Berita Nasional

SELAMAT HARI KARTINI! Mengenal Sosok Emansipator, Berjuang Demi Kesetaraan Wanita Indonesia

Berikut ini adalah sosok singkat sang emansipator, Raden Ajeng Kartini, berjuang demi kesetaraan wanita Indonesia kala itu.

Penulis: I Putu Juniadhy Eka Putra | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
freepik
Ilustrasi - Hari ini, Kamis 21 April 2022 diperingati sebagai Hari Kartini. 

Bahkan di usianya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Singkat kata, Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan Bupati Rembang oleh orangtuanya.

Baca juga: Beragam Ucapan Selamat Hari Kartini dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, Dapat Dibagikan ke Medsos

Bupati tersebut bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sebelumnya, ia telah memiliki istri.

Namun, saat itu, istrinya mengetahui suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita.

Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.

Sejarah Ditetapkannya Hari Kartini pada 21 April

Mengutip dari kemdikbud.go.id, berikut sejarah ditetapkannya Hari Kartini:

Wafatnya R.A. Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan R.A.Kartini semasa hidupnya.

Salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Kemudian Abendanon membukukan seluruh surat-surat R.A. Kartini.

Lalu seluruh surat itu diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

Baca juga: Kisah Para Kartini dari Bali, Moni 20 Tahun Dedikasi di Panti Asuhan

Buku ini diterbitkan pada tahun 1911 dan cetakan terakhir ditambahkan surat “baru” dari Kartini.

Namun, pemikiran-pemikiran tersebut tidak pernah dibaca oleh beberapa orang Pribumi yang tidak bisa berbahasa Belanda.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved