Berita Nasional
100 Tahun Mochtar Lubis, Bangkitkan Media Independen Berimbang
Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama. Demikian pepatah yang tepat, untuk mengenang tokoh jurnalis nasional, Mochtar Lubis.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama. Demikian pepatah yang tepat, untuk mengenang tokoh jurnalis nasional, Mochtar Lubis.
Wartawan militan ini, dikenal memiliki pemikiran yang independen dan kritis. Apalagi ia ditempa di era atau zaman yang tidak aman, zaman kolonialisme.
Kisahnya dibahas dalam webinar bertajuk 'Peringatan 100 Tahun Mochtar Lubis: Kekuasaan dan Sastra' Rabu 27 April 2022, yang digelar oleh LPDS dan Djarum Foundation.
Beberapa tokoh penting, hadir dalam acara daring via aplikasi Zoom ini. Satu diantaranya adalah Ignatius Haryanto, Dosen Universitas Multimedia Nusantara.
Sebelumnya dipaparkan sekilas tentang kehidupan Mochtar Lubis.
Ia dikenal sebagai sosok pendobrak dan pemberani, namun juga memiliki hati nurani. Ignatius yang juga peneliti media ini, secara pribadi mengagumi sosok Mochtar Lubis.
Sosok jurnalis pemberani dari Indonesia, yang lahir tahun 1922 dan wafat tahun 2004 itu menjadi contoh bagi para jurnalis di Nusantara.
"Ia adalah seorang wartawan dengan sikap lebih keras dari batu granit dan punya pendirian. Baginya pers harus independen dari kekuasaan manapun," jelasnya.
Sikap kritisnya ini, sempat membuat sang tokoh masuk jeruji besi selama 10 tahun pada masa pemerintahan orde lama.
Walau demikian, sang macan media tidak patah arang. Ia tetap mengkritisi yang perlu dikritik.
Hingga akhirnya pada tahun 1958-1968, Mochtar Lubis kembali menikmati hotel prodeo selama beberapa bulan pada zaman orde baru.
Sikap berani dan kritisnya, mengantarkan Mochtar Lubis menjadi 50 tokoh kebebasan pers di dunia.
"Jadi reputasi beliau tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di luar negeri," sebut mantan jurnalis ini. Koran Indonesia Raya, adalah saksi bisu media yang menjadi wadah sang tokoh menumpahkan segala kegundahannya. Media ini pula menjadi salah satu ikon perlawan pers terhadap kekuasaan, khususnya kekuasaan yang semena-mena.
Kehidupan jurnalistiknya terbilang tidak mudah, apalagi ia menjadi wartawan di rezim kekuasaan yang cukup kuat yakni pada era Soekarno dan Soeharto. Kritik tajam terhadap ketidakadilan dan ketidakberesan pemerintahan, membuatnya kerap menjadi bidikan. Pemerintah pun gerah dan berulang kali ingin menutup media yang dipimpinnya.
Tak hanya berkiprah di dunia jurnalistik, ia juga menghasilkan banyak karya sastra baik fiksi maupun non fiksi. Seperti catatan-catatannya selama dipenjara pada masa orde lama dan orde baru. Catatan hariannya itulah yang kemudian dijadikan buku. "Pers dan Wartawan adalah buku pertama tentang jurnalistik. Ada pula korespondensi secara khusus kepada Bung Hatta," sebutnya. Sang tokoh memang lebih dekat dengan Hatta dibandingkan Soekarno.