Serba Serbi

Bayi Mulai Injak Bumi, Berikut Makna Upacara Tiga Bulanan

Upacara ini bertujuan sebagai penyucian terhadap bayi, untuk itu dibuatlah upacara lengkap dengan sarana upakaranya atau banten

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
suasana saat anak bayi berusia tiga bulan mulai menginjak tanah 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Upacara tiga bulan (nyambutin), adalah salah satu upacara Manusa Yadnya.

Upacara ini dilangsungkan setelah bayi berusia 105 hari atau tiga bulan.

Upacara ini bertujuan sebagai penyucian terhadap bayi, untuk itu dibuatlah upacara lengkap dengan sarana upakaranya atau banten.

Biasanya digunakan busana berupa kalung (badong), gelang, serta anting-anting atau tindik. Kemudian adanya peresmian nama si bayi.

Baca juga: Arti Penting Yadnya di Dalam Kepercayaan Hindu Bali, Berikut Penjelasannya

Ada kalanya pula, disertai dengan upacara turun tanah sebagai permohonan kepada ibu pertiwi bahwa si bayi akan menginjakkan kaki ke tanah.

Tujuannya agar ibu pertiwi berkenan melindungi si bayi selama proses ini.

Proses upacara nyambutin ini, biasanya akan dipimpin oleh sulinggih maupun pemangku.

Beliau bertugas sebagai pimpinan upacara. Kemudian memohon tirta panglukatan, pabersihan lalu memercikan kepada banten serta kepada busana atau gelang, kalung, dan anting-anting.

Diberikan pula kepada si bayi. Baru dilanjutkan dengan sembahyang untuk memohon waranugraha.

Baru setelahnya malukat atau mejaya-jaya. Kemudian natab semua banten, dan memohon tirta atau wangsuhpada.

Pemakaian gelang dilakukan pula dengan cara magogo-gogoan. Atau mengambil perhiasan pada sebuah taman atau kolam.

Setelah si bayi mendapat perhiasan, serta memakainya barulah dilanjutkan dengan upacara lainnya.

Menurut Anak Agung Astaraharja, seorang kakek yang cucunya melangsungkan upacara tiga bulanan.

Magogo-gogoan ini, adalah bertujuan agar anak mengenal bumi dan bisa berjalan dengan baik serta kuat dalam melangkah.

Baca juga: Sekda Badung Hadiri Upacara Pitra Yadnya di Desa Adat Jempeng

"Kalau anaknya laki-laki ditukar dengan pusuh biyu atau pisang. Kalau anaknya perempuan ditukar dengan blego," sebutnya.

Banten magogo-gogoan, biasanya bertempat di depan sanggah atau merajan kemulan.

Dengan perlengkapan sebuah lesung batu disusuni paso berisi air. Berisi gelang, kalung, anting-anting dan lain sebagainya.

Kemudian di tengahnya di tempat taman ada sejenis jejaitan berisi air, bunga 11 warna atau jenis dialasi periuk tanah.

Kemudian alat penciprat atau penutupnya dinamakan padma jejaitan dari janur kelapa gading.

Banten mengelilingi lesung ini, juga dilengkapi dengan tongkat bungbung lalu dipukul mengelilingi banten.

Hal penting pula, tanah tempat si bayi menginjakkan kaki bergambar Bedawang Nala. Lengkap dengan sesajen, peras ajuman, daksina, dan tipat kelanan.

Dalam acara ini pula, si bayi digendong anak yang giginya belum tanggal. Seusai upacara semua sesajen diberikan kepada anak yang menggendong si bayi. (*)

Artikel lainnya di Serba Serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved