Hari Perempuan Sedunia

Hari Perempuan Sedunia, 6 Poin Tuntutan Keadilan Gender dan Keadilan Ekonomi oleh Aksi! For Justice

Negara sampai hari ini belum memiliki hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual; justru diskriminasi serin

Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/Noviana Windri
Hari Perempuan Sedunia, Aksi! For Justice menggelar Konsultasi Nasional Perempuan pada 6-7 Maret 2022, serta Seminar Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2022 di Grand Istana Rama Hotel, Jl. Pantai Kuta, Bali. 

TRIBUN-BALI.COM - Bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia, Aksi! For Justice menggelar Konsultasi Nasional Perempuan pada 6-7 Maret 2022, serta Seminar Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2022 di Grand Istana Rama Hotel, Jl. Pantai Kuta, Bali.

Dihadiri sebanyak 45 perempuan dari berbagai latar belakang di 10 wilayah/daerah di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Jakarta, Purwokerto-Jawa Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua, melakukan Konsultasi Nasional untuk merumuskan agenda desakan perempuan atas situasi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang dialami 320 perempuan dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, transpuan, perempuan disabilitas, perempuan penyintas bencana dan perempuan marginal lainnya.

Sampai hari ini, negara dan non negara terus mengabaikan hak-hak perempuan, terutama perempuan miskin, seperti hak atas pendidikan yang layak, jaminan perlindungan kesehatan dan kesehatan reproduksi perempuan, akses ekonomi dan pengakuan kerja perempuan, terutama perempuan pekerja rumahan dan pekerja informal lainnya, dan atas lingkungan yang sehat dan baik, dan perlindungan akses perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Selain itu hak perempuan atas informasi, hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan diabaikan.

Para perempuan tidak dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan dan persetujuan berkaitan kebijakan dan proyek/program pembangunan yang merusak lingkungan, menggusur, merampas tanah dan sumber kehidupan dan penghidupan perempuan, seperti proyek reklamasi, privatisasi pulau-pulau kecil, proyek perkebunan sawit dan tebu skala besar, proyek pulp dan paper, proyek food estate, proyek tambang semen.

Baca juga: Hari Perempuan Sedunia, Ini 10 Provinsi Dengan Kekerasan Pada Perempuan Terbanyak

Baca juga: Selamat Hari Perempuan Sedunia atau International Womens Day 2022, Berikut Sejarah dan Temanya

Proyek-proyek tersebut menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lingkungan sumber daya alamnya.

Dengan demikian kebutuhan, kepentingan dan inisiatif perempuan dalam pembangunan menjadi tidak ada.

Begitupun, pengabaian hak perempuan korban kekerasan seksual dan hak perempuan penyintas bencana.

Negara sampai hari ini belum memiliki hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual; justru diskriminasi sering dialami perempuan korban kekerasan seksual.

“Fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual atau KDRT juga belum menjadi agenda utama Negara dalam menjamin perlindungan perempuan korban”, ungkap Ibu Ketut – Forum Puspa BALI

Selain itu perempuan miskin mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan administrasi negara Situasi ini diperparah dengan kondisi perubahan iklim.

Bencana iklim, seperti banjir, banjir rob, abrasi, siklon seroja, kekeringan, dan lainnya, semakin menambah beban perempuan dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan komunitasnya.

Sayangnya, pemerintah merespon perubahan iklim dengan proyek-proyek mitigasi yang tidak memperhatikan hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan dan kondisi sosial yang dihadapi perempuan.

Pun kebijakan pemerintah dalam merespon perubahan iklim belum responsif gender, baik kebijakan mitigasi maupun adaptasi.

Misalnya proyek PLTA, pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang mencemari air dan tanah, merampas sumberdaya air, menghilangkan sumber mata pencaharian/ekonomi perempuan, dan sumber pangan, telah menambah
rantai pemiskinan perempuan. Sementara, pandangan dan inisiatif perempuan merespon perubahan iklim belum diakui oleh pemerintah.

Pandemic COVID 19 yang terjadi sejak 2020, semakin memperburuk situasi ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal (nelayan, pedagang kaki lima, petani, usaha rumahan, dan lainnya).

Baca juga: 6 Arti Mimpi Tentang Anak Perempuan, Pertanda Keberuntungan Rezeki Berlimpah hingga Keberkahan!

Baca juga: Identitas Mayat Perempuan yang Ditemukan di Sungai Yeh Empas Tabanan, Sudah Pikun atau Linglung

Perempuan terus berupaya mengembangkan inisiatif usaha ekonomi untuk bertahan di masa pandemic.

“Masa pandemic sangat sulit bagi kami pekerja informal. Pendapatan menurun, tapi subsidi pemerintah pun kami tidak dapat” Cerita Ibu Muh perwakilan Jakarta.

Wajah ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi perempuan yang dipaparkan di atas merupakan kegagalan negara dalam pembangunan yang lebih mementingkan kepentingan modal ketimbang kepentingan rakyatnya, termasuk perempuan.

”Negosiasi-negosiasi G-20 semasa Indonesia presidency, tidak boleh mengabaikan suara-suara perempuan akar rumput. Usaha-usaha pemulihan ekonomi juga harus mendengar suara dan inisiatif mereka dengan memastikan perlindungan hak dan akses perempuan atas lingkungan dan sumber daya alamnya” ungkap Titi Soentoro – Direktur Eksekutif Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi.

Untuk itu, pada Hari Perempuan Internasional, Organisasi Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi bersama 22 organisasi1 dan perempuan komunitas dari 10 daerah di Indonesia, menuntut negara untuk:

1. Menjamin pelibatan penuh perempuan dengan ragam identitas, di dalam setiap tahapan proses pengambilan kebijakan maupun persetujuan terhadap proyek atau program pembangunan.

2. Menghentikan program dan atau proyek-proyek pembangunan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, merusak lingkungan hidup dan mengekploitasi sumber daya alam yang menggusur sumber kehidupan dan memiskinkan perempuan.

3. Menghentikan proyek-proyek respon perubahan iklim yang mengabaikan hak asasi manusia, mendahulukan proyek-proyek yang keberlanjutan lingkungan hidup, responsif gender dan berpihak pada perempuan.

4. Mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan dan eksploitasi SDA, serta mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan, termasuk meningkatkan kriminalisasi bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan.

5. Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembela HAM, serta menghentikan segala tindakan ancaman dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.

6. Menjamin perlindungan ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal, dengan menyediakan jaminan akses ketersediaan fasilitas, akses izin usaha bagi perempuan miskin, akses modal dan pasar untuk memperkuat ekonomi perempuan.

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved