Berita Denpasar
Tradisi Ngerebong di Kesiman Digelar Esok, Pemedek Diprediksi Ramai Karena Pandemi Mereda
Tradisi Ngerebong di Kesiman Digelar Esok, Pemedek Diprediksi Ramai Karena Pandemi Mereda Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
Penulis: Putu Supartika | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Minggu, 26 Juni 2022 Desa Adat Kesiman Denpasar menggelar tradisi Ngerebong.
Tradisi ini digelar setiap enam bulan sekali tapatnya pada Minggu Pon Medangsia.
Adapun lokasi pelaksanaanya yakni di Pura Agung Petilan Pangerebongan Kesiman.
Dikarenakan kondisi saat ini yang mana Covid-19 sudah melandai, diprediksi akan dibanjiri oleh umat, termasuk dari luar Desa Adat Kesiman.
Untuk mengantisipasi hal itu, pihak desa adat sudah merancang sistem, terutama untuk persembahyangan para pemedek baik dari Desa Adat Kesiman sendiri maupun di luar desa yang tangkil.
Bendesa Adat Kesiman, I Ketut Wisna, yang dikonfirmasi Sabtu, 25 Juni 2022 mengatakan krama atau pemedek nantinya di atur atau di-pah agar tidak terjadi penumpukan yang membuat krodit.
Termasuk alur masuk atau keluar pemedek juga sudah diatur sedemikian rupa.
"Jalannya yakni krama dari Desa Adat Kesiman yang terdiri dari 32 banjar adat bisa melakukan persembahyangan mulai sejak pagi hingga siang. Setelah itu, dari siang sampai sore untuk pemedek dari luar Desa Adat Kesiman," kata Jero Wisna.
Hal ini berdasarkan evaluasi tradisi Ngerebong sebelumnya karena sempat terjadi penumpukan krama atau pemedek sehingga membuat krodit.
Selain alur pesembahyangan, juga dilakukan rekayasa lalu lintas.
Rekayasa lalulintas dilakukan mulai pukul 09.00 hingga 19.00 Wita di Jalan WR Supratman.
"Terkait rekayasa lalu lintas, kami sudah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti kepolisian dan Dinas Perhubungan," katanya.
Untuk rangkaian prosesi Ngerebong dari mulai sampai puncak dilakukan sebagaimana mestinya dan tidak ada ngubeng.
Dalam hal pengamanan pihaknya menerjunkan 200 pecalang.
Sementara itu, sehari sebelum Ngebong dilaksanakan pemasangan penjor oleh sekaa teruna di depan pura.
Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara mengatakan Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada jamannya yang dikemas dengan sistem relegi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah senter upacara tempat upacara besar di kesmiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.
Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan.
Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesusksesan.
Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle.
Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditakklukkan.
“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelasnya.

Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari.
Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.
“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum ada adu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” katanya.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman.
Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.
Tahun 1937 pengerebongan kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun.
Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni ngerebong.
Tahun 2018 kemarin tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda. (*)