Serba Serbi

Perayaan Pagerwesi di Buleleng Berbeda dengan Wilayah Lain, Ini Penjelasannya

Hari suci Pagerwesi yang jatuh pada hari Buda Kliwon Sinta ini, datangnya setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Sejumlah Krama Desa Adat Buleleng saat melaksanakan tradisi Memunjung di hari raya Pagerwesi . 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hari ini, Rabu 30 Maret 2022 adalah perayaan hari suci Pagerwesi.

Hari suci Pagerwesi yang jatuh pada hari Buda Kliwon Sinta ini, datangnya setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari.

Hari suci Buda Kliwon Sinta ini, adalah merupakan hari beryoganya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Pramesti Guru.

"Dalam ajaran Hindu dikenal Catur Guru, yang salah satunya adalah Guru Swadyaya yaitu Tuhan itu sendiri. Dan juga disebut guru alam semesta, yang menurunkan ajaran pengetahuan agama atau ajaran Veda (Weda)," sebut Jero Mangku Ketut Maliarsa, kepada Tribun Bali.

Baca juga: Makna Hari Suci Pagerwesi dan Upakaranya Dalam Hindu Bali

Sehubungan dengan itulah, hari suci Pagerwesi tidak lepas atau terkait erat dengan hari suci Saraswati sebagai hari turunnya Veda (Weda) dan ilmu pengetahuan.

Sebelum Pagerwesi, adalah hari suci Soma Ribek dan sehari sebelum hari suci Pagerwesi adalah hari suci Sabuh Emas.

"Umat Hindu meyakini dengan memperoleh ilmu pengetahuan, maka akan mampu memperoleh pangan yang baik dan halal pada hari suci Soma Ribek," ucap pensiunan kepala sekolah ini.

Kemudian untuk sandang didapatkan pada hari suci Sabuh Emas.

"Ini mengindikasikan bahwa umat Hindu harus kuat iman dan taqwa melaksanakan ajaran Veda atau ajaran kebenaran," tegasnya.

Maka setelah itu, dilanjutkan dengan peringatan hari suci Pagerwesi.

Ditilik dari kata hari suci ini, terdiri dari dua kata yaitu pager dan wesi. Pager artinya pagar  atau dalam bahasa Bali disebut pagehan yang juga berarti pembatas.

Kemudian kata wesi, artinya besi yaitu logam yang kuat/kokoh.

Hal ini menyimbolkan bahwa umat Hindu harus kuat membentengi atau memagari diri sehingga mencapai kekuatan optimal dalam menerapkan ajaran agamanya dan tidak tergoyahkan dari gangguan negatif apapun.

Namun pemangku asli Bon Dalem ini, menjelaskan bahwasanya memang ada perbedaan dalam perayaan Pagerwesi di Buleleng dan wilayah lain di Bali.

Baca juga: Tradisi Mamunjung Saat Pagerwesi di Desa Adat Buleleng Semakin Berkurang

Menurut kitab Manawa Dharma Sastra, kata dia, dalam agama Hindu belaku konsep sistem dan hukum agama yang berlandaskan Sruti atau ajaran yang diturunkan melalui pendengaran oleh Tuhan kepada orang-orang suci.

Kemudian Smerti atau ajaran yang turun melalui rasa serta hasil ingatan.

Sila yakni ajaran tingkah laku. Acara/upakara adalah tradisi yang berlaku. Serta Atmanastuti kepuasan yang diperoleh.

"Dari konsep itu juga dibarengi dengan adanya dresta yaitu  kebiasaan atau tradisi, seperti purwa dresta(kebiasaan yang berlaku dari zaman dulu), sastra dresta (kebiasaan berdasarkan petunjuk ajaran agama dari sumber sastra). Serta adanya desa dresta dan loka dresta (kebiasan yang berlaku pada suatu wilayah).

Maka dengan konsep inilah, yang akhirnya membedakan perayaan hari suci Pagerwesi antara daerah Buleleng dengan daerah lain. Yakni dengan adanya acara atau upacara yang sering disebut ritual.

Dalam pelaksanaannya di daerah Buleleng, Pagerwesi kemudian dilakukan seperti hari suci Galungan.

Bahkan bagi umat Hindu daerah Buleleng, hari suci Pagerwesi merupakan hari istimewa karena dipakai ajang bertemunya keluarga untuk berkumpul dan bersilaturahmi.

Persembahyangan tidak hanya dilakukan di pura kahyangan jagat, pura merajan, tetapi juga ada pelaksanaan ritual memunjung ke kuburan atau ke setra.

Khususnya jika ada keluarga yang meninggal namun belum diaben atau nyekah.

Maka wajib keluarga yang ditinggalkan melaksanakan ritual memunjung ini, sambil acara makan-makan bersama di kuburan.

Baca juga: Sembahyang Pagerwesi di Pura Jagatnatha, Didominasi Warga Buleleng yang Tinggal di Denpasar

"Hal itu kemudian menjadi sisi unik perayaan di Buleleng. Tetapi hal ini biasanya banyak dilakukan di perkotaan Singaraja," katanya.

Umat Hindu Buleleng meyakini bahwa hari suci Pagerwesi adalah otonan jagat, sama dengan hari suci Galungan.

Bahkan jatuhnya sama-sama pada Buda Kliwon. Sebab untuk Galungan Buda Kliwon Dungulan, dan Pagerwesi jatuh pada Buda Kliwon Sinta.

"Jika dilihat dari esensi pelaksanaan sebenarnya sama juga, yaitu memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Hyang Pramesti Guru atau Tuhan itu sendiri dan guru alam sebagai guru Swadyaya,"sebutnya.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan pelaksanaan hari suci di Buleleng dengan daerah lain, imbuh dia, merupakan kultur atau dresta yang berlaku. Dan ini diyakini memperkaya khasanah budaya Bali. Sehingga pulau Bali terkenal di mancanegara karena kekayaan kultur atau budayanya.

"Nah dapat dikatakan perbedaan itu indah, dan intinya sama untuk mencapai tujuan akhir agama Hindu yaitu "Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma" yang artinya untuk mencapai kebahagian lahir dan batin berdasarkan ajaran kebenaran( ajaran Dharma).

Atau dikenal pula dengan istilah menyatu dengan Tuhan atau Brahman. Dari sini pula akhirnya Pagerwesi dikenal dengan istilah Galungan kecil atau alit.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved