Berita Bali
KISAH PILU, Ditolak RS, Anak Membonceng Ibu & Meninggal Dunia di Jalan, Kini Tempuh Jalur Hukum
Pihak keluarga Nengah Sariani (44) ibu atau istri yang meninggal dunia, dalam perjalanan akibat terlambatnya penanganan saat sakit.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM - Masih ingat Tribunners, dengan kisah pilu seorang anak yang membonceng ibunya.
Di mana setelah ditolak dari rumah sakit, dan kemudian sang ibu meninggal dunia.
Pihak keluarga Nengah Sariani (44) ibu atau istri yang meninggal dunia, dalam perjalanan akibat terlambatnya penanganan saat sakit.
Karena ditolak RSUD Wangaya dan RSU Manuaba Denpasar, akhirnya mantap menempuh jalur hukum.
Baca juga: Meninggal karena Tak Dapat Bantuan RS, RSUD Wangaya Denpasar Bantah Disebut Tolak Pasien Darurat
Baca juga: RSUD Wangaya Denpasar Membantah Disebut Menolak Pasien, Begini Kronologi Versi RSUD Wangaya

Pimpinan rumah sakit dan dokter, terkait dilaporkan ke Polda Bali atas dugaan melanggar undang-undang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, pasal 190 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mana ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1 UU no 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan serta KUHP mengakibatkan korban meninggal dunia.
Made Alit Putra (20) putra dari Nengah Sariani menyampaikan, kronologis kejadian bermula dari sang ibu yang mengalami batuk berdarah.
Lalu dia bersama kakak perempuan, berinisiatif melarikan ibu segera ke RSUD Wangaya yang terdekat dari rumah pada 24 September 2022 pukul 20.30 WITA, dengan berbonceng bertiga.
"Sampai di RSUD Wangaya ada satpam, satpam bilang kenapa itu batuk berdarah, lalu panggil dokter tidak datang, lalu saya masuk ke dalam suruh nunggu.
Ada dokter perempuan datang bilang kalau ruangan penuh tidak ada bed, saya minta pertolongan pertama saja juga tidak bisa karena tidak ada bed terus disarankan ke RSU Manuaba," kata Alit.
"Kami kemudian pinjam ambulans untuk ke RSU Manuaba tidak dikasih juga, akhirnya kami kembali naik sepeda motor bertiga langsung ke RSU Manuaba, tiba di RSU Manuaba pas situasi masih di atas motor panggil dokter ke dalam.
Dipegang tangan ibu sama dokter laki-laki, dicek disarankan langsung ke RSUP Sanglah, di RSU Manuaba pinjam ambulans tidak dikasih juga karena alasannya takut menjadi masalah rumit," imbuhnya.

Selanjutnya dengan sepeda motor Alit dan kakak perempuannya, lanjut mengendarai sepeda motor yang dipakai bonceng bertiga ke RSUP Sanglah, sampai kaki jempol kiri ibunya terluka terseret aspal.
"Menempuh perjalanan dari RSUD Wangaya ke RSU Manuaba dan ke RSUP Sanglah, pas di RSUP Sanglah ditangani diambilkan bed, diperiksa di UGD, dicek jantung sudah berhenti sudah meninggal dunia dalam perjalanan karena telat penanganan," tuturnya.
Alit menuturkan, sang ibu sudah lama menderita sakit batuk, karen dikira batuk biasa maka keluarga tidak pernah periksa ke dokter, selama ini hanya mengandalkan obat dari apotek saja.
Terakhir saat batuk dibawa ke rumah sakit karena keluar darah, dari hidung dan mulutnya.
Saat di RSUD Wangaya sang ibu masih tersadar masih bisa bergerak, jadi ibunya meninggal dunia saat perjalanan ke UGD RSUP Sanglah.
Pihak keluarga juga belum lama ini sudah melaksanakan pengabenan di kampungnya Desa Mayong, Seririt, Buleleng, pada 12 Oktober 2022 setelah sebelumnya dikubur pada 27 September 2022.

Namun begitu, Alit dan keluarga masih tidak terima atas keabaian pihak rumah sakit yang menyebabkan ibunya terlambat ditangani.
Bahkan sampai saat ini tidak ada permohonan maaf langsung pihak rumah sakit ke pihak keluarga.
Akhirnya melalui Lembaga Bantuan Hukum Paiketan Krama Bali, yang membantu kasus Alit yang kisahnya viral di media sosial, keluarga dibantu melanjutkan ke ranah hukum.
Dengan melaporkan pimpinan rumah sakit, serta para pihak ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali.
Ia berharap, kasus yang menimpanya akibat pelayanan rumah sakit yang tidak berdasarkan azas kemanusiaan tidak menimpa keluarga-keluarga lain.
Dan menjadi evaluasi pihak-pihak terkait untuk lebih baik ke depannya.
"Saya mau lanjut ke ranah hukum supaya tidak ada lagi korban seperti saya, mungkin apabila segera diberikan pertolongan pertama masih bisa diselamatkan," paparnya.
Untuk perkembangan kasus di Polda Bali, Alit mengaku diundang untuk memberikan klarifikasi pelapor namun belum bisa memenuhi panggilan polisi karena baru saja sampai di Denpasar usai Ngaben dari waktu yang diminta polisi, pada Kamis 13 Oktober 2022.
"Perkembangannya ada undangan klarifikasi Dumas hari Kamis, namun saya belum bisa karena ngaben karena baru kemarin sampai Denpasar," ujarnya
"Pelapor atas nama ayah, yang dilaporkan pimpinan rumah sakit sama tenaga medis yang menolak, nanti supaya dilakukan penyelidikan sama pihak kepolisian supaya terungkap, terlapor informasi yang kami dapat diperiksa, kami juga mengirim permohonan atnesi khusus Dumas ke Kapolri dan Irwasum," papar dia.
Sementara itu, Kuasa Hukum korban, Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, SH, SE didampingi I Wayan Gede Mardika SH MH memaparkan hasil rapat dengar pendapat dengan pihak Pemkot Denpasar dan pihak terkait lainnya termasuk RSUD Wangaya yang dilaksanakan pada Senin 3 Oktober 2022 pukul 09.00 WITA di Kantor Walikota Denpasar.
Rapat yang juga dihadiri Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) provinsi dan kota serta Komite Etik Wangaya itu membahas UU tentang tenaga kesehatan dan pelayanan rumah sakit.
"RSUD Wangaya menutup kolom komentar IG, menyampaikan maaf melalui IG, tapi tidak bisa di komen, lalu patut diduga RSUD Wangaya mengirim buzzer di review google untuk mengkonter ulasan negatif dengan ulasan positif," paparnya.
"Pada saat itu Walikota Denpasar menanyakan sisi kemanusiaaan menyesalkan ada kejadian seperti ini.
Sementara itu pihak rumah sakit membenarkan ambulans ada, pengakuan versi pihak rumah sakit bilang ke Alit kalau mau pakai ambulans BPBD, tapi versi Alit tidak ada menawarkan itu dari pihak RSUD Wangaya, alasan lain penggunaan ambulans barus sesuai SOP, dokter dan perawar," paparnya.
"Kemudian dari komisi etik RSUD Wangaya audit ke dokter yang berjaga saat itu dibilang secara SOP sudah benar, kalau IDI kota maupun provinsi patokannya hasil audit internal RS yang dipercaya" imbuh dia.
Namun demikian yang perlu diketahui adalah SOP yang dijalankan pihak rumah sakit tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang untuk mementingkan kemanusiaan.
"Kami LBH sudah statement kalau melanggar UU, waktu itu ada ambulans, tapi SOP dokter dan perawat sedikit, jadi ambulans tidak bisa keluar. Intinya RS merasa benar karena SOP, tapi itu pelanggaran jelas melanggar pasal 190 ayat 2 bisa dipidana 10 tahun denda RP 1 miliar, karena rumah sakit tidak memiliki legalitas menolak pasien terlebih dalam keadaan darurat," jelas dia. (*)