Berita Denpasar

Tumpek Landep Pembawa Berkah bagi Jasa Cuci Motor, Sehari Widana Dapat Cuci hingga 50 Motor 

Tumpek Landep Pembawa Berkah Jasa Cuci Motor, Sehari Widana Dapat Cuci hingga 50 Motor 

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Ni Luh Putu Wahyuni Sari
Tumpek Landep Pembawa Berkah bagi Jasa Cuci Motor, Sehari Widana Dapat Cuci hingga 50 Motor  

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tumpek Landep Pembawa Berkah Jasa Cuci Motor, Sehari Widana Dapat Cuci hingga 50 Motor.

Rahina Tumpek Landep membawa berkah tersendiri bagi usaha jasa cuci motor.

Seperti halnya jasa cuci motor milik Wayan Widana yang berlokasi di Jalan Pattimura, Denpasar.

Widana mengatakan, jumlah pelanggan yang hendak mencuci motor meningkat hingga 25 persen dibandingkan hari biasa. 

Kali ini, ia memperkirakan dapat mencuci hingga 50 motor dengan bantuan dua tenaga kerjanya.

"Kalau Tumpek Landep paling persentase penambahannya sekitar 25 persen naiknya. Tapi kalau sekarang dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 jauh. Mungkin persentasenya paling cuma 50 persen dari sebelumnya," kata Widana, Sabtu 9 April 2022.

Widana sudah merintis usaha cuci motor itu sejak tahun 2008.

Pada hari biasa sebelum Covid-19, Widana mengaku dapat melayani cuci motor hingga 15 motor per hari.

Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat pelanggan cuci motornya menurun drastis. Palingan, rata-rata hanya lima motor yang dia cuci dalam sehari.

"Pandemi ini paling parah sejak pandemi terus turun penjualan kami. Kalau di Tumpek Landep mendingan daripada hari biasa," imbuhnya.

Adapun tarif cuci motor di tempat Widana mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 18 ribu untuk motor dengan ukuran besar. 

"Kalau sekarang bahan untuk jualan yang naik harganya. Seperti silicon dan shampoo naik harganya dari sebelum Covid-19 hingga 100 persen," sambungnya,

Filosofi Tumpek Landep

Hari ini, Sabtu 9 April 2022 umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Tumpek Landep.

Tumpek Landep dirayakan setiap enam bulan sekali, pada Sabtu Kliwon wuku Landep.

Saat Tumpek Landep, kita akan melihat orang-orang ramai datang ke tempat cuci motor atau mobil untuk mencuci kendaraan mereka. 

Motor atau mobil itu selanjutnya akan diupacarai atau dibantenin.

Padahal jika ditelisik maknanya lebih dalam, Tumpek Landep menurut Wakil Ketua PHDI Pinandita I Ketut Swastika memiliki makna otonan atau upacara untuk sarwa (benda) lancip, seperti keris, tombak, dan juga peralatan perang lainnya. 

Bukan itu saja, Tumpek Landep juga memiliki makna ngelandepang idep atau menajamkan pikiran. Di Bali, semua siklus peralihan selalu mendapat peralihan khusus dari masyarakat. 

Misalkan saat penghabisan siklus pawukon yaitu Watugunung bertemu dengan akhir siklus saptawara atau Saniscara (Sabtu) dimaknai dengan perayaan Saraswati. 

Begitu pulalah dengan siklus akhir pancawara yaitu Kliwon dengan siklus akhir saptawara yaitu Saniscara (Sabtu).  Pertemuan siklus akhir pancawara dan saptawara menjadilah tumpek. 

Selanjutnya disesuikan dengan pawukon, seperti saat ini tepat dengan wuku landep sehingga disebutlah Tumpek Landep.

Secara tekstual, menurut Dosen Bahasa Bali Unud Putu Eka Guna Yasa, sebagaimana yang termuat pada Lontar Sundarigama, saat Tumpek Landep ini kita memuja Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati nunas (meminta) kasidian atau kekuatan atas senjata-senjata perang. 

"Karena saat jaman kerajaan, senjata menjadi sangat penting bagi suatu kerajaan untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Sehingga patutlah Tumpek Landep ini digunakan sebagai momentum untuk recharging yaitu dengan upacara selain diasah," kata Guna.

Upacara Tumpek Landep di Pande Keris Urip Wesi Tapa Karya di Gang Pacar, Jalan Ratna, Denpasar, Sabtu 13 Februari 2021.
Upacara Tumpek Landep di Pande Keris Urip Wesi Tapa Karya di Gang Pacar, Jalan Ratna, Denpasar, Sabtu 13 Februari 2021. (Tribun Bali/Rizal Fanany)

Akan tetapi dewasa ini, berperang tidak lagi menggunakan senjata akan tetapi berperang dengan jnana dan idep. 

Kita berperang dengan nalar dan pikiran, maka pikiran harus direcharging atau dipertajam baik secara pengetahuan maupun rohaniah. 

Itulah sebabnya mantra yang dibaca saat Tumpek Landep adalah mantra danurdhara. Danurdhara sendiri merupakan pasukan pemanah. 

"Dalam Kakawin Ramayana disebutkan 'ikanang danurdhara kabeh' atau pasukan khusus yang menguasai senjata panah. Dan tradisi kita menganggap panah sebagai simbol ketajaman konsentrasi pikiran. Secara fisik, memang disimbolkan dengan panah, padahal yang dimaksudkan juga manah atau konsentrasi pikiran," imbuhnya.

Oleh karena itu dalam momen Tumpek Landep kita juga harus ngelandepang idep atau mempertajam pikiran.

Berbicara mengenai penajaman pikiran ini, menurut Guna, tak ada salahnya belajar pada sosok Arjuna anak ketiga dari pasangan Pandu dengan Dewi Kunti dalam epos Mahabharata. 

Disebutkan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa, Arjuna merupakan salah satu sosok yang paling pandai dalam hal menggunakan senjata panah. 

Hal ini dimulai ketika Bhagawan Drona mengajak Panca Pandawa dan Kurawa latihan memanah.

Di sebuah pohon bertenggerlah seekor burung lalu mereka diminta untuk memanah burung tersebut oleh Drona. Giliran pertama adalah Bima. 

Sebelum memanah Drona bertanya kepada Bima: apa yang ananda lihat, Bima mengatakan bahwa dirinya melihat langit, pohon, dan burung. 

"Jangan memanah taruh panahnya," kata Drona kepada Bima. 

Termasuk Satus Korawa juga tidak diberikan memanah. Bahkan Drona tidak mengijinkannya untuk melepaskan anak panah. 

Yudistira sekalipun ketika ditanya apa yang dilihat, ia menjawab uang dilihat adalah Guru Drona dan sudah pasti tidak diizinkan melepaskan anak panahnya. 

Hingga tiba pada gilirannya Arjuna ditanya apa yang dilihat, dan ia bilang biji mata burung. Maka diizinkanlah Arjuna untuk melepas anak panah dan kenalah burung itu.

Dari uraian tersebut, menurut Guna pentinglah mengasah ketajaman intelektual yang bersumber dari pikiran agar perhitungan tepat. 

Andaikan saja Arjuna tidak memiliki perhitungan tajam dan tepat, pasti ia tidak akan bisa menembak burung tersebut dengan anak panahnya.

Karena hal itulah, Arjuna sering digunakan sebagai figur landeping idep atau pikirannya yang tajam. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara mempertajam pikiran? 

Guna menambahkan, belajar pada Arjuna saat bertapa di Gunung Indrakila untuk mendapatkan anugerah panah pasupati sastra. 

Karena dari keteguhan tapanya Arjuna juga disebut sebagai 'wiku wita raga' oleh Dewi Supraba.

Ketika Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, Bhatara Indara mengutus tujuh bidadari untuk menggoda tapanya. 

Bidadari tersebut dipimpin oleh Dewi Tila Utama dan Dewi Supraba. Tilotama dan Supraba ini bukan bidadari biasa. 

Diciptakan dari manik-manik terbaik surga oleh Bhatara Brahma, dan bahkan yang menciptakannya pun tergoda oleh kecantikannya.

Digoda selama tiga hari tiga malam, Arjuna tetap teguh. Setelah berjibaku menggoda Arjuna dengan mempersembahkan kecantikannya yang paling cantik, maka keadaan menjadi berubah. 

Bidadarilah yang tergoda akan keteguhan tapa Arjuna. Itulah wiku wita raga. Mata yang melihat tidak terikat rupa, telinga tidak terikat lagi dengan suara-suara yang indah, lidah yang mengecap rasa dan mengucap kata tidak terikat lagi pada sad rasa. 

Kulit tidak terikat lagi pada sentuhan-sentuhan. Selain itu, dalam melakukan tapa tersebut ada motif atau tujuan yang baik.

Saat Bhatara Indra berubah menjadi pendeta dan menguji keteguhan tapa Arjuna, Beliau bertanya motif atau tujuannya mendapatkan pasupati sastra.

Arjuna mengatakan ingin diabdikannya untuk sang kakak yaitu Yudistira, sehingga Arjuna lolos ujian dari Dewa Indra.

Yang ketiga adalah bersatunya kesadaran dengan Siwa atau intelektualitas bertemu dengan nilai religius. 

Bhatara Siwa sebelum menganugerahkan panah pasupati sastra menjelma sebagai pemburu dan memanah berbarengan saat Arjuna juga memanah babi titisan dari Raksasa Muka anak buah Raksasa Niwatakawaca. 

Dalam teks dikatakan sudah menjadi satu panah Arjuna dan dewa Siwa. Setelah berdebat terkait siapa yang memanah lebih dahulu.

Akhirnya Arjuna sadar bahwa yang dihadapinya adalah Dewa Siwa sehingga diberikanlah anugerah pasupati sastra tersebut. 

Jadi agar bisa ngelandepang idep dan bisa mendapatkan pasupati sastra ini, menurut kekawin Arjuna Wiwaha, seseorang harus melakukan yoga. 

"Katemunta sitan katemu kahidepta sitan kahidep. Apa yang dipikirkan  bisa tercapai, dan apa yang dinanti bisa diraih," katanya.

Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Pinandita I Ketut Pasek Swastika mengatakan pada saat inilah mestinya membersihkan diri terkait dengan peralatan yang lancip tersebut. Lancip itu juga termasuk pikiran. 

"Sehingga Tumpek Landep ini bukan hanya ngotonin sarwa lancip, tapi juga pikiran yang utama karena pikiran adalah awal dari semua. Karena dari pikiran ada perkataan, karena perkataan ada perbuatan, dan perbuatan itulah yang menunjukkan jati diri seseorang," katanya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved