Pemilu 2024

Koalisi Besar Incar Golden Ticket PDIP, Ikut Gabung atau Memilih Tetap Jomblo di 2024

Koalisi Besar Incar Golden Ticket PDIP, Ikut Gabung atau Memilih Tetap Jomblo di 2024

Editor: Fenty Lilian Ariani
Kompas.com
Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri memberikan pidato saat perayaan HUT ke-50 PDIP di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1) lalu. Hingga kini PDIP masih sendirian dalam menghadapi Pemilu 2024, sementara Parpol lainnya sudah membangun koalisi. 

JAKARTA, TRIBUN-BALI.COM - Rencana pembentukan koalisi besar untuk menghadapi Pemilu 2024 terus disuarakan ke publik.

PDIP yang sebelumnya tak ikut di dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Parpol koalisi pemerintahan di Kantor DPP PAN beberapa waktu lalu, bahkan bersedia menjadi tuan rumah untuk silaturahmi berikutnya.

Pertemuan antara Jokowi dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Plt Ketum PPP Mardiono, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar di markas PAN, disinyalir menjadi awal rencana pembentukan koalisi besar.

"Kalau kemudian ada kesempatannya PDI Perjuangan atau Ibu Megawati yang menjadi tuan rumahnya ya silakan juga," ujar Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR-RI, Selasa (4/4).

Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai, rencana pembentukan koalisi besar ini akan terus membayang-bayangi PDIP yang hingga kini belum menentukan sikap untuk bergabung ke dalam koalisi.

Diketahui, dari lima partai yang ikut di dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, kelimanya telah bergabung ke dalam koalisi. PKB dan Gerindra bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Raya (KIR). Sementara PAN, PPP dan Golkar bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

"PDIP tampaknya juga paham bahwa gerbong koalisi besar tengah mengepung dirinya agar bersedia 'berpuas diri' menempati posisi nomor sebagai posisi Cawapres. Karena itu, bagi PDIP, proposal pencapresan Prabowo yang diajukan koalisi besar itu bisa diartikan sebagai penghinaan," ujar Umam kepada Kompas.com, Rabu (5/4).

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 lalu, memiliki kursi yang cukup untuk mengusung sendiri pasangan Capres-Cawapres pada Pilpres 2024.

Sehingga, bukan perkara mudah untuk menarik PDIP masuk ke dalam rencana pembentukan koalisi ini.

Apalagi, menurut Umam, Jokowi tidak bergerak sendiri.

Sebab, ia memandang, ada peran Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan di belakangnya.

Ia pun menduga bahwa tujuan pembentukan koalisi besar ini agar PDIP menyerahkan "golden ticket"-nya tersebut.

"Namun, PDIP tampaknya tidak ingin mudah diperdaya oleh agenda kepentingan koalisi besar tersebut. PDIP membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan bahwa dirinya siap bergabung asal posisi Capres diserahkan kepada PDIP," kata Umam.

"Karena PDIP memiliki elektabilitas partai yang lebih tinggi, punya Capres potensial yang elektabilitasnya juga lebih tinggi, dan bahkan punya golden ticket yang bisa mengusung calon sendiri," sambung dia.

Senada, Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengatakan bahwa bila ingin PDIP bergabung ke dalam koalisi, tentu syaratnya Capres adalah kader banteng.

”Positioning PDIP adalah pemenang Pemilu 2019, basis pencalonan 2024, kan, hasil Pemilu 2019," kata Said saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/4).

"Pada titik itu, kalau PDIP mengambil posisi Capres, ya, wajar-wajar saja, make sense-lah,” tambahnya.

Hingga kini, belum muncul sosok Capres-Cawapres yang hendak diusung oleh koalisi besar, meskipun di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang punya elektabilitas potensial. Juru Bicara Partai Golkar Tantowi Yahya mengaku soal pembahasan Capres dan Cawapres di koalisi besar akan dilakukan jika koalisi itu sudah terbentuk.

"Koalisi besar ini baru pondasi. Masih akan ada beberapa pertemuan lagi untuk membangun rumah dan atapnya. Artinya masih terlalu awal untuk bicara siapa Capres dan Cawapresnya," kata Tantowi, Rabu (4/4).

"Jika PDIP mempunyai kesamaan pandangan tentang bagaimana membangun bangsa ini ke depan, ya monggo (bergabung Koalisi Besar). Soal siapa yang akan jadi Capres, kita bahas nantilah," imbuhnya.

Senada, Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan belum ada pembahasan mengenai Capres dan Cawapres untuk koalisi besar.

Sekalipun nama-nama yang santer bakal menjadi Capres itu sudah muncul dalam partai-partai koalisi besar.

Salah satunya Prabowo. Dasco menjelaskan, pembahasan nama-nama itu tentu akan dilakukan secara bersama partai-partai yang akan bergabung dalam koalisi tersebut.

Sementara itu, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menilai, proses menentukan nama Capres dan Cawapres tidak menghambat jalannya pembentukan koalisi besar.

"Soal Capres-Cawapres tentu nama-nama yang bermunculan di rapat-rapat KIB, itu ada saja kemungkinan sama dengan yang diusulkan oleh PDIP. Tentu kita lihat perkembangannya," kata Baidowi.

Sebagai informasi, nama-nama yang bermunculan di KIB digadang sebagai Capres dan Cawapres di antaranya Prabowo, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, dan Erick Thohir.

Mengenai nama Capres-Cawapres itu, Awiek sapaan akrab Baidowi mengatakan, tentu akan dimunculkan setelah koalisi besar resmi terbentuk.

Namun, menurutnya, hingga kini koalisi besar masih sampai tahap penjajakan untuk terbentuk.


Partai Besar, Egonya Tinggi

DIREKTUR Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama, Ari Junaedi menilai, sulit menyatukan PDIP ke koalisi besar yang diwacanakan oleh KIB dan koalisi KIR.

Menurut dia, peleburan koalisi lebih mudah di kalangan partai yang perolehan suaranya cenderung kecil.

“Menyatukan PDIP yang egonya besar lebih sulit ketimbang menyatukan partai-partai ‘ngarep’ seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional), bahkan PBB (Partai Bulan Bintang) sekalipun,” kata Ari, Rabu (5/3).

Sebabnya, PDIP mengantongi elektabilitas tinggi. Menurut survei berbagai lembaga, tingkat elektoral partai banteng berada di urutan pertama, jauh meninggalkan Parpol lainnya.

Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu juga merupakan Parpol pemenang Pemilu dua kali berturut-turut, yakni tahun 2014 dan 2019.

Dengan modal sebesar itu, Ari yakin, PDIP percaya diri sekalipun tak berkoalisi dengan Parpol lain pada Pemilu mendatang.

“PDIP itu ibarat executive muda yang begitu percaya diri menatap masa depan. Dia yakin sukses karena merasa suaranya cukup sebagai syarat untuk maju di Pilpres tanpa berkoalisi dengan partai lain,” ujarnya.

Sebaliknya, menurut Ari, partai-partai yang mewacanakan peleburan koalisi punya harapan besar untuk menarik PDIP.

Bahkan, Ari yakin, keputusan soal wacana koalisi besar baru akan diketok setelah PDIP menentukan langkah.

Saat ini, partai-partai lain masih berhitung dan menduga-duga Capres dan Cawapres yang akan dijagokan partai berjargon wong cilik itu.

“PDIP menjadi pusat orbiter dari koalisi-koalisi yang sudah dan akan terbentuk,” katanya.

Lebih lanjut, Ari menilai, wacana peleburan KIR dan KIB sedianya bertujuan untuk menguatkan potensi kemenangan pada Pemilu mendatang.

Mungkin pula, wacana regrouping dimaksudkan untuk mengunci calon lain agar tak bisa maju di gelanggang Pilpres 2024 karena semakin sedikitnya peluang Parpol bisa mengajukan calon.

Kehadiran koalisi besar memang menggiurkan secara politis karena massifnya kumulatif suara partai-partai politik. Namun, kata Ari, itu tidak otomatis menjamin kemenangan.

Dia mengatakan, kemenangan ditentukan oleh Capres-Cawapres yang disodorkan koalisi.

Oleh karenanya, dibutuhkan sosok yang tidak hanya moncer secara elektabilitas, tetapi juga punya rekam jejak yang baik di pemerintahan.

“Koalisi besar itu terlihat tambun secara politik, tetapi mudah fragile sehingga perlu energi besar baik asupan logistik dan akomodasi politik,” tutur dosen Universitas Indonesia (UI) itu. (kompas.com)


Capres Digantung Sampai September

SEKJEN PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan, belum mengetahui figur Capres yang akan dipilih Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Meski demikian, ia mengaku, sempat penasaran untuk mengetahui sosok tersebut.

Sehingga, hal itu membuatnya memberanikan diri untuk bertanya ke Mega usai bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 18 Maret lalu.

“Habis pertemuan Bu Mega yang 2 jam sama Pak Jokowi, kemudian 1 jam baru kami bergabung Mas Pram (Sekretaris Kabinet Pramono Anung), kan saya tanya bocorannya sama Bu Mega,” cerita Hasto di program Gaspol! Kompas.com, Rabu (5/4).

Saat itu, Mega menolak memberikan jawaban atas pertanyaan Hasto itu. “Bu bocorannya gimana?” tanya Hasto saat itu.

“Apa?” tanya Mega.

“Ini Bu (soal) Capres,” jawab Hasto.

“Udah, sabar,” tutur Mega seperti ditirukan Hasto.

Setelah mendapatkan jawaban itu, Hasto memilih untuk fokus mempersiapkan beberapa hal lain untuk menghadapi Pemilu 2024.

Pasalnya, kontestasi elektoral nanti tak hanya berkutat pada Pilpres semata.

Ia pun meyakini, Mega sedang mempertimbangkan berbagai hal sebelum memberi keputusan.

“Saksinya harus kita persiapkan, Calegnya harus kita persiapkan, tim kampanyenya harus kita persiapkan dengan baik, dana logistiknya harus kita kumpulkan dengan cara gotong royong dari sekarang,” papar dia.

Meski begitu, Hasto mengungkap kemungkinan momentum Mega mengumumkan Capres PDIP. Menurutnya, selama ini presiden kelima RI itu kerap mengumumkan sesuatu yang penting pada hari-hari bersejarah.

“Bulan Juni itu adalah Bulan Bung Karno. Kemudian Bulan Agustus itu proklamasi,” ucap dia.

Terakhir ia menyiratkan bahwa PDIP bakal mengumumkan Capresnya sebelum Bulan September. Sebab, KPU telah menetapkan pendaftaran Capres-Cawapres pada 19 Oktober 2023.

“Kita kan sudah dikunci oleh KPU, enggak boleh lewat dari September untuk mengambil keputusan,” imbuh dia. (*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved