Pelanggaran HAM Berat

Presiden Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Toko Wong Jadi Saksi Bisu, Pembantaian Saat G30S di Jembrana

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM berat, di antaranya peristiwa pembantaian tahun 1965-1966, yang juga terjadi di Bali.

Tribun Bali/I Made Prasetia Aryawan
Bangunan Toko Wong yang menjadi saksi bisu peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jalan Kalimutu, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, Kamis 12 Januari 2023. 

TRIBUN-BALI.COM, NEGARA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

“Saya telah membaca dengan saksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden No 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya, Rabu 11 Januari 2023.

Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Baca juga: Peringatan Hari HAM Sedunia Ke-74, Badung Raih Penghargaan Kabupaten Peduli HAM dari Kemenkumham RI

Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.

Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat di antaranya peristiwa pembantaian tahun 1965-1966, yang juga terjadi di Bali.

Berikut ini kisah dari beberapa saksi atau orang yang mendengar peristiwa berdarah tersebut di Jembrana dan Gianyar.

Sebuah bangunan tingkat dua dengan desain lawas tampak beridiri kokoh di Jalan Kalimutu, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, Kamis 12 Januari 2023.

Bangunan yang dulunya dikenal dengan nama Toko Wong tersebut merupakan saksi bisu peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Di lokasi ini, ratusan bahkan ribuan orang yang dieksekusi mati karena dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI saat itu.

Menurut pantauan, bangunan bertingkat dua itu masih beridiri kokoh.

Bangunan yang dominan berwarna putih pada bagian dalam ini masih terawat, meskipun beberapa bagian rusak.

Sebab, bangunan tua ini masih menggunakan bahan campura tempo dulu.

Dan satu ruangan depan pada lantai satu yang menjadi tempat kamp tahanan sudah dialihkan menjadi ruko.

Ruko tersebut disewa orang untuk membuka usaha penjualan kasur dan meubel.

Anak dari pembeli Toko Wong, Tafakur Ega mengatakan, ia mendengar dari para tetua setempat.

Menurutnya, transaksi jual beli bangunan itu antara ayahnya dan pemilik sebelumnya.

Bangunan tersebut dibeli pada 1972 atau 7 tahun setelah peristiwa G30S.

"Orangtua kami baru ke sini tahun 1972. Sebelumnya dari Tabanan," katanya.

Dulu sebelum pindah ke Jembrana, kata dia, kondisi rumah tersebut masih sama dengan kondisi seusai pembantaian G30S.

Banyak bekas tembakan pada dinding tembok dan papan kayu dalam rumahnya.

Terutama pada ruangan depan dekat jalan yang lebih dikenal dengan kamp tahanan.

"Tapi sebelum pindah ke sini, rumah ini direhab oleh orangtua saya. Bahkan tukangnya juga bawa dari Tabanan," kenangnya.

Dia mengatakan, sesuai penuturan tetua, saat peristiwa tersebut, darah di rumah tersebut berceceran bahkan sampai menggenang hampir selutut orang dewasa.

"Tapi kisah ini saya ceritakan dari cerita orang juga. Banyak lagi kisah lainnya, tapi pada intinya tempat ini (Toko Wong) menjadi tempat eksekusi saat itu," tuturnya.

Selain ruangan depan, kata dia, pada bagian belakang selatan rumah seluas 50x12 meter tersebut juga terdapat sumur tua. Konon, sumur tersebut digunakan sebagai tempat pembuangan mayat sisa pembantaian.

Namun, saat ini sumur tersebut sudah ditutup dan rata dengan tanah.

Namun, ketika ada rerahinan (hari keagamaan) dirinya selalu menghaturkan sesajen minimal canang sebangai persembahan.

Bagaimana dengan situasi rumah saat ini? Pria yang akrab disapa Pak Ega ini menuturkan, selama ini kondisinya cukup kondusif.

Artinya tidak ada hal aneh yang terjadi atau berkaitan dengan peristiwa mengerikan yang terjadi 57 tahun silam itu.

Ingatan saksi mata terkait peristiwa G30S di Jembrana masih sangat kuat.

Seperti yang dialami I Ketut Sudibya (65) yang melihat langsung peristiwa mencekam saat itu.

Ia mengaku melihat sangat jelas bagaimana peristiwa G30S itu mengangkut para tahanan ke Toko Wong hingga dikembalikan ke mobil pengangkut dalam kondisi meninggal dunia.

Ketut Sudibya saat itu masih berusia 8 tahun lebih.

Saat itu, dia duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD), namun ia masih mengingat jelas bagaimana peristiwa itu terjadi.

Apalagi, salah satu kerabatnya juga ikut dalam peristiwa tersebut karena berprofesi sebagai anggota TNI.

"Kebetulan memori saya sangat kuat. Saya masih ingat betul kondisi mencekam waktu itu," tutur pria berperawakan tinggi dengan rambut putih itu.

Dia melanjutkan, pada masa itu, ia melihat jelas bagaimana sebuah mobil mengangkut puluhan orang kemudian diturunkan di depan Toko Wong.

Selanjutnya, mereka yang disebut sebagai para pentolan, simpatisan dan yang dituduh sebagai PKI diminta masuk ke ruangan di toko tersebut.

Tak lama kemudian, satu per satu dari mereka yang diangkut tersebut, kembali dikeluarkan dengan kondisi berbeda, yakni meninggal dunia.

Mayat mereka tampak digotong bahkan ada yang diseret oleh sejumlah orang menuju sebuah mobil.

Selanjutnya mayat tersebut dikirim atau dibuang di suatu tempat.

Sesuai penuturan tetuanya, mereka dibantai dengan berbagai cara, mulai dari ditembak di tempat dan ada juga yang ditusuk.

Namun, sebagian besar ditembak.

"Informasinya dibawa ke Pantai Candikusuma. Mereka katanya dibuang di sana," tutur pria kelahiran 1957 di Kelurahan Lelateng ini.

Dia mengatakan, salah satu kerabatnya juga terlibat langsung.

Namun, saat itu kerabatnya mengaku hanya menjalankan perintas atasan.

Peristiwa itu justru sangat menyisakan trauma bagi para pelakunya.

Tapi secara garis besar kerabatnya itu memang sudah mengakui bahwa perbuatannya yang dilakukan pada masa 1965 itu salah.

"Kerabat saya itu seperti tidak tenang. Setiap hari selalu merasa dihantui, kerap bermimpi buruk dan lain sebagainya. Tadi beliau juga sudah mengaku dan berserah diri bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kesalahan besar. Tapi di sisi lain, dirinya tak bisa menolak perintah dari atasannya," tandasnya.

Di Gianyar, warga di sana pun cukup banyak yang menjadi korban pembataian.

Seorang cicit PKI, Wayan S yang enggan disebut identitasnya saat ditemui, Kamis 12 Januari 2023 mengatakan pada peristiwa 1965-1966, buyutnya dulu merupakan salah satu pimpinan PKI di salah satu kecamatan di Kabupaten Gianyar.

Menurut cerita neneknya, sebelum peristiwa pembataian itu, aktivitas buyutnya sama seperti masyarakat umum.

Berbaur dengan semua masyarakat, termasuk juga dengan anggota partai PNI.

"Sekarang kan image PKI itu tidak beragama. Tapi buyut saya biasa bersembahyang layaknya krama banjar. Kehidupan PKI dan PNI akur. Hubungan keduanya pecah setelah ada kabar dari Jakarta akan ada pembantaian PKI," ujarnya.

Setelah adanya kabar pembataian, keakuran PKI dan PNI di banjarnya pecah.

Saat pembataian terjadi di Bali, kata dia, buyutnya yang berlabel PKI itu bersembunyi secara berpindah-pindah.

Sebagian besar persembunyiannya adalah di semak-semak pinggir sungai, gua dan tempat tersembunyi lainnya.

Wayan S mengatakan, dalam peristiwa itu, buyutnya tidak tewas dengan cara dibantai, namun dia memilih meminum zat beracun, karena lelah bersembunyi.

Pilihan itu dilakukan setelah buyutnya mengetahui temannya dihabisi saat sedang makan bersama anak-anaknya.

"Temannya sedang makan bersama anak-anaknya langsung dihabisi. Melihat itu, buyut saya memilih meminum racun, jenazahnya diupacarai seperti layaknya masyarakat Hindu di Bali" ujarnya.

Wayan S mengatakan, tindak diskriminatif belum berakhir, meskipun buyutnya telah tiada.

Sebab anak buyutnya atau kakeknya Wayan S saat itu kesulitan mendapatkan pekerjaan.

"Sempat bekerja di hotel, tapi tiba-tiba ada surat kaleng agar dipecat. Benar saja, setelah itu langsung dipecat," ungkapnya.

Kepada wartawan, Wayan S mengatakan ia bersyukur tidak hidup dalam suana diskriminatif itu.

Sebab saat ia lahir, situasi sudah nomal, tidak ada yang mengungkit-ungkit hal itu lagi.

Karena itu, meskipun saat ini Presiden menyatakan pembataian PKI sebagai pelanggaran HAM, ia menilai hal itu tidak akan mengubah apa pun.

"Peristiwa itu sudah diakui sebagai pelanggaran HAM. Menurut saya tidak istimewa lagi. Sebab sejak saya lahir, sudah biasa berbaur dengan semua masyarakat dan bekerja," ujarnya. (mpa/weg)

Komnas HAM Sambut Baik

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyambut baik sikap presiden Joko Widodo yang mengakui terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menanggapi pernyataan Jokowi terkait pengumuman hasil tim Penyelesaian Non Yudisian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPAHM).

"Komnas HAM menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM," kata Atnike dalam keterangan tertulis, Kamis 12 Januari 2023.

Atnie mengatakan, pengakuan tersebut memperlihatkan adanya komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban dalam pemulihan hak korban.

Selain itu, Komnas HAM juga mendukung adanya jaminan ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat dengan membangun penegakan HAM yang efektif.

"Di antaranya dengan mendorong ratifikasi semua instrumen HAM internasional, perubahan kebijakan di berbagai sektor dan tatanan kelembagaan pada institusi negara dan peningkatan kapasitas penegakan hukum dan aparat sipil negara melalu pendidikan dan pelatihan HAM," ujar Atnike.

Di sisi lain, Komnas HAM juga meminta Menkopolhukam Mahfud MD untuk memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait tugas dan kewenangan dalam menjalankan penyelidikan dan penyidikan.

Hal tersebut dinilai penting agar menyelesaian peristiwa pelanggaraan HAM berat di masa lalu bisa diselesaikan lewat mekanisme yudisial. (kompas.com)

Harus Diikuti Pemulihan dan Keadilan

WAKIL Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar mengatakan, pengakuan Presiden Jokowi secara resmi tersebut harusnya perlu diikuti komitmen pemulihan dan rasa keadilan bagi korban.

Menurutnya pengakuan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui permintaan maaf Presiden sebagai perwakilan negara atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru.

Sejak tahun 1999, kata dia, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi demikian kepada pemangku jabatan Presiden saat itu.

Tentu saja, lanjut dia, pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri.

Pengakuan dan permintaan maaf tersebut, lanjut dia, harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.

Sebaliknya, kata dia, tanpa ada pengakuan Negara atas adanya pelanggaran berat HAM maka pemberian pemulihan bagi korban malah bersifat kontraproduktif dari upaya pemberian hak-hak korban.

Pemulihan, kata dia, hanya dimaknai sebagai bantuan sosial atau kemiskinan.

"Idealnya, diikuti komitmen untuk memberikan hak pemulihan dan rasa keadilan kepada korban," kata Rivanlee.

Oleh karena itu, kata dia, untuk menghindari kesalahan interpretasi, harus diingat bahwa korban dalam pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan (commission/omission Badan/Pejabat Pemerintahan yang melawan hukum).

"Oleh karenanya pengakuan kesalahan oleh Negara adalah fundamental dan telah direkomendasikan dua dekade lalu," kata dia. (Tribun Network/gta/wly)

Kumpulan Artikel Pelanggaran HAM Berat

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved