Berita Nasional
100 Tahun Mochtar Lubis, Bangkitkan Media Independen Berimbang
Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama. Demikian pepatah yang tepat, untuk mengenang tokoh jurnalis nasional, Mochtar Lubis.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Harun Ar Rasyid
"Bahwa media seharusnya menulis, dan menyampaikan berita sejujur-jujurnya tanpa mewarnai dengan menambahkan interpretasi untuk memutarbalikkan fakta," imbuhnya. Keadaan penjajahan juga membuat nurani Mochtar Lubis kian peka terhadap penderitaan dan ketidakadilan. Sehingga hal itu yang membuat sikap penentang ketidakadilan, di dalam diri Mochtar Lubis kian terasah.
Kecurigaan terhadap pemimpin politik, kepekaan terhadap penderitaan orang sekitar, dan kecurigaan kepada media untuk keperluan propaganda. Menjadi keseharian pemikiran sang jurnalis. "Keistimewaan Mochtar Lubis pada tahun 50an, bahwa dia tidak hanya melihat peran atau tanggung jawab media di Indonesia, dia sadar pentingnya membina hubungan dengan organisasi internasional. Termasuk jurnalis di luar negeri," katanya.
Mochtar yang kerap mengkritik pemerintah, hingga akhirnya ditahan adalah hal biasa kala itu. Ia selalu siap dengan konsekuensinya. "Dia juga sempat ditahan, sebagai tahanan rumah dan setelah dia dibebaskan pada tahun 1961, dia keluar negeri untuk memberi pidato dan di dalam konferensi itu dia berpidato mengkritisi pemimpin. Namun sayangnya itu ditafsirkan sindiran anti Soekarno, dan dia akhirnya ditahan lagi ke rumah tahanan militer di Madiun yang kondisinya jauh lebih buruk dari di Jakarta," jelasnya.
Koran Indonesia Raya yang sempat ditutup, dibuka kembali tahun 1968 dengan bantuan dari luar negeri. Rekan-rekan dan kolega Mochtar Lubis sesama wartawan memberi mesin cetak yang dikirim dari Manila ke Jakarta. "Inilah contoh betapa bergunanya koneksi yang dibangun dan dibina oleh Mochtar Lubis khususnya dengan sesama jurnalis dari berbagai negara," katanya.
Namun sayang, begitu media Indonesia Raya dibredel lagi, Mochtar Lubis tidak membukanya kembali. "Alasannya karena dia tidak mau berkompromi dengan orde baru," tegas David. Setelah dia dibebaskan tahun 1966 dari tahanan pada awal zaman orde baru, ia cukup mendukung orde baru. Namun dengan cepat Mochtar mengkritik rezim tersebut. Ia menentang kerakusan dari pemimpin saat itu.
Namun walau Indonesia Raya telah sirna, Mochtar Lubis tidak lantas meninggalkan media yang membesarkan namanya. Ia berkiprah di luar negeri bersama PBB. "Beliau diangkat sebagai anggota komisi oleh PBB yang meneliti dan menganalisa masalah yang dihadapi oleh media di seluruh dunia," jelasnya. Sehingga Mochtar Lubis dikenal sebagai jurnalis yang tidak mau berkompromi dengan kebebasan pers. (ask)