Serba Serbi
Menelik Sejarah GPIB Jemaat Pniel Singaraja, Gereja Protestan Tertua di Bali
Menelik sejarah GPIB Jemaat Pniel Singaraja, Gereja Protestan tertua di Bali, dibangun Pemerintah Kolonial Belanda.
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Putu Kartika Viktriani
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Ukuran bangunannya tidak terlalu besar, hanya sekitar 7x12 meter.
Namun peninggalan zaman Belanda masih tersimpan di gedung Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Pniel Singaraja.
Gereja ini bahkan menjadi gereja protestan tertua di Bali.
Pendeta GPBI Jemaat Pniel Singaraja, Christine Djama Kaunang mengatakan, gereja yang terletak di Jalan Ngurah Rai, Kelurahan Banjar Jawa, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini dibangun pada tahun 1938 silam, oleh orang-orang Belanda untuk melakukan peribadatan.
Meski sempat menjalani pemugaran pada 1982, namun masih ada beberapa bagian gedung gereja yang menyimpan peninggalan zaman Belanda.
Seperti jendela yang berbentuk dua daun merupakan ciri khas bangunan-bangunan zaman kolonial Belada di Singaraja.
Selanjutnya pada bagian atap yang menggunakan bentuk limas dan bentuk pelana, dengan sudut kemiringan lebih dari 30 derajat.
Atap tersebut juga diberi teritisan dengan lebar bervariasi.
Penggunaan bentuk atap dan teritisan merupakan adaptasi dari kondisi tropis Kota Singaraja dengan curah hujan tinggi.
Selanjutnya pada bagian menara dan lonceng, dimana pada bagian menara berisi lubang ventilasi untuk pencahayaan dan sirkulasi udara.
Sementara lonceng, terpasang dengan pengaman pagar besi.
Hingga saat ini lonceng tersebut masih sering dibunyikan oleh para jemaat, sebagai tanda akan dimulainya beribadatan.
Karena berukuran besar dan cukup berat, Chirstine menyebut, butuh empat hingga lima orang untuk dapat membunyikan lonceng tersebut.
Bukti bahwa gereja tersebut dibangun saat zaman kolonial Belanda juga terlihat dari prasasti yang terletak di dinding depan bagian gedung gereja.
Dalam prasasti tersebut bertuliskan nama gereja tersebut sebelumnya adalah Nederland Hevormde Kerk.
Tertera pula dua nama warga Belanda yang ditugaskan untuk membangun gereja tersebut.
Christine memuturkan, gereja ini mulanya dibangun diatas lahan milik Puri, atau yang disebut dengan tanah Eigendom (tanah hak milik,red).
Lahan tersebut dibeli dengan menggunakan dana dari Pemerintah Kolonial Belanda, berdasarkan inisiatif dari seorang warga Belanda bernama Gerardus Fortgens.
Asal tahu saja, Gerardus merupakan seorang insinyur yang merancang jalan Singaraja-Kintamani.
Ia menikah dengan seorang wanita pribumi bernama Saodah, dan meninggal dunia pada 1949 silam.
Saat penataan ruang Kota Singaraja, utamanya di sekitar rurung ngenjet atau yang kini dikenal dengan Jalan Ngurah Rai, Gerardus mengusulkan membangun gereja pertama di Buleleng, yang jemaatnya khusus dari pegawai pemerintah kolonial Belanda.
"Waktu itu Singaraja menjadi bagian wilayah kekuasaan kolonial Belanda. Kekuasaan Puri masih diakui selama mau bekerjasama dan berstatus sebagai daerah Swapraja. Sehingga sebagai dukungan, keluarga Puri memberi izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membangun gereja di atas tanah Puri, tepatnya di Jalan Ngurah Rai ini," terangnya.
Setelah mendapatkan izin dari Puri, pemerintah kolonial Belanda pun mengutus Mevr. C Prins dan Wolmerstett untuk membangun gereja tersebut.
Pendeta pertama yang memimpin peribadatan di gereja tersebut ialah Ds. Franken.
Pada awal berdiri, umat yang beribadah sebagian besar berasal dari Belanda dan para wisatawan, dengan jumlah jemaat sekitar 15 hingga 30 orang.
Hal ini terlihat dari jumlah bangku inventaris gereja.
Selanjutnya pada 1942, pemerintah kolonial Belanda kalah perang dari Jepang.
Mereka menyerah tanpa syarat ditandai dengan penandatanganan Kapitulasi Kalijati.
Seluruh kekuasaannya di Hindia Belanda termasuk Kota Singaraja dan Gereja Nederland Hevormde Kerk diserahkan kembali kepada Raja Buleleng yang saat itu dijabat oleh Anak Agung Panji Tisna.
Christine menyebut, AA Panji Tisna saat itu kebetulan sudah menganut agama Kristen.
Sang raja kemudian menunjuk A. Priyo Soedjono, seorang guru agama Kristen di salah satu sekolah di Singaraja, untuk mengelola gereja tersebut.
"Nama Nederland Hevormde Kerk berubah menjadi GPIB Jemaat Pniel Singaraja saat gereja protestan bagian barat hadir pada 1948. Semua gereja yang tadinya dibangun oleh kolonial Belanda, berubah nama menjadi GPIB," terangnya.
Kini, jumlah jemaat di GPIB Jemaat Pniel Singaraja mencapai 150 Kepala Keluarga.
Atas sejarah yang dimiliki, pihaknya imbuh Christine telah mengusulkan gereja tersebut agar ditetapkan sebagai Cagar Budaya. (rtu)