Berita Bali
KESAKSIAN BOM BALI, Simak Kisah Sigit Purwono 20 Tahun Silam, Ragu Publikasi “The White Balance”
Ground Zero adalah saksi bisu dari kejadian bengis teroris di Legian Bali, dalam tragedi maut Bom Bali.
Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Sebagai seorang wartawan, naluri ingin tahu seorang Sigit Purwono menggebu-gebu terhadap sebuah kejadian.
Sigit Purwono yang merupakan wartawan salah satu media, pada tahun 2002, merupakan orang yang meliput kejadian Bom Bali saat itu.
Pada 12 Oktober 2022 malam, saat sedang tidur, Sigit langsung terbangun mendengar keramaian yang terjadi di sekitar rumahnya.
Keramaian yang dipicu kabar ledakan bom itu, membuat ia bergegas menuju salah satu lokasi bom dekat Konsulat Amerika, Renon, Denpasar.
Sesampainya di lokasi, ia mengetahui ledakan bom itu tidak menimbulkan korban jiwa.

Setelah mendapatkan informasi lebih lanjut, Sigit Purwono langsung menuju ke Legian yang menjadi lokasi lain ledakan bom.
Setibanya di Legian, ia sangat terkejut melihat situasi yang porak-poranda dengan mayat yang bergeletakan di tanah depan Sari Club.
Mobil-mobil yang melintas di daerah titik bom, terbakar hangus beserta penumpang di dalamnya.
“Bagi saya sendiri itu sangat mengerikan, dan saya tidak bisa membayangkan dahsyatnya ledakan bom itu.
Sehingga bisa mengakibatkan dampak seperti itu,” sebut Sigit Purwono mengingat tragedi maut itu.
Sebagai seorang wartawan, Sigit Purwono langsung mengambil gambar kejadian pasca ledakan bom itu.
Ia mengaku, saat itu sempat dilema menempatkan diri sebagai manusia untuk menolong atau mengambil gambar.
Namun, ia mencoba profesional dengan tetap menjalankan tugasnya sebagai wartawan dengan mengambil gambar.
“Saya yakin, ini (pengambilan gambar) akan menjadi sejarah penting.
Dan terbukti sekarang ini orang banyak yang tidak tahu kejadian sebenarnya tentang Bom Bali,” tutur Sigit kepada Tribun Bali, saat peringatan di Ground Zero, 12 Oktober 2022.

Pada hari Minggu lalu, saat pemutaran film dokumenter Bom Bali karya Sigit Purwono yang ditonton bersama keluarga banyak menuai pertanyaan.
Ada yang bertanya, “Ground Zero yang saat ini monumen besar dengan air mancur di dalamnya?”
Lalu Sigit Purwono menjelaskan lokasi Ground Zero, adalah di tengah Jalan Legian tepat di depan gardu listrik saat ini.
Walaupun kecil, Sigit Purwono mengatakan hal itu sangat penting untuk diketahui masyarakat terutama keluarga korban.
Perlu diketahui, Sigit Purwono membuat sebuah film dokumenter Bom Bali sejak tahun 2002 dan baru selesai tahun 2006.
Kisah-kisah peringatan disetiap tahunnya, ia abadikan dan ia simpan, termasuk sidang Bom Bali tahun 2003.
Saat itu, film tersebut ingin diikutsertakan dalam lomba film dokumenter internasional.
Namun, karena suatu alasan ia tak melanjutkan pengiriman karyanya dan menyimpan saja hingga waktu yang pas.
Dan pada momentum 20 tahun Bom Bali ini, ia berkeinginan untuk merilis filmnya agar dapat ditonton masyarakat.
“Film ini merupakan jejak digital yang tidak bisa dihilangkan dari catatan sejarah Bali.

Oleh karena itu, saya harus membuat film ini dan harus saya launching,” ucapnya teguh.
Hingga tahun 2022, film yang berjudul “The White Balance” ini belum pernah dipublikasikan ke platform manapun.
Sigit Purwono menuturkan masih ada keraguan dalam batinnya, karena filmnya belum benar-benar diterima di masyarakat karena dirasa terlalu vulgar.
Ia juga takut filmnya ini dapat memunculkan kembali trauma, kepada masyarakat khususnya kepada mereka yang mengalami langsung dan keluarga korban.
Tapi ia tak putus asa dan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik sebagai seorang wartawan.
“Minimal sudah saya kerjakan dan selesaikan dan dari itu saya ingin menjadikannya sebuah buku yang saat ini masih proses,” tutur Sigit Purwono.
Terlepas dari itu, Sigit Purwono telah menerima ucapan terima kasih dari keluarga korban karena tau kejadian sebenarnya dari filmnya.
Lelaki yang saat ini berprofesi sebagai wartawan freelance ini, berharap karya filmnya ini dapat diterima dan bermanfaat untuk masyarakat.
“The White Balance” sebagai jejak digital dapat menjadi literasi dan edukasi, bukan hanya di Bali tetapi juga di tingkat internasional.
Untuk para jurnalis lainnya, ia berharap dapat menjalankan tugasnya dengan profesional dan penuh tanggung jawab.
Jurnalis merupakan saksi yang dapat berbicara karena melihat langsung dan mengalami hal-hal yang terjadi di lokasi kejadian.
Semua itu harus dituturkan dengan sebenar-benarnya sesuai fakta di lapangan. (*)