Berita Denpasar

Lontar Aksara Bali Akan Didaftarkan ke Unesco

Kecamatan Abiansemal Badung memiliki 40 lontar warisan yang berisikan berbagai usada (ilmu pengobatan)

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Harun Ar Rasyid
Tribun Bali/Wahyuni Sari
Lontar Produksi di Desa Bongkasa Pertiwi Badung yang akan dipamerkan di Kebaya Goes to Unesco. 

TRIBUN BALI.COM, DENPASAR - Kecamatan Abiansemal Badung memiliki 40 lontar warisan yang berisikan berbagai usada (ilmu pengobatan) dimana berisikan tentang sesajen (banten) hingga kawisesan (ilmu pelindung diri).

Untuk tetap melestarikan lontar atau naskah kuno ini, para penyuluh Basa Bali dari Kecamatan Abiansemal ini sudah melakukan upaya konservasi lontar.

Sehingga ditemukan beberapa penyuluh lontar di Desa Bongkasa.

Lontar Produksi di Desa Bongkasa Pertiwi Badung yang akan dipamerkan di Kebaya Goes to Unesco.
Lontar Produksi di Desa Bongkasa Pertiwi Badung yang akan dipamerkan di Kebaya Goes to Unesco. (Tribun Bali/Wahyuni Sari)

“Kami penyuluh bekerja sama dengan desa Bongkasa Bali, berupaya untuk mengajarkan anak-anak di Abiansemal untuk nyurat lontar (menulis naskah kuno) besok kami akan melakukan festival nyurat lontar,” kata, I Putu Eka Mudiartika Yasa selaku salah satu Penyuluh Bahasa Bali di Abiansemal pada, Kamis 27 Oktober 2022.

Ia sendiri melihat keadaan lontar di Bali, cukup memprihatinkan karena masih banyak masyarakat yang memiliki lontar dan mau memberikan ke penyuluh Bahasa Bali untuk mengkonservasikan lontarnya.

“Mereka masih 'nengetin' (mensucikan) lontarnya dan masih mensakralkan. Padahal kan jika tidak diberi perawatan yang semestinya bisa dimakan rayap, bahkan rusak,” imbuhnya.

Maka dari itu dari lontar sendiri perlu dilakukan perawatan, sosialisasi, dan konservasi. Kini kata, Eka sudah banyak anak-anak muda di Bali bermunculan yang mulai peduli dan memiliki kesadaran menulis aksara Bali dan membaca aksara Bali. Para penyuluh Bahasa Bali pun mengajak generasi muda untuk melakukan konservasi dan menumbuhkan kecintaan terhadap naskah-naskah kuno di Bali.

“Terkait pengakuan UNESCO, kami di Bali Masih berproses untuk menunjukan ini loh milik kita, menunjukan bahwa kita memiliki lontar dan kita dilihat (oleh Unesco). Sebelum di klaim orang lain tentu kita berusaha untuk menunjukan bahwa kita yang memiliki tradisi lontar ini,” paparnya.

Menurutnya pengakuan menuju Unesco ini merupakan perjuangan yang cukup berliku, terlebih tantangan masyarakat sudah cenderung tergiur budaya luar. Bahkan masih ada yang memiliki pandangan 'ngudyang melajah basa Bali' (buat apa belajar bahasa Bali?). Karena menurut mereka belajar Bahasa Bali tidak menghasilkan uang.

 

“Tapi kita tetap berjuang supaya membudayakan lontar ini di masyarakat tidak pantang menyerah untuk membudayakan menulis lontar memang agak sulit tapi kita tetep berjuang mewariskan budaya leluhur,” tutupnya.

Sementara itu terdapat produksi lontar yang kini hadir di Desa Bongkasa Pertiwi Badung yang diproduksi langsung oleh I Wayan Sumantra yang merupakan warga dari Banjar Karang Dalam Dua. Untuk harga lontar perlembar ini dijual dengan Rp. 7 ribu dengan panjang 30 cm dan garis 8 cm. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved