Citizen Journalism

Angkat Topi Buat Wanita, Khususnya Wanita Bali

Emansipasi memberikan kesempatan wanita untuk menuntut ilmu lebih tinggi, bekerja, dan banyak kesetaraan gender lainnya yang selama ini dimonopoli

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: I Putu Juniadhy Eka Putra
Tribun-Bali.com / Anak Agung Seri Kusniarti
Ilustrasi wanita Bali - Wanita Bali saat sedang melakukan Upacara Yadnya 

TRIBUN-BALI.COM – Saya salut pada wanita Bali, dan wanita lainnya di muka bumi. Tanpa maksud mendiskriminasi gender dengan lainnya.

Namun di banyak sistem patriarki, terkadang membuat wanita menjadi lemah yang tak punya pilihan.

Kenapa demikian? Sebab perempuan tidak punya hak yang sama dengan laki-laki dalam beberapa hal, contohnya seperti hak waris. 

Lalu kenapa Bali? Ada banyak alasannya kenapa memilih wanita Bali.

Pada era emansipasi saat ini, banyak wanita sudah lebih berani melangkah.

Ketimbang di saat era feodal, saat wanita hanya berada di dapur dan di ranjang untuk mengurusi rumah tangga.

Emansipasi memberikan kesempatan pada wanita untuk menuntut ilmu lebih tinggi, bekerja, dan banyak kesetaraan gender lainnya yang selama ini dimonopoli oleh pria.

Hal ini pun menimbulkan sisi positif dan negatifnya.

Baca juga: Duta Besar Turki Prof Askin Hadiri Ambassador Talk di Undiknas, Inspirasi Untuk Perempuan Bali

Di sisi negatif banyak wanita yang enggan berhubungan dengan pria karena merasa mandiri, lebih egois, lupa kodrat dan sebagainya.

Namun, positifnya wanita lebih punya nilai dan harga diri yang sama dengan pria. termasuk dalam memegang jabatan di pekerjaan, dunia politik dan sebagainya. 

Tapi di adat, emansipasi rasanya masih belum bisa diterapkan dengan pasti. Banyak adat budaya patriarki di Indonesia, yg mengekang hak wanita menjadi pemimpin dan memimpin.

Di negara maju, hal itu sudah lumrah, apalagi di tempat yg tidak dibatasi sekat konvensi adat istiadat.

Emansipasi ini sejatinya membuat wanita bekerja ekstra lebih keras. Sebab saat ini, selain mengurusi rumah tangga, melahirkan anak, wanita juga kerap membantu memenuhi kebutuhan keuangan keluarga.

Maka banyak wanita yang menjadi ibu sekaligus wanita karir. Salahkah? tentu tidak, itu pilihan dan privasi masing-masing orang. 

Lalu apa hubungannya dengan wanita Bali? Ya, saya pribadi, khusus memang angkat topi buat wanita Bali.

Kenapa? Sebab selain poin di atas, wanita Bali mengemban tugas satu lagi yang tak kalah berat yaitu ikut dalam tugas adat istiadat dan budaya.

Wanita Bali yang sudah menikah, otomatis menjadi banjar istri yang juga turun ngayah jika ada kegiatan keagamaan atau adat di banjarnya.

Itu wajib hukumnya. Sebab adat istiadat Bali memang demikian, dan telah berlaku turun-temurun.

Bayangkan berapa banyak wanita Bali, di era modern ini yang mengemban tugas sebanyak itu. 

Tentu harus diapresiasi, sebab mereka tak hanya bertaruh nyawa saat melahirkan. Tetapi kerap menjadi tulang punggung keluarga, yang notabene seharusnya dipegang pria.

Baca juga: Gender dalam Gender, Sanggar Suara Murti Tunjukan Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki dalam PKB 2022

Makanya saya emosi melihat pria yang masih selingkuh, atau memperlakukan wanita demikian dengan tidak pantas.

Pria menikahi wanita saat matang, sudah jadi. Syukur-syukur sudah berpenghasilan dan sukses. Orang tuanya melahirkan si wanita, membesarkan sampai si anak tumbuh jadi gadis cantik. Jadi jagalah istrimu dengan baik dan benar. 

Kemudian di Bali, wanita yang telah menikah akan mepamit ke keluarga lajangnya. Bahkan di merajan atau leluhurnya si wanita juga pamit, untuk mengabdi di rumah si pria.

Suami yang dinikahinya dan diajak menghabiskan masa tua. Di rumah "bajang" si wanita tidak punya hak lagi.

Dan memang jarang wanita di Bali mendapatkan hak waris. Mungkin ada, itu keputusan orang tua dan keluarganya yang mungkin memang mapan dan mengerti.

Beberapa bahkan tak mau menyekolahkan anaknya, karena akan diambil orang lain. Miris.

Lalu di rumah si suami, tentu wanita ini tidak 100 persen memiliki hak. Kadang saat bertemu saudara ipar ataupun keluarga yang tidak terlalu well educated, jadinya di rumah kayak perang dunia terus.

Masalahnya jika bercerai, wanita ini tidak punya tempat yang jelas dan pasti untuk kelak menaruh Puspanya saat meninggal nanti setelah ngaben dan ngasti.

Sebab tak punya merajan, atau rong telu untuk meletakkan Puspa tersebut.

Kecuali keluarga bajangnya mau kembali menerimanya dengan rangkaian upacara. Dan itu tentu tidak bisa diterima semua orang.

Sehingga terkadang, wanita Bali yang telah menikah dan tidak bahagia lebih memilih diam dan menerima siksaan demi tempat yang jelas saat ia meninggal kemudian. 

Di sini saya salut dan angkat topi buat wanita Bali.

Baca juga: Perupa Perempuan Bogor Gelar Pameran Seni Rupa yang Bertajuk Nujudibumi#2

Banyak yang bertarung dan menjadi pejuang. Orang bertanya padanya, kapan sukses? kapan menikah? kapan punya anak? kapan anaknya punya adik? kapan ada anak laki-laki? dan kapan lainnya.

Tanpa berpikir bagaimana psikis si wanita tersebut. Masa bodoh dengan hatinya, yang penting ke-kepoan orang itu terpuaskan.

Tak kalah mengerikan itu dilakukan sesama wanita, dan dijadikannya bahan gosip ke kuping sana, mulut sini.

SEMANGAT WANITA BALI. Kalian hebat! 

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved