Berita Bangli

Kisah Perajin Tikar Tradisional Bali di Bangli, Tetap Lestari di Tengah Sengitnya Persaingan

Tikar berbahan anyaman daun pandan merupakan salah satu produk masyarakat Bali yang memanfaatkan bahan alami

Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Ni Nyoman Lusin saat membuat anyaman tikar tradisional Bali di kediamannya, Rabu 25 Mei 2022 - Kisah Perajin Tikar Tradisional Bali di Bangli, Tetap Lestari di Tengah Sengitnya Persaingan 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Tikar berbahan anyaman daun pandan merupakan salah satu produk masyarakat Bali yang memanfaatkan bahan alami.

Tikar tradisional ini masih terus dilestarikan, walaupun digempur sengitnya persaingan dagang.

Di Bangli, wilayah Banjar Tanggahan Talang Jiwa yang berlokasi di wilayah Desa Demulih, Kecamatan Susut merupakan sentranya tikar tradisional Bali.

Salah satu perajin yang masih menekuni anyaman tikar tradisional Bali yakni Ni Nyoman Lusin.

Baca juga: Kisah Atlet Asal Bali Sukses di SEA Games Vietnam, Serma Dewa & Sertu Anny Pandini yang Berprestasi

Duduk di teras rumah, tangan wanita 50 tahun itu nampak cekatan menganyam helai demi helai daun pandan yang telah dikeringkan.

Dia mengaku sudah menggeluti anyaman tikar daun pandan sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Kata Nyoman Lusin, pembuatan tikar tradisional merupakan pekerjaan sampingan tatkala tidak ada kesibukan di Pura.

Biasanya ia mengerjakan anyaman daun pandan saat siang, atau sore hari usai mengurus pekerjaan rumah tangga.

Dengan pengalaman selama puluhan tahun, Nyoman Lusin bisa menyelesaikan satu lembar anyaman tikar tradisional dalam waktu kurang dari sejam.

Tikar ini memiliki panjang 2 meter dan lebar 1 meter.

"Kalau sehari biasanya bisa menyelesaikan tiga hingga empat lembar tikar," ucapnya saat ditemui Rabu 25 Mei 2022.

Walaupun proses menganyam tergolong cepat, Nyoman Lusin mengatakan, satu-satunya kendala dalam pembuatan tikar tradisional adalah cuaca.

Sedangkan bahan baku berupa daun pandan, tidak menjadi persoalan.

Mengingat daun pandan sangat mudah ditemui di Banjar Tanggahan Talang Jiwa.

Sembari menganyam, Nyoman Lusin menjelaskan proses menjadikan daun pandan agar siap digunakan, membutuhkan waktu cukup lama.

Mula-mula diawali dengan mencari daun pandan yang layak pakai.

Selanjutnya daun pandan dibersihkan dari duri, kemudian digulung lalu dijemur.

Baca juga: Kisah Penderita DB di Klungkung, Demam Naik Turun, Tetap Paksakan Diri Ikut Ujian

"Proses pengeringan ini tergantung cuaca. Kalau terik panas, hanya butuh waktu selama 10 hari. Namun kalau cuaca buruk, bisa membutuhkan waktu selama 15 hari," ucap wanita murah senyum itu.

Untuk mengantisipasi kendala cuaca ini, warga sekitar biasanya lebih dulu mencari daun pandan saat musim kemarau.

Sedangkan saat memasuki musim penghujan, dimanfaatkan untuk proses menganyam tikar.

Nyoman Lusin mengatakan, biasanya tikar tradisional yang sudah selesai dianyam kemudian disimpan.

Ia baru menjual saat jumlahnya mencapai lebih dari 10 lembar.

"Biasanya dijual di pasar dengan harga Rp 18 hingga 20 ribu per lembar. Kalau pengepul biasanya dihargai Rp 15 ribu per lembar. Penjualannya di Pasar Bangli atau Gianyar," jelasnya.

Mulai Ditinggalkan

Jumlah perajin yang masih menekuni anyaman tikar tradisional Bali di Banjar Tanggahan Talang Jiwa mulai berkurang.

Menurut Bendesa Adat sekitar, I Wayan Sukadana, hal ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat.

Di mana tikar tradisional saat ini mulai tergantikan dengan produk-produk tikar plastik yang dinilai lebih awet.

Di sisi lain dengan proses pembuatan cukup lama, harga jual tikar tradisonal juga cenderung murah.

"Sehingga sebagian besar warga memilih untuk menggeluti bidang lain. Misalnya menjadi buruh bangunan, dengan bayaran sekitar Rp 150 ribu per hari. Atau bekerja di bidang pariwisata. Tak sedikit pula yang memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia. Jika dibandingkan dulu dan sekarang, kalau dulu 90 persen warga mengandalkan hidup dengan menjadi perajin tikar tradisional. Kalau sekarang, bisa dikatakan tinggal 30 persen saja, atau sekitar 25 KK. Itupun hanya sebagai sampingan," jelasnya.

Pemanfaatan tikar tradisional Bali pun diakui juga mulai mengalami pergeseran.

Dari sebelumnya digunakan sebagai alas tidur, kini hanya dimanfaatkan untuk kegiatan upacara keagamaan.

Pihaknya berharap pembuatan tikar tradisional Bali di Banjar Tanggahan Talang Jiwa tidak punah dan hilang.

Sebab ini merupakan warisan secara turun-temurun.

Terlebih permintaan pasar akan tikar tradisional masih banyak, khususnya untuk kebutuhan upacara agama.

"Tentu kami akan tetap melestarikan pembuatan tikar tradisonal ini, melalui generasi-generasi muda. Boleh mereka memilih untuk bekerja di bidang lain. Namun setidaknya mereka masih memiliki keahlian untuk menganyam tikar tradisional Bali. Dan kami juga tetap melestarikan pohon pandan di wilayah Banjar. Sehingga kebutuhan bahan baku tetap terjaga," tandasnya. (*).

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved