Berita Budaya
Sang Hyang Kala Tiga Galungan, Waspada Saat Ia Turun
Sang Hyang Kala Tiga Galungan, Waspada Saat Ia TurunSang Hyang Kala Tiga Galungan, Waspada Saat Ia Turun
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Harun Ar Rasyid
"Kita harus bisa meredam dan mengurung gejolak-gejolak negatif dalam diri sehingga tidak muncul," ucap mantan jurnalis ini. Maka Redite Paing Dungulan disebut hari panyekeban, atau 'Anyekung Jnana Sudha Nirmala' yang artinya mengendalikan diri untuk bisa mencapai kesucian.
"Karena saat itu, Sang Bhuta Galungan sudah turun, dan kita harus waspada," sebut beliau. Hari panyekeban ini diimplementasikan dengan nyekeb pisang untuk persiapan Galungan. Maka dengan adanya simbol ini, sehingga umat harus selalu mawas diri akan adanya musuh dalam diri sendiri, seperti marah, dengki, iri dan sifat negatif lainnya.
"Dalam pesan-pesan para tetua dahulu, pantang kalau kita di rumah tangga bertengkar atau melakukan hal-hal yang negatif saat Redite Dungulan hingga Umanis Galungan, sebab orang tersebut bisa dimasuki oleh roh Sang Bhuta Tiga Galungan," tegas beliau.
Sehingga percaya atau tidak, maka enam bulan yang akan datang, saat menjelang Galungan maka keluarga yang bertengkar atau berbuat negatif itu, akan kembali mengulangi pertengkarannya.
"Hal ini bisa dihilangkan apabila kita dapat menyadari dan memotivasi serta dapat mengendalikan diri. Oleh karena itu hati-hatilah saat Sang Tiga Bhuta Galungan sudah turun, karena saat itu mereka akan selalu menggoda kehidupan manusia, sehingga bisa menggagalkan menikmati hari suci Galungan," tegas mantan dosen UNHI Denpasar ini.
Sedangkan saat penampahan Galungan atau Anggara Wage wuku Dungulan, Sang Bhuta Amengkurat yang turun, maka umat Hindu Nusantara akan melakukan kegiatan panyembelihan atau penampahan, yang memiliki filosofi untuk membunuh segala sifat hewan atau hal-hal yang yang bersifat negatif di dalam diri.
Hari Selasa Wage Dungulan disebut hari penampahan Galungan. Hari Penampahan Galungan ini, kata ida, ditandai dengan pemotongan hewan. Sedangkan umat Hindu diharapkan, pada pagi hari tersebut menghaturkan daging jajeron di natar merajan, natar rumah dan di lebuh, agar sang Bhuta Tiga Galungan dalam hal ini Sang Bhuta Amangkurat tidak menggoda dan kembali ke alamnya.
Sedangkan saat itu, atau saat penampahan Galungan dilakukan odalan pada palinggih penunggu karang, berupa haturan nasi roongan (nasi penek besar) sebanyak 4 buah ditambah dengan ulam karangan. Palinggih penunggu karang adalah palinggih untuk Sang Kala Maya (setingkat picasa).
Sehingga haturan tersebut ditujukan untuk sang picasa yang bernama Sang Kala Maya. Tujuannya agar Sang Bhuta Kala tidak menggoda kehidupan manusia. Sedangkan pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, ini puncak dari rahinan jagat dan yang sangat disucikan yang disebut hari raya Galungan.
"Apabila kita bisa melewati godaan dan gangguan musuh dalam diri kita berupa kemarahan, kedengkian, kekecewaan kedurhakaan, keserakahan, keegoan serta hal-hal yang bersifat negatif lainnya. Maka barulah kita bisa mengatakan kita sudah menang, atau Dharma menang melawan Adharma," ucap beliau.
Namun sebaliknya, ketika belum bisa mengalahkan hal-hal yang negatif dalam diri maka tentu saja belum berada pada kemenangan. "Bahkan kita masih dalam kondisi kekalahan. Oleh sebab itu kita sebagai umat Hindu yang memegang teguh tradisi leluhur yang sangat adiluhung, dituntut harus selalu mawas diri, dapat selalu instrospeksi agar sifat-sifat negatif (Adharma) dalam diri, betul-betul sirna dan segala godaan dari Sang Hyang Kala Tiga Galungan tidak lagi mempan menyusupi diri kita," sebut beliau.
Sehingga hari Raya Galungan betul-betul menjadi hari kemenangan Dharma melawan Adharma. "Untuk itu kepada umat sedharma diimbau agar berhati-hati di saat Sang Hyang Kala Tiga Galungan turun, karena ketiga bhuta tersebut berusaha selalu menjebol dan mengganggu iman manusia, sehingga gagal mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan," tegas ida rsi.(ask)