lama malah bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti menjadi pangiwa," tegasnya.
Baca juga: Pasca Ngubeng 2 Kali Banyak Pemangku yang Kerauhan, Tradisi Ngerebong Digelar Kembali dengan Prokes